Malam itu, apartemen Ferdinan terasa lebih sunyi dari biasanya. Ia duduk di ruang makan, memandang meja makan yang kosong tanpa aroma masakan yang biasa menguar dari dapur. Biasanya, ketika pulang dari kantor, Alzena sudah menyiapkan hidangan sederhana namun lezat. Meski ia tak pernah mengakui, Ferdinan mulai menikmati kebiasaan ini.
Namun kali ini berbeda. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, dan Alzena belum juga pulang. Perutnya mulai lapar, tapi yang lebih mengganggunya adalah rasa kesal yang tak ia mengerti. "Kemana dia? Bukannya tugas istri itu di rumah?" pikir Ferdinan, meskipun ia sendiri tak pernah benar-benar menganggap Alzena sebagai istrinya.
Tak lama kemudian, pintu apartemen terbuka. Alzena masuk dengan langkah pelan, wajahnya terlihat lelah setelah seharian bekerja dan menempuh perjalanan pulang. Ia membawa tas kecil dan beberapa dokumen dari kantor.
Ferdinan langsung bangkit dari kursinya, menatap Alzena dengan tatapan dingin. "Kamu kemana saja? Apa kamu lupa bahwa kamu tinggal di sini bukan cuma untuk tidur? Kenapa tidak ada makan malam seperti biasanya?"
Alzena tertegun, menatap Ferdinan yang berdiri di depannya. Ia tahu, dalam situasi seperti ini, berdebat hanya akan memperburuk keadaan. Dengan nada pelan, ia menjawab, "Maaf, aku pulang terlambat. Hari ini ada banyak pekerjaan di kantor."
Namun, jawaban itu justru membuat Ferdinan semakin sinis. "Jadi, pekerjaan kantor itu lebih penting daripada rumah ini? Bukannya kamu tahu aku tidak suka makan di luar setiap malam?"
Alzena menunduk, menahan rasa lelah dan kesedihan yang tiba-tiba muncul. Dalam hatinya, ia ingin menjelaskan bahwa ia juga manusia yang butuh waktu untuk beradaptasi dengan pekerjaan barunya. Tapi, ia memilih diam.
"Maaf, aku akan memastikan ini tidak terjadi lagi," ucap Alzena akhirnya, meskipun hatinya terasa berat.
Ferdinan mendengus, lalu berjalan menuju dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Namun, kulkas hanya berisi bahan mentah yang belum diolah. Ia menutup pintu kulkas dengan keras, menunjukkan ketidakpuasannya.
"Kalau begini terus, buat apa aku punya istri?" gumam Ferdinan, meskipun ia tahu pernikahan mereka hanyalah formalitas.
Alzena mendengar gumaman itu, tapi ia tidak membalas. Ia hanya melepas tasnya, mengganti pakaian, lalu duduk di meja makan untuk menemani Ferdinan.
"Besok, aku akan memasak lebih awal sebelum berangkat kerja," kata Alzena pelan, mencoba menenangkan situasi.
Ferdinan tidak menjawab, hanya menatap Alzena sesaat sebelum akhirnya kembali ke kamarnya. Namun, di dalam hatinya, ada rasa ganjil. Meski ia merasa marah, ia juga tidak bisa mengabaikan bahwa ketiadaan Alzena di rumah membuatnya merasa ada yang kurang.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Ferdinan memikirkan Alzena lebih dalam. Bukan hanya sebagai seseorang yang memasak atau mengurus rumah, tetapi sebagai individu yang memiliki kehidupan dan perjuangannya sendiri. Ia mulai bertanya-tanya, apakah selama ini ia terlalu keras padanya?
Di kamar, Alzena menghela napas panjang. Ia tahu, hidup sebagai istri Ferdinan bukanlah hal yang mudah. Tapi ia juga tahu, ini adalah pilihannya, dan ia bertekad untuk menjalani semuanya dengan sabar, meski hatinya sering kali terluka.
Hari itu, Alzena menerima tugas berat dari Joice, atasannya yang terkenal tegas dan perfeksionis. Joice, wanita berusia 35 tahun dengan reputasi sebagai pemimpin tanpa kompromi, memberinya tanggung jawab untuk mempromosikan produk perusahaan ke salah satu klien besar, Klein Grup. Perusahaan itu adalah salah satu konglomerasi terbesar di kota, dengan CEO yang dikenal selektif dalam memilih mitra bisnis.
"Alzena, kalau kamu berhasil meyakinkan CEO Klein Grup untuk menggunakan produk kita, itu akan jadi nilai tambah besar untuk karirmu. Tapi jangan berharap ini mudah," ucap Joice sambil menyerahkan dokumen proyek.
Meski gugup, Alzena menerima tantangan itu dengan penuh semangat. Ia ditemani rekan kerjanya, Riska, seorang wanita muda yang ceria dan mudah bergaul.
Saat tiba di kantor pusat Klein Grup, Alzena dan Riska segera melapor ke resepsionis. Namun, mereka diberitahu bahwa jadwal CEO sedang sangat padat, sehingga mereka harus menunggu. Dua jam berlalu, dan tidak ada tanda-tanda bahwa pertemuan mereka akan dimulai.
Riska mulai gelisah. "Zena, kita sudah menunggu lama. Apa kita disuruh pulang nanti tanpa bertemu siapa pun?"
Alzena mencoba tetap tenang. "Sabar, Ris. Orang selevel CEO pasti jadwalnya padat. Kalau kita pulang sekarang, Joice pasti marah besar. Kita tunggu saja."
Namun, saat keduanya hampir menyerah, pintu ruang CEO terbuka. Alzena terkejut melihat seorang wanita cantik dan anggun masuk ke dalam ruangan tanpa perlu menunggu seperti mereka. Wanita itu berpakaian mewah, mengenakan gaun selutut berwarna merah tua dengan potongan yang menonjolkan keindahan tubuhnya. Rambut panjangnya ditata sempurna, dan wajahnya memancarkan aura bintang.
Riska menoleh ke Alzena dengan mata berbinar. "Astaga, bukankah itu Katrine? Dia aktris terkenal! Apa dia punya hubungan dengan CEO Klein Grup?"
Alzena tidak menjawab, tetapi pikirannya mulai penuh dengan tanda tanya. Apa yang dilakukan Katrine di sini? Pikirannya berputar, mengingat bahwa Katrine adalah kekasih Ferdinan. Apakah ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi?
Sementara itu, Riska sibuk mengambil ponsel untuk mencari berita tentang Katrine. "Aku dengar dia memang sering dekat dengan kalangan pengusaha. Tapi kenapa dia bisa masuk begitu saja? Apakah dia memiliki hubungan khusus dengan CEO ini?"
Alzena diam, tetapi hatinya tidak tenang. Ia berusaha menepis prasangka, tetapi rasa penasaran terus menggelayut. Wanita secantik Katrine jelas memiliki banyak koneksi, tetapi jika benar ia dekat dengan CEO Klein Grup, Alzena merasa tugasnya akan semakin sulit.
"Dia bahkan tidak perlu menunggu! Kita di sini dua jam, dia langsung masuk," keluh Riska dengan nada kesal.
Alzena tersenyum kecil, meskipun pikirannya masih terganggu. "Mungkin ada urusan penting yang tidak kita tahu, Ris. Jangan terlalu dipikirkan."
Namun, dalam hati, Alzena tahu bahwa kehadiran Katrine di sana mungkin bukan hal yang kebetulan. Ia menyimpan rasa penasaran itu rapat-rapat, tetapi tekadnya untuk menyelesaikan tugas semakin kuat.
Saat pintu ruang CEO perlahan terbuka, Alzena menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan rasa gugupnya. Riska, yang berdiri di sampingnya, memberinya pandangan penuh semangat. "Kamu bisa, Zena. Tetap tenang," bisik Riska sebelum mereka melangkah masuk.
Ketika sekretaris perusahaan mempersilakan Alzena masuk ke ruangan, langkahnya terasa berat. Ia mengatur napas, mencoba menenangkan diri setelah menunggu begitu lama. Namun, saat pintu terbuka, pemandangan yang dilihatnya membuat jantungnya seakan berhenti.
Di sana, duduklah Ferdinan, suaminya, di kursi utama ruangan itu. Di sampingnya, Katrine tampak anggun dan percaya diri, dengan tangan melingkar mesra di lengan Ferdinan.
Alzena terdiam sejenak, terkejut sekaligus bingung. "Ferdinan? Dia... CEO Klein Grup?" pikirnya dalam hati.
Ferdinan yang awalnya berbicara dengan Katrine, tampak terkejut melihat Alzena masuk. Ekspresinya berubah canggung, bahkan sedikit panik, seolah tidak tahu bagaimana harus bersikap.
"Ah, Anda yang dijadwalkan bertemu hari ini?" tanya Ferdinan, mencoba menjaga wibawa, meskipun nada suaranya terdengar sedikit tegang.
Alzena mengangguk pelan, berusaha mengendalikan emosinya. "Iya, saya Alzena dari perusahaan Silva, datang untuk mempresentasikan produk kami sesuai jadwal yang diberikan oleh tim Bapak."
Ia berbicara dengan nada profesional, meskipun hatinya terasa remuk. Pemandangan mesra antara Ferdinan dan Katrine seolah menorehkan luka yang lebih dalam. Namun, Alzena tahu bahwa ini adalah urusan pekerjaan, dan ia tidak akan membiarkan perasaannya menghalangi tugasnya.
Katrine memandang Alzena dari atas ke bawah dengan tatapan penuh kemenangan, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Oh, jadi ini pekerjaanmu sekarang, Zena? Hebat juga kamu bisa sampai ke sini. Tapi sayang, waktumu tidak tepat. Ferdinan sedang sibuk denganku," katanya dengan nada mengejek.
Ferdinan mencoba menenangkan Katrine. "Katrine, cukup. Alzena di sini atas urusan bisnis. Kita beri dia waktu untuk mempresentasikan produknya."
Katrine mengangkat bahu dengan sikap malas, tetapi akhirnya melepaskan tangannya dari Ferdinan. Sementara itu, Alzena melangkah maju, mencoba mengabaikan tatapan keduanya dan fokus pada pekerjaannya.
Ia membuka dokumen presentasi di laptopnya dan mulai menjelaskan keunggulan produk perusahaannya dengan tenang dan percaya diri. Meski dalam hatinya ada gelombang emosi yang bergejolak, Alzena tetap menunjukkan profesionalitasnya.
Ferdinan mendengarkan dengan perhatian penuh, mungkin karena merasa bersalah atas situasi ini. Namun, Alzena tahu bahwa apapun responsnya, ia tidak akan membiarkan momen ini menghancurkan semangatnya.
Setelah selesai mempresentasikan, Alzena menutup laptopnya dan berdiri. "Terima kasih atas waktu Anda, Tuan Klein. Saya harap Anda mempertimbangkan produk kami. Jika ada pertanyaan lebih lanjut, saya akan dengan senang hati menjawab."
Ferdinan mengangguk pelan. "Terima kasih, Alzena. Kami akan mempelajari proposal Anda."
Tanpa menunggu lebih lama, Alzena meminta izin untuk pergi. Namun, sebelum ia melangkah keluar, Katrine berbisik keras kepada Ferdinan, cukup lantang sehingga Alzena bisa mendengar. "Apa pentingnya mendengar penjelasan dari orang seperti dia? Ada banyak perusahaan lebih baik di luar sana."
Alzena berhenti sejenak, menoleh ke arah Katrine dengan senyum tipis. "Kadang, yang terlihat kecil dan biasa saja justru memiliki kekuatan besar yang tidak terduga. Terima kasih untuk waktunya."
Dengan itu, ia melangkah keluar, meninggalkan ruangan dengan kepala tegak meski hatinya penuh luka.