Bab 2. Malam Pengantin yang menyedihkan

1291 Kata
Hari pernikahan itu tiba, namun suasana terasa begitu canggung. Saat Alzena melangkah menuju pelaminan dengan gaun pengantin, hatinya berdebar-debar. Dia melihat Ferdinan berdiri dia pelaminan, seorang pria tampan dengan tatapan dingin yang mengisyaratkan ketidaktertarikan. Begitu tiba di sampingnya, Ferdinan bahkan enggan untuk menatap Alzena. Dia berdiri kaku, tidak sedikit pun menunjukkan ketertarikan atau kehangatan. Ketika penghulu memintanya untuk memegang tangan Alzena, Ferdinan ragu-ragu sejenak, lalu dengan singkat menyentuh tangan Alzena hanya untuk menyelesaikan prosesi. Namun, dari caranya memegang tangan, Alzena tahu bahwa bagi Ferdinan, pernikahan ini tidak lebih dari sebuah kewajiban yang harus dijalani, sesuatu yang diatur oleh sang kakek dan bukan atas kehendaknya sendiri. Alzena merasakan kekecewaan mendalam. Pernikahan yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa kosong dan dingin. Dia menyadari sejak awal bahwa ini bukanlah pernikahan atas dasar cinta, namun ia tak menduga Ferdinan akan bersikap sejauh ini acuh tak acuh. Meskipun begitu, ia mencoba tegar, menampilkan senyuman yang tenang di depan tamu-tamu yang hadir. Orangtua Kaira, yang baru mengetahui bahwa putri mereka telah terbang ke Paris tepat sehari sebelum pernikahan, terlihat sangat terpukul. Mereka merasa dikhianati oleh keputusan Kaira yang meninggalkan kewajiban ini tanpa penjelasan, namun tidak punya pilihan selain melanjutkan acara. Mereka berusaha menjaga sikap, agar tidak mempermalukan keluarga di depan keluarga besar Ferdinan dan para tamu undangan yang sudah datang. Di sisi lain, kakek Ferdinan dan ibunya tidak mempermasalahkan pergantian mempelai ini. Sang kakek, seorang pria tua yang tegas dan berwibawa, memandang Alzena dengan penuh rasa kagum. Kecantikan Alzena yang anggun dan alami justru membuat sang kakek merasa beruntung. Baginya, yang terpenting adalah Ferdinan menikah dengan gadis dari keluarga baik-baik, tidak peduli siapa yang berdiri di samping cucunya hari itu. Setelah prosesi pernikahan selesai, resepsi berlangsung dengan cukup meriah, meskipun tanpa antusiasme dari Ferdinan. Dia menjaga jarak dari Alzena, hanya berinteraksi jika benar-benar diperlukan. Banyak tamu yang memperhatikan sikapnya, dan beberapa bahkan membisikkan bahwa mungkin ada masalah di antara kedua pengantin baru ini. Namun, Alzena mencoba menutupi perasaan canggungnya, tersenyum dan bersikap ramah kepada para tamu yang mengucapkan selamat. Saat pesta usai dan mereka kembali ke kamar hotel yang sudah disiapkan, Ferdinan langsung masuk tanpa menunggu Alzena, dan duduk di sofa sambil melepas dasinya dengan kasar. Wajahnya tampak muram dan penuh kekecewaan. Alzena hanya berdiri di pintu, tidak berani mendekat. "Aku tidak tahu apa rencanamu dan Kaira dengan semua ini," kata Ferdinan dingin tanpa menatap Alzena. "Tapi aku berharap kau tahu bahwa aku tidak akan pernah menerima pernikahan ini sebagai sesuatu yang nyata." Alzena menunduk, hatinya terasa perih mendengar ucapan itu. "Maafkan aku… Aku tidak bermaksud menggantikan posisi Kaira. Hanya saja… keadaan memaksaku untuk melakukannya." Ferdinan akhirnya menatapnya, meskipun tatapannya masih dingin. "Seharusnya kalian bisa memberitahuku dari awal. Bukankah ini jelas-jelas sebuah tipuan?" "Tidak ada niat untuk menipumu, Ferdinan. Kaira terpaksa meninggalkan semuanya demi mengejar impiannya. Aku hanya… aku hanya mencoba untuk membantu keluarganya agar tidak kehilangan martabat di depan keluargamu." Ferdinan terdiam sejenak. Meskipun ia merasa marah, hatinya perlahan melunak melihat ketulusan yang terpancar dari wajah Alzena. Kecantikan Alzena memang tidak bisa dipungkiri. Tidak seperti Kaira yang selalu tampil sempurna dengan riasan dan gaya hidup yang glamor, Alzena memiliki pesona yang sederhana namun sangat memikat. Setelah menghela napas panjang, Ferdinan bangkit berdiri dan memandang Alzena sekali lagi. "Aku tidak tahu bagaimana kita akan menjalani ini semua. Tapi satu hal yang harus kau tahu, aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini, apalagi dengan segala kebohongan di dalamnya." Alzena hanya mengangguk pelan. Dia tahu tidak ada yang mudah dalam situasi ini. "Aku mengerti. Aku juga tidak berharap banyak. Aku hanya akan berusaha menjalani apa yang bisa aku lakukan." Dengan itu, malam pertama mereka berlalu dengan suasana penuh jarak dan keheningan. Alzena tahu ini akan menjadi pernikahan yang tidak biasa. Namun, dalam hatinya, ia bertekad untuk menjalani perannya dengan baik, apa pun yang terjadi di kemudian hari. Alzena duduk di tepian ranjang kamar hotel, berusaha menenangkan dirinya meskipun perasaannya kacau. Pikirannya berputar-putar, berusaha memahami semua yang terjadi begitu cepat dalam hidupnya. Hari ini, dia baru saja menikah dengan seorang pria yang nyaris tidak dikenalnya, dan pria itu sudah menunjukkan bahwa dia tidak menginginkan pernikahan ini sama sekali. Dengan hati yang berat, Alzena mencoba memejamkan matanya, berharap bisa beristirahat dan melupakan kekecewaan yang menyesakkan dadanya. Sementara itu, tanpa sepengetahuan Alzena, Ferdinan keluar dari kamar hotel dengan langkah cepat dan hati yang tidak tenang. Begitu jauh dari Alzena dan semua tanggung jawab yang terpaksa dipikulnya, ia merasa lega. Hatinya hanya tertuju pada seorang wanita—Katrine, seorang aktris terkenal yang telah lama menjadi kekasihnya. Perasaan cinta Ferdinan terhadap Katrine sangat dalam. Di matanya, Katrine adalah sosok sempurna: cerdas, cantik, dan memesona. Mereka telah bersama selama beberapa tahun, berbagi mimpi, ambisi, dan segala hal yang Ferdinan yakini tidak mungkin bisa ia dapatkan dari Alzena atau dari pernikahan ini. Begitu tiba di apartemen Katrine, Ferdinan merasakan ketenangan yang sulit dijelaskan. Katrine menyambutnya dengan senyuman lembut, seolah memahami seluruh beban yang dipikulnya. Mereka duduk berdua di ruang tamu, mengobrol dengan hangat. Katrine tahu tentang pernikahan Ferdinan dan Alzena, dan meskipun hatinya sedikit terguncang, ia tetap memilih berada di sisi Ferdinan. “Kau baik-baik saja?” tanya Katrine, suaranya lembut namun penuh perhatian. Ferdinan mengangguk, namun tatapannya tampak lelah. “Aku merasa… bingung, Katrine. Pernikahan ini hanyalah perintah dari kakek. Aku tidak pernah menginginkannya. Tapi aku tidak bisa menolak.” Katrine memegang tangannya, memberikan dukungan tanpa perlu banyak bicara. Bagi Ferdinan, Katrine adalah segalanya—orang yang memahami dirinya lebih dari siapa pun. Kehadiran Katrine seolah membuat dunia Ferdinan kembali tenang. Dengan perasaan yang lebih baik, mereka pun menghabiskan malam bersama, saling mencurahkan perhatian yang tak bisa ia dapatkan dari pernikahan barunya dengan Alzena. Keesokan paginya, saat matahari mulai terbit, Ferdinan bersiap untuk kembali ke hotel. Dia memandang Katrine dengan penuh rasa cinta, menyentuh wajahnya dengan lembut. “Aku akan segera kembali. Ini hanya sementara, aku janji,” katanya, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Katrine mengangguk dengan senyum tipis. “Aku percaya padamu, Ferdinan. Aku akan selalu ada untukmu.” "See you baby," Setelah mengucapkan selamat tinggal, Ferdinan pergi dengan perasaan yang sedikit lebih ringan, meski hatinya masih penuh kebimbangan. Namun, di satu sisi, ia tetap merasa enggan untuk kembali ke kehidupan yang penuh tekanan sebagai suami Alzena, seorang wanita yang tiba-tiba menggantikan sosok Kaira tanpa sepengetahuannya. Sementara itu, Alzena terbangun pagi itu dengan hati yang hampa. Semalaman dia menunggu Ferdinan kembali ke kamar, namun tidak ada tanda-tanda kehadirannya. "Hahh, nasiiib, jadi pengantin pengganti, bahkan malam pertama sendirian di kamar ckck Zena-Zena , nasibmu sungguh malang," gumam Alzena. Sekilas ia merasakan kesepian yang begitu dalam, menyadari bahwa meskipun secara hukum mereka suami-istri, nyatanya mereka adalah dua orang asing yang terikat oleh kepentingan keluarga. Ia hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, Ferdinan akan memberinya kesempatan untuk membuktikan dirinya. Namun, di sudut hatinya, Alzena tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Baginya, ini bukan hanya tentang menjalani peran sebagai istri yang baik, tapi juga menghadapi perasaan Ferdinan yang sepenuhnya tertuju pada wanita lain. "Duhh laper sekali, makan apa ... coba ini, enggak ada makanan lagi!"Alzena sambil memegang perutnya. "Jiah... dia .. malah senang-senang lagi, di Paris. Enggak mikirin aku yang kesepian di malam pertama dan ketakutan menghadapi bule,"gumam Alzena sambil melihat foto di akun sosial media milik Kaira. "Ting tong."Suara pintu kamar dibuka. "Layanan kamar." Seorang pelayan hotel mengantar makanan untuk paket pengantin, semua serba berdua dan banyak hiasan lovenya . "Iya, sebentar. "Alzena membukakan pintu. "Permisi nona kami mengantar makanan untuk sarapan." "Ah iya, terimakasih ya."Alzena menjawab dengan mata berbinar melihat makanan di troli yang dibawa oleh pelayan tersebut. "Heumm, Bismillahirrohmanirrohim, makan ahh. Tapi ... ini dua porsi mending ... aku habiskan saja , lagipula dia enggak bakal datang. "Alzena menghabiskan makanan di meja tersebut. "Tingtong."Suara pintu dibuka. "Ah, tuan silahkan sarapan."Alzena terkejut dengan mulut yang penuh dengan makanan. "Kau... makan dua porsi makanan ini?" Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN