Malam sabtu, saat yang dinanti oleh banyak karyawan di kantor Mimi. Bagaimana tidak? Jum'at adalah hari terakhir kerja, besok mereka akan libur dua hari menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta atau teman-teman tersayang.
Ditambah hari ini gajian, lengkaplah sudah raut bahagia di wajah para karyawan, tak hanya itu ternyata bonus tahunan pun dimajukan pembayarannya jadi hari ini. Tentu mereka senang sekali, terkecuali Mimi.
Ya Mimi, bukan karena dia belum genap setahun bekerja sehingga dia tak mendapatkan bonus tahunan, bukan! Karena gaji Mimi yang lumayan besar itu dirasa amat sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan harian pribadinya dan juga keluarganya.
Mimi tak senang seperti yang lain, karena malam ini seperti malam-malam di minggu sebelumnya, Cathy teman semeja, teman seperjuangan kerja karena satu profesi dengannya itu, seperti biasanya memaksa Mimi untuk ikutan Zumba.
Ya Zumba adalah senam kebugaran yang menggabungkan tarian perut, salsa, bollywood bahkan sekarang sering menggunakan musik dari idol K-Pop, seperti Blackpink, BTS, dan apalah yang -Mimi tak tahu namun Cathy hapal- itu, membuat wanita berperawakan tinggi langsing semakin semangat mengikuti class zumba di kantor.
Lantai sepuluh menjadi saksi betapa sejahteranya perusahaan tersebut, hingga menyediakan satu lantai khusus untuk sport centre.
Dari alat fitness, lapangan Volly yang bisa dialih fungsikan menjadi lapangan badminton atau basket, ruang kaca untuk senam atau dance. See luas sekali lantai itu!
Sudah tiga lagu diputar, instruktur berusia empat puluhan namun bertubuh masih terlihat kencang itu memberi waktu untuk peserta zumba minum.
Mimi bersandar di kaca sambil terengah-engah, keringat sudah membasahi kaosnya. Untuk pakaian senam, dia hanya mengenakan kaos lengan pendek dan celana legging rok juga sepatu sport.
Sementara Cathy mengenakan kaos senam model tanktop, celana senam press body, rambut yang dikuncir tinggi dengan bandana agar menahan poninya yang dapat menutupi mata.
"Semangat dong Mi, baru pemanasan nih. Gemuk boleh, tapi sehat itu penting!" ucap Cathy berapi-api. Dia menyeka keringat dengan handuk di lehernya.
"Iya,, tahu.. hah! Capek!"
"Baru pemanasan cantik, yuk ke gerakan inti." Ucap Instruktur sambil menyalakan kembali musik pengiring zumbanya.
Mimi hanya menganga sambil berjalan pelan ke barisannya, instruktur itu menepuk bahu Mimi dan mengepalkan tangan menyemangati Mimi.
Dia sadar pekerjaannya yang hampir delapan jam duduk saja itu tak bagus untuk tulang dan tubuhnya, ya sehari-hari dia lebih banyak duduk, menatap layar komputer, hanya terkadang menyiapkan bahan-bahan penting di ruang rapat dan selebihnya kembali ke meja.
Jarang sekali dia mengeluarkan keringat yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh tubuhnya. Mimi mengumpulkan semangatnya, diapun mengikuti gerakan senam Zumba itu dengan perasaan yang lebih happy, demi kesehatannya juga.
Usai sudah satu jam setengah waktu yang dihabiskan untuk bergerak terus, Mimi kini duduk berselonjor di ruang senam, sementara Cathy terlihat menuju ruang fitnes untuk treadmill, Mimi tak habis pikir sebenarnya Cathy itu punya berapa baterai dalam tubuhnya? Sepertinya dia energik sekali dan tak pernah terlihat kelelahan.
Setelah merasa yakin bahwa keringatnya sudah hilang, Mimipun berjalan ke kamar mandi di lantai tersebut, membasuh tubuh dengan shower air hangat yang tersedia disana. Tak seperti dirumah yang kalau mandi air hangat, musti masak di kompor dulu.
Tak banyak perusahaan yang menyediakan fasilitas seperti ini dan Mimi beruntung bekerja disini.
