Satu Rahasia

2211 Kata
"Hai,, coffe time yuk?" Ajak Pram di depan meja kerja Mimi, Cathy melihat jam yang melingkar di tangannya. Baru jam sepuluh pagi. "Nama kamu siapa ya?" Ledek Mimi berpura tidak kenal pada Pram. "Kenalin saya Hans," "Nama panjangnya?" "Hansip." Jawab Pram membut Mimi terpingkal. "Nama kamu siapa?" tanya Pram balik "Miss," "Miss apa?" "Miss kunti hihihihiii." Mimi tertawa semakin lebar lalu dia berdiri dengan agak kesusahan, membuat Pram ikut tergelak tawa. Di tengah mereka –Cathy- yang hanya menatap persis orang dungu tak mengerti gaya bercanda dua manusia berperawakan hampir sama tersebut. Sepeningal Mimi, Cathy masih saja melongo bahkan tak menyadari bahwa bosnya, Vino sudah mematung di belakangnya. "Ket, Mikhayla mana?" tanya Vino, ya di depan semua orang dia memanggil Mikhayla sama seperti karyawan yang lainnya. "Ah, Oh, Coffe Time pak bareng Pram," Cathy bahkan merasakan rahangnya yang mulai mengeras akibat terlalu lama menganga tadi. "Oh, dimana?" "Mungkin di kantin bawah." Jawab Cathy mencoba menebak kepergian mereka, karena memang di kantor ini sudah tersedia fasilitas kantin di lantai satu untuk memudahkan karyawan mencari makan atau sekedar ngopi santai. "Oke, thanks ya." Vino meninggalkan Cathy yang masih setia duduk di kursinya. "Pak Vino mau ke kantin juga? Mau ditemani?" tanya Cathy tulus. "Enggak, saya mau ke toilet." Jawabnya acuh, diapun berjalan cepat meninggalkan ruangan sekretarisnya. Kening Cathy berkernyit. Dia tahu betul kalau di dalam ruangan Vino sudah ada toiletnya tersendiri. "Apa jangan-jangan toiletnya mampet ya? Cek dulu deh." Cathy berceloteh pelan, diapun mendorong pintu ruangan Vino. Diacuhkan kertas kertas yang bertebaran di meja. Segera masuk ke toilet dan mengecek pembuangannya yang ternyata tak ada masalah apapun. Cathy keluar dengan menyedekapkan tangannya, berfikir cukup keras, tak biasanya bos satu ini ke toilet lainnya. Diapun memilih untuk membereskan tumpukan kertas yang mungkin Vino lupakan tadi. Tangannya mengambil satu kertas yang ternyata sebuah foto anak perempuan yang memakai seragam sekolah dasar, Cathy tersenyum melihat tubuh gemuk anak itu bahkan dia rasanya sangat gemas ingin mencubit pipi anak dalam foto itu yang mirip seperti artis cilik Amel Carla yang sekarang sudah besar. Samar Cathy seperti teringat seorang yang mempunyai senyum yang sama dengan perempuan kecil itu. Tapi Cathy tak perduli, dia tumpuk foto itu bersama beberapa map lainnya tanpa melihat isinya. Foto tersebut diletakkan di tumpukan paling atas. Cathy mengambil gelas teh yang sudah dingin dan piring cemilan pagi Vino yang baru dimakan setengahnya. Setiap pagi biasanya bergantian dia dan Mimi menyiapkan teh manis hangat dan cemilan ringan seperti cake atau buah, terkadang biskuit tergantung permintaan Vino. Dia berjalan ke pantry membawa peralatan makan tersebut dan meletakannya di wastafel, karena mencuci piring adalah tugas bagian office boy kantor. Sementara itu, di kantin lantai satu. Mimi yang semula berencana hanya memesan kopi, akhirnya tergiur dengan cake tiramissu dan donat yang dibeli Pram. Dia pun sudah memakan dua makanan itu, tak tanggung-tanggung Pram membeli selusin donat. Padahal dua jam lagi mereka kan akan makan siang. Tak hanya cemilan, bahkan Mimi sudah menghabiskan satu gelas es capuccino cincau miliknya, dan kini sudah tersedia cola di meja. Dipesan Pram barusan khawatir Mimi tersedak. Sementara Pram baru meminum jus mangganya dan tiga donat. Di meja lain ada Vino yang pura-pura membaca koran sambil mencuri pandang ke arah Mimi dan Pram yang nampak akrab sekali. Bahkan Mimi seringkali tertawa dan itu membuatnya terlihat 'manis'. Vino menggeleng, baru menyadari kalau dia sudah seperti penguntit jika seperti ini. padahal kantin masih terlihat sepi karena orang-orang baru akan makan jam dua belas nanti, dan biasanya karyawan yang ingin bersantai baru akan keluar setelah jam empat sore untuk sekedar ngopi atau meeting non formal disana. Akhirnya Vino pun kembali ke lantai tempatnya bekerja dengan meninggalkan kopi hitam yang bahkan belum disentuhnya sama sekali. Dia sadar, dirinya tak seluwes Pram yang mudah bergaul dengan semua orang termasuk Mimi. Dan dia pun menyadari bahwa Mimi terlihat nyaman dengan lelaki gembul itu. *** Siang ini Vino nampak tak semangat, dia bahkan memesan makanan lewat Mimi untuk dibawa keruangannya. Mimi menyiapkan ayam cabai hijau yang dibeli di kantin bawah. Lengkap dengan tempe, