Terjebak

1947 Kata
Jasmine menggeliat. Sebuah ruangan asing dengan cat bernuansa gelap menyapa Indera penglihatannya. Kamar yang terlihat luas dengan beberapa bagian jendela besar yang tertutup oleh korden warna putih ke emasan menambah rasa keinginan tahuanya di mana kah gerangan dirinya berada. "Dimana ini?" lirihnya mencoba bangkit. Dia ingat. Saat terakhir di pesawat, dia meminum segelas s**u yang diberikan pramugari dan setelah itu dia merasa mengantuk dan tidak mengingat apa-apa lagi. Ketakutan mulai membuatnya gemetar. Tempo hari yang lalu, saat dia mengalami insiden yang sama. Dia beruntung karna di tolong oleh wanita baik bernama Sarah. Tapi kali ini, dia tidak yakin nasib baik akan berpihak padanya. Perasaannya mengatakan jika akan ada sesuatu yang buruk menimpanya. Jasmine meraba perutnya, takut jika sesuatu sudah terjadi saat dia tak sadarkan diri. Tapi, akhirnya dia bisa bernafas dengan lega, perutnya masih sama seperti sedia kala, itu artinya putranya masih aman bersamanya. "Sayang, jangan khawatir. Ibu akan melindungimu," lirihnya penuh kelembutan khas seorang ibu. Jasmine menghampiri pintu yang 2x lebih besar darinya. Bingung. Di pintu itu bahkan tidak ada tuas seperti pintu kebanyakan yang dia temui selama ini. Jasmine menatapnya dengan teliti, siapa tau ada celah kecil yang menjadi kunci agar dirinya bisa keluar. "Siapa sih, yang membuat desain pintu seperti ini?" kesalnya sambil memukuli pintu itu seolah akan hancur karna kekuatan pukulannya yang bahkan tak ada apa-apa nya. "jika bertemu nanti, akan ku pukul kepalanya sampai amnesia!" Jasmine melangkah mundur. Mencari kopernya nya yang terletak sebuah ponsel nya yang sengaja dia nonaktifkan. Tapi, tidak ada. Bahkan di ruangan itu sama sekali tak ada barang-barang yang biasa melengkapi kamar tidur. Hanya ada sebuah meja dan sofa yang berjejer di sampingnya. "Bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini?" Jasmine menghembuskan nafas kasar. Sepertinya harapannya untuk bisa keluar dari kamar itu akan menjadi mimpi saja. Dia sendirian, dan tidak ada satu pun alat yang bisa dia gunakan untuk meminta bantuan pada seseorang. Pandangannya beralih pada seberkas sinar yang masuk ke ruangan kamar melalui jendela. Dia hampir lupa, jika di ruangan kamar itu terdapat banyak jendela. Mungkin saja, dia bisa membuka salah satunya. Klik! Jasmine menghembuskan nafas lega. Dia memiliki kesempatan untuk bisa kabur dari tempat misterius yang tidak dia ketahui siapa pemiliknya itu. Dengan Langkah mantap, Jasmine mengangkat kakinya melewati pembatas jendela yang dibuat rendah hingga berhasil melewatinya. "Akhirnya," desahnya bahagia setelah menutup jendela itu kembali dengan pelan dan perlahan, takut menimbulkan suara yang bisa mengundang kecurigaan. "Astaga!" pekikan kaget terlontar dari mulut Jasmine setelah membalikkan tubuhnya. "Oh Tuhan ... Kesulitan macam apa lagi ini?" ucapnya begitu tau setelah pagar pembatas di depannya, tidak ada lantai lagi untuk di pijaknya. Jasmine melihat ke bawah dengan perasaan ngeri. Mustahil, seseorang akan bisa kabur dari sana. Bisa di katakan usahanya tadi sia-sia belaka, karna letak keberadaannya saat ini, berada di atas ketinggian 50 meter dari permukaan tanah. Benar. Tempat seseorang menyekap nya saat ini sangatlah sulit untuk bisa melarikan diri atau pun meminta bantuan. Jasmine mengusap wajahnya lelah. Jika pelariannya berakhir seperti ini, lebih baik dia diam dan tetap bertahan di sisi Peter walaupun harus mendapat kecaman dari ibu Anna. Saat ini, bukan hanya nyawanya saja yang terancam, tapi juga nyawa bayinya. Tuhan, bantu aku ... Ceklek! Jasmine mendongak. Baru se detik, permintaan dia panjatkan. Pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan itu artinya dia akan segera mengetahui siapa gerangan yang sudah mengurungnya di kamar itu. Jasmine kembali membuka jendela dan melewatinya sama seperti tadi. Nampak seorang pelayan wanita sedang meletakkan nampan berisi makanan di atas meja kecil yang berjejer rapi dengan sofa. "Hey," sapa Jasmine sambil menepuk bahu pelayan itu, sehingga pelayan itu pun menoleh dengan raut wajah terkejutnya. "Di mana aku? Katakan siapa majikan mu? Dan di mana dia sekarang?" Jasmine tak sabar. Dia memberondong banyak pertanyaan kepada pelayan itu, sehingga pelayan itu semakin mengerjap kaget akan pertanyaannya. "Jawab aku. Jangan diam saja," lanjut Jasmine, saat pelayan itu tetap membisu di tempatnya berdiri. "Anda berada di Rusia Nona. Tuan yang membawa Anda ke sini dan saat ini, Tuan sedang berada di kamarnya. Mungkin sebentar lagi, Tuan akan menemui Anda, permisi." Jasmine mengerjap. Pelayan itu menjawabnya dengan tergesa dan pergi dengan tergesa-gesa pula, sampai-sampai dia lupa untuk mengikuti pelayan itu sehingga pintu kembali tertutup dan dia pun kembali murung. "Siapa yang membawaku kemari? Aku memang berniat untuk pergi ke Rusia, tapi tidak seorang pun mengetahui perihal kepergianku." Jasmine menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Aroma makanan yang di bawa pelayan tadi, mengganggu konsentrasi nya. Tidak seharusnya dia lapar di saat genting seperti ini, tapi apalah daya, mungkin ini sudah bawaan bayinya. Tangannya terangkat. Bola matanya berbinar senang. Dalam nampan besar itu tersedia banyak makanan. Bahkan ada s**u dan buah-buahan. "Jika semua penculik itu sama. Pasti akan banyak orang yang meminta untuk di culik, jika di beri makanan yang banyak dan lezat seperti ini," lirihnya terkikik geli, kemudian mulai menikmati semua makanan di atas nampan itu satu persatu. Hormon kehamilannya kali ini, dia pastikan akan membuat tubuhnya gendut. Dia tidak bisa menahan dirinya jika sudah dihadapkan pada makanan. Makanan memiliki magnet dan daya tarik tersendiri. Tak lama, semua makanan itu berpindah pada perut buncitnya. Jasmine menyandarkan tubuhnya, rasa kenyang sedikit membuatnya sulit untuk bernafas, sehingga dia tak menyadari jika seorang pria sudah berdiri sambil menatapnya tajam. "Sudah kenyang, Jasmine?" Suara berat itu, membuat Jasmine membuka matanya yang sempat terpejam. Siluet seorang pria dengan tubuh jangkung melangkah mendekatinya. Anehnya, pria itu tau siapa dirinya. Dan itu artinya, penculikan ini sudah di rencanakan. "Luke?" pekiknya begitu tau pria yang kini berada di radius jarak 2 langkah di depanya adalah LUXANDER. Anak angkat dari ayah Peter, Alexander sang penguasa. Luke tertawa sinis. Tawa yang terdengar rendah, sarat akan ancaman. "Aku senang. Kau masih mengingatku, Jasmine," ucapnya melangkah pelan dan berhenti di depan Jasmine sambil menapakkan sebelah kakinya ke atas sofa. "Setelah sekian lama, akhirnya kita bisa bertemu lagi," lirihnya sambil mengusap rambut panjang Jasmine. Jasmine berkilah. Menghindari sentuhan Luke dengan memundurkan sedikit kepalanya. "Kau yang melakukan semua ini Luke?" tanyanya dengan nada tak percaya. "Bukankah kau, berada di Rumah sakit jiwa?" kecamnya dengan mata berkilat tajam, khas Jasmine si keras kepala. "Kau bisa lihat sendiri. Aku sudah bebas!" "Tapi bagaimana bisa!? Kau gila!" "Hahaha ... " Luke tertawa keras. Menyugar rambutnya dengan sebelah tangannya agar terlihat acak-acakan. "Aku memang gila! Dan kau akan lihat, seberapa gila nya aku!" lirihnya sangat dekat dengan telinga Jasmine, sampai-sampai Jasmine bergidik jijik di buatnya. "Jangan macam-macam Luke! Kali ini, Peter akan membunuhmu!" "Benarkah? Tapi k*****t itu tidak ada di sini Jasmine sayang. Dia tidak akan bisa menolongmu dari kekejamanku, hahaha ..." Luke tertawa keras. Kemudian mulai melepaskan kancing kemejanya dan secepat kilat, mengurung tubuh Jasmine yang tak berdaya di sudut sofa. "Luke! Aku peringatkan. Menjauhlah dariku!" teriak Jasmine sambil memukuli tubuh Luke yang berkuasa di atasnya. Luke mendengus kasar. Dia semakin mengimpit tubuh Jasmine yang jauh lebih kecil darinya. "Kenapa Jasmine? Kenapa selalu menolakku, huh?" lirihnya penuh dengan kekecewaan. "Apa yang kau lihat dari Peter? Uang? Kekayaan? Kekuasaan? Atau kepuasan?" Plak! Jasmine menampar wajah Luke dengan kuat, sampai-sampai wajah Luke terlempar ke samping. "Jaga bicaramu Luke! Kau tak pantas menilaiku! Aku bukan seorang jalang yang akan menukar tubuhku dengan materi dan kepuasan!" teriak Jasmine dengan kemarahannya. Siapa Luke? Bisa se enaknya menilai harga dirinya? Kurang ajar! Jasmine mendorong tubuh Luke kuat hingga terjungkal ke belakang. Ketakutan mendominasi nya hingga entah kekuatan dari mana, dia bisa melakukannya. Jasmine berlari menghampiri jendela. Lebih baik dia mati bersama anaknya, dari pada Luke menodainya. Tapi, belum sampai dia mencapai jendela, Luke sudah lebih dulu menahan ke dua tangannya. "Apa yang akan kau lakukan huh!?" teriak Luke sambil menarik Jasmine ke arah ranjang. Jasmine berontak. Bahkan menggigiti tangan Luke yang mencekal tangannya. "Lepaskan aku Luke! Kau tidak bisa melakukan ini padaku! Lebih baik kau membunuhku, dari pada kau menodaiku!" Brugh! Luke mendorong Jasmine ke atas ranjang dan mengunci pergerakan Jasmine di sana dengan menyisakan banyak ruang untuk membuat Jasmine menyerahkan dirinya karna ketakutan atas kuasa intimidasi nya. "Apa susahnya kau menyerah dan diam Jasmine? Jika saja, kau tidak nekat pergi, mungkin kau tidak akan berada di sini. Dan terjebak bersamaku!" lirih Luke dengan seringaian tipisnya. "Tenanglah. Akan ku buat kau menikmatinya." "b******n! Hiks.. Hiks .... Ku mohon, jangan lakukan ini Luke. Setidaknya, kasihanilah aku sebagai seorang ibu. Bukankah kau juga terlahir dari rahim seorang wanita?" lirih Jasmine mengungkapkan identitas nya saat ini. Dia perlu melakukannya, untuk mengetuk hati pria gila yang akan membuatnya merasa kotor dan tak segan untuk meng akhiri hidupnya dengan rela hati. "Kau hamil Jasmine!?" Jasmine mengangguk. Terisak dalam ketakutan yang mengintainya. "Ya. Ku mohon, kasihanilah permintaan seorang ibu ini. Hiks.. Hiks .... " Luke terdiam sejenak. Nampak menimbang-nimbang apa yang akan dia lakukan selanjutnya. "Tapi, kau selalu menjadi wanita keras kepala dan pembangkang Jasmine. Pria berengsek itu tak seharusnya membiarkan wanita sepertimu lolos dari pengawasannya. Dan lihat sekarang, kau terjebak bersamaku. Dan ku dengar, bercinta dengan wanita hamil itu lebih nikmat. Hahaha ...." Luke kembali