Mimi sudah berganti baju saat ini, dia mengenakan celana jeans, dan kaos hitam juga cardigan berwarna abu-abu.
"Ket, duluan ya." Mimi melambai ke arah Cathy yang asik berolahraga sambil mendengar musik, Cathy balas melambai, "Hati-hati yaa, happy weekend sayang." Balas Cathy sambil memberi kecupan jarak jauh ke Mimi.
Mimi membetulkan tas berisi baju dan menuju ruangannya, dia harus mengambil tas kerjanya diruangan.
Sekali lagi Mimi mengecek meja kerja, setelah dirasa tak ada yang ketinggalan diapun beranjak dari kursinya. Bertepatan dengan pintu ruangan Vino yang terbuka. Mimi sempat kaget melihat Vino masih ada di kantor, padahal sudah hampir jam sepuluh malam.
"Lho Pak Vino, masih disini?" Vino tersenyum dan mengangguk dia melihat jam di tangannya.
"Tadi ada pekerjaan sedikit, kamu sudah selesai zumbanya?"
"Kenapa gak bilang aku pak, tahu gitu kan bisa aku bantuin tadi."
"Enggak apa-apa, masih bisa di handle kok, pulang sama siapa?" Vino pun melangkah menghampiri Mimi dan memberi tanda agar mereka berjalan bersama menuju parkiran.
"Pesen ojek kayaknya, pacar aku gak bisa jemput." Mimi menarik nafas pelan. Padahal sudah malam, tapi Zaldy malah tak bisa menjemputnya.
Vino hanya mengangguk pelan, dia bahkan menggaruk dagunya yang tidak gatal.
"Mau bareng?"
"Kalau boleh sih," Mimi tersenyum tak enak, Vino hanya tertawa, tawanya renyah dan terdengar seksi. Ups! Mimi menggeleng, fikirannya harus segera dijernihkan, bagaimana bisa dia memadankan kata seksi dengan Vino yang merupakan bosnya seperti itu?
Semua pasti karena tadi sebelum Zumba, beberapa karyawan wanita menggosipkan Vino yang memenangkan kategori pria terseksi sekantor, hasil voting diam-diam para karyawan wanita itu. Voting yang diikuti juga oleh Mimi dan Cathy sebagai karyawan paling dekat dengan Bos Vino.
"Bengong, eh?" Vino menekan tombol buka di kunci mobilnya, lampu di sebuah mobil mewah berwarna hitam menyala. Vino membuka pintu untuk dirinya di kemudi, sementara Mimi membuka di pintu sampingnya.
"Pak Restu kemana?"
"Cuti, istrinya melahirkan." Vino men-starter mobil dan melajukan kendaraannya keluar basement parkiran.
"Oh udah melahirkan." Vino mengangkat kedua alisnya mengiyakan.
"Mau mampir makan dulu gak?"
"Makan dimana ya yang enak?" Tanya Mimi lebih ke dirinya sendiri, sebenarnya dia sedang ingin makan nasi goreng lesehan tak jauh dari rumahnya, tapi apakah bosnya biasa makan di tempat seperti itu, bukan di restaurant bintang lima?
"Bengong terus dari tadi? Ada yang ganggu pikiran kamu?" Vino menoleh sekilas pada Mimi yang tergagap, dia kembali memfokuskan pandangan ke jalan.
"Hmm, enggak sih Pak, Cuma..." Mimi menggigit bibir bawahnya,
"Jangan digigitin bibirnya entar habis," Ledek Vino, Mimi hanya tertawa garing.
"Apaan sih," Mimi pun nampak berfikir bagaimana menyampaikan rasa ingin makan di tempat itu ke Vino, "Hmm, kalau kita makan di pinggir jalan, kamu keberatan enggak?" Akhirnya Mimi menyuarakan isi hatinya.
"Enggak masalah, asal sama kamu. Hehe," duhh Mimi merasa hatinya melumer seketika persis seperti keju yang terpanggang diatas pizza, dia bahkan salah tingkah dibuatnya. Pasti Vino ini salah satu pria playboy di dunia ini, nyatanya bisa menggombal receh seperti itu.
"Di deket gang rumah aku aja ya, ada nasi goreng pete, enak deh." Usul Mimi yang disambut anggukan kepala oleh Vino, pete? Perlu dicoba.
Vino terpaksa memarkirkan mobilnya di depan sebuah minimarket samping warung nasi goreng yang kata Mimi enak tersebut. Karena di warung itu tak tersedia lahan parkir, sementara Mimi berjalan memesan nasi goreng, Vino memilih membeli minuman ringan di toko, yaa hitung-hitung numpang parkir.
Mimi mengambil tempat duduk agak di pojok, warung nasi goreng ini seperti warung dadakan, karena bukan di ruangan tertutup melainkan berada di emperan toko yang tutup di malam hari, Vino memperhatikan keadaan sekitar, beruntung tikar dan peralatan makannya cukup bersih, bahkan digunakan bahan berwarna putih lebar yang biasanya digunakan di tenda hajatan, untuk menutupi toko-toko tersebut.
Kontras sekali dengan penampilan Vino yang rapih, setelan kemeja dan dasi juga sepatu pantovel yang terpaksa dibuka di depan tikar tersebut.
Dua nasi goreng panas sudah tersedia di meja, lengkap dengan campuran pete, sosis dan ayam juga orak arik telur. Anggaplah ayamnya bertelur di nasi goreng tersebut.
"Kamu pernah makan pete kan?" Mimi meyakinkan dirinya menghidangkan makanan ini untuk Vino.
"Ah, Pernah kok, iya pernah." Vino terpaksa berbohong, kasian Mimi kalau dia bilang tidak pernah, Mimi pasti akan kecewa.
"Enak kok, coba aja. Aku suka banget pete, apalagi jengkol. Hampir tiap minggu dirumah itu emak masak jengkol, menu favorit keluarga." Mimi berceloteh sambil mengaduk nasi gorengnya agar uapnya keluar. Vino hanya tersenyum, tak mengerti mengapa ada orang-orang yang menyukai makanan beroroma tajam tersebut.
"Coba ya," Vino menyuap satu suapan, ada petenya disendok itu, awalnya tak ada rasa yang aneh namun aroma pete yang cukup kuat itu menyeruak ke tenggorokannya. Beruntung nasi gorengnya memang cukup enak dilidah, sehingga rasa pete itu bisa dinetralisir di lidah Vino, hanya dia harus mengabaikan keberadaan pete itu saja.
Mimi menyadari ekspresi Vino yang berubah ubah ketika mengunyah, dia pun menutupi mulut dari senyum lebarnya itu, ya dia tahu Vino belum pernah makan Pete, dia pernah berbincang dengan Cathy tentang itu. Tapi dia sangat ingin melihat bosnya itu mencoba makanan kesukaannya, toh apapun makanan itu kalau belum dicoba tak akan tahu kan rasanya seperti apa?
"Makan," Ucap Vino mengangkat satu alisnya, karena terlihat Mimi tak jua menyuap makanannya. Mimi tersenyum penuh arti, lalu dia menjulurkan sendoknya ke piring Vino dan mulai mengambil pete-pete itu dan memindahkan ke piringnya.
Vino hanya tertawa, tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Mimi, sedikit bicara namun banyak bekerja. Seperti saat ini, dia seringkali paham keinginan Vino meski tak terucap.
"Dah, silahkan dilanjut makannya." Mimi mulai menyuap nasi dengan tumpukan pete hasil jarahan dari piring Vino tersebut.
"Makasih yaa," Vino menjawil pipi Mimi dengan gemas. Mimi hanya cemberut kemudian tertawa diperlakukan seperti anak kecil begini oleh bos seksinya. Ups!
***
Mimi dan Vino sudah masuk kembali ke mobil setelah menghabiskan makan malamnya, biarlah sia-sia Zumba yang dilakukan Mimi tadi karena ternyata dia masih jauh lebih mementingkan kesejahteraan cacing-cacing di perutnya dibandingkan kehilangan sedikit bobot tubuhnya.
Semenjak bekerja di kantor itu berat tubuh Mimi bukannya berkurang justru bertambah lima kilo gram, hingga kini mencapai tujuh puluh lima kilo. Amazing, ya bagaimana tidak?
Jika dulu Mimi bekerja di kantor pengiriman barang, dia juga sering kebagian menyortir barang, membawa barang ke truk pokoknya banyak gerak, kini dia lebih sering berdiam di depan meja, ditemani cemilan dan AC yang dingin yang membuat perutnya sering merintih kelaparan.
Dan jangan lupakan kantin di lantai bawah yang sangat fleksibel dengan segala menu yang tersedia, segala makanan yang ada. Ditambah lagi tugasnya yang sering menyiapkan makanan ringan untuk meeting dan fikiran tentang 'dibuang sayang' yang mengakibatkan makanan sisa meeting sering masuk ke lambungnya.
Tentu tubuhnya menjadi semakin lebar dengan pipi yang semakin chubby dan menggemaskan.
Vino sekuat tenaga menahan tawanya ketika Mimi masuk ke mobil, pasalnya di sudut bibir Mimi ada sebutir nasi goreng yang tertinggal, dan dengan sengajanya Vino tak memberitahukan ke Mimi, berpikir kalau Mimi akan sadar sendiri. Meskipun sampai depan rumahnya Mimi tak juga menyadari kalau wajahnya sekarang berhias butiran nasi.
"Makasih ya Pak," Mimi memegang knop pintu mobil, berniat keluar.
"Tunggu Mi," Vino mencegah Mimi, Mimi berbalik menghadap Vino. Tangan Vino terjulur ke wajah Mimi mengambil butiran nasi itu, menunjukkannya ke Mimi dan hap, melahapnya. "Manis," Ucap Vino.
Membuat wajah Mimi merah seketika, mungkin sebentar lagi akan berwarna kuning lalu hijau seperti rambu lalu lintas. Perut Mimi terasa mencelos, tubuhnya mematung. Sementara Vino hanya tersenyum melihat reaksi Mimi seperti itu.
"Ah, hm,, Makasih," Tutur Mimi malu-malu diapun keluar dari mobil Vino dan menutup pintunya, Vino menurunkan kaca jendela, membuat Mimi terpaksa agak membungkuk melihat Vino, karena merasa ada yang akan Vino sampaikan padanya.
"Good night, have a nice dream ya Mi,"
"Good night," cicit Mimi dengan suara yang terasa tercekat di tenggorokannya, dia melambai ketika mobil Vino meninggalkan pelataran rumah.
Mimi memegangi dadanya yang berdebar tak karuan, berkali-kali dia menggeleng kepala sambil berjalan pelan. Detak jantung ini? masih untuk Zaldy kan? Mimi masih cinta sama Zaldy kan? Lalu kenapa jantungnya berdetak secepat ini? berbagai fikiran berkecamuk di benak Mimi, hingga tanpa sadar, ada seseorang menatapnya lekat. Zaldy! Sudah sejak tadi duduk di teras rumah, menunggu Mimi.
"Ehem, pantes di telpon enggak diangkat, whats app gak dibales. Jadi lagi seneng-seneng sama orang kaya itu?" Sinis Zaldy. Mimi membelalakkan mata, tangannya menunjuk Zaldy, lalu turun memilih meremas tali tasnya.
"Kamu.. sejak kapan ada disitu?"
"Dari tadi, coba kamu liat handphone kamu? Aku udah kirim puluhan pesan sejak kamu bilang mau pulang naik ojek! Aku bilang tunggu aku jemput kamu, aku tunggu depan kantor kamu, kamu enggak ada! Aku kerumah, kamu belum sampai rumah. Kamu tahu enggak betapa khawatirnya aku sama kamu???" Mimi menunduk, suara Zaldy sudah bernada tinggi.
"Ternyata kamu pacaran sama bos kamu yang kaya itu! kamu ninggalin aku buat orang kaya itu Mi? Begitu? Tega kamu Mi! Aku kecewa sama kamu!!" Zaldy meninggalkan Mimi dan berjalan ke sepeda motornya yang terparkir di halaman.
"Tunggu Zal, aku jelasin semuanya." Mimi menarik tangan Zaldy yang langsung dihempaskan dengan kasar.
"Biarin aku sendiri dulu Mi!" ucap Zaldy pelan, diapun memakai helm dan meninggalkan Mimi yang mulai terisak. Bukan seperti ini! jerit hati Mimi pilu.
***
Bersambung...
Siapa yang setuju Mimi putus sama Zaldy ngacung!! hahahaa