tertawa keras. Tawa yang menjadi tanda awal kehancuran hidup Jasmine. Tampa ada yang bisa menolong ataupun mencegahnya. "Jangan Luke! Hiks.. Hiks ... Ku mohon, jangan lakukan ini. Hiks.. Hiks ... " isaknya di detik terakhir Luke memberinya kesempatan untuk menangisi hidupnya. Luke mendekat, menatap Jasmine di jarak yang tak begitu dekat sehingga bisa menikmati raut wajah ketakutan wanita hamil keras kepala di bawahnya. "Sayang sekali. Kau sudah terjebak, dan nikmati hukumanmu sayang." Lirihan terakhir Luke, bersamaan dengan kegelapan yang merenggut kesadaran juga dunia Jasmine sepenuhnya. Jasmine ku sayang, Jasmine ku Malang ... ****** Merry menatap Anna yang terlelap dalam tidurnya. Semenjak kecelakaan tragis yang menimpa putrinya, hidup Anna berubah 180°. Anna tidak lagi periang dan terbuka sepeti dulu. Anna lebih banyak diam dan mengurung dirinya sendiri di kamar. Hanya saat ada Peter saja, sosoknya yang beberapa minggu ini tersisih, kembali pada raganya. Anna adalah anaknya satu-satunya. Dia tidak mau, Anna sedih atau pun terluka karena kehilangan cintanya. Itu sebab nya, dia menggunakan cara licik seperti masa lalu untuk menyingkirkan sang rival putrinya. Ya. Dia harus kembali menjadi jahat demi putrinya. Dunia memaksanya. Dia terpaksa melakukannya. Ibu mana, yang akan rela melihat anak nya terluka dan kehilangan semangat hidup nya? Sudah cukup dia melihat Anna kehilangan masa depannya. Anna yang sekarang adalah gadis lumpuh yang akan selalu membutuhkan bantuan orang-orang di sekitar nya. "Jangan sedih sayang. Ibu akan membawa paksa kebahagiaanmu ..." lirihnya, menahan isakannya yang selalu ingin tumpah saat melihat penderitaan putrinya. Drrtt.. Drrtt.. Getar ponselnya, membuat Merry mengusap air mata yang mengalir di sudut matanya. Sebuah panggilan dari seseorang yang menjadi mata-matanya memantau gerak-gerik Jasmine, akhirnya menghubunginya. Dan dia berharap, semoga Jasmine menepati janjinya. Dia akan mendapat kabar baik yang akan menentukan rencana selanjutnya untuk masa depan Anna ke depannya. "Katakan berita apa yang kau dapatkan!" ucapnya. "Tenang saja Nyonya. Wanita itu sudah pergi dari kehidupan Putri Anda, selamanya." Jawaban Pria itu, membuat sudut bibir Merry terangkat. "Ah, syukurlah. Aku senang. Akhirnya, aku bisa bernafas lega. Sekarang, kau bisa mengecek uang yang aku transfer.” Klik! Sambungan itu mati. Merry mendekati Anna yang perlahan membuka matanya. "Ibu berbicara dengan siapa?" tanyanya sambil menguap ringan. Merry tersenyum tipis sambil mengusap wajah Anna, putrinya. "Bukan siapa-siapa sayang," jawabnya. "Tapi, Ibu terlihat sangat senang, bahkan memberi orang itu uang?" rasa penasaran Anna, membuat Merry tertawa pelan. "Percayalah sayang. Semua yang ibu lakukan, hanya untuk kebahagiaanmu, okay?" Anna mengangguk, kemudian meminta ibunya memeluknya. "Aku menyayangimu, Ibu. Sangat." bisiknya. Merry menepuk pelan punggung Anna sambil mengecupi rambut panjangnya. Apa yang kurang dari putrinya, sampai-sampai Peter lebih memilih Jasmine? Anna gadis yang sempurna. Dia cantik, baik juga memiliki kuasa. Jika saja bukan karena Cinta. Dirinya akan dengan senang hati menerima, jika Anna mendapatkan pria lain selain Peter. Tentu dia tidak perlu bersusah payah untuk melakukan hal licik dengan menyingkirkan Jasmine. Jasmine. Maaf, kau harus menjadi korban atas keegoisanku ... batinnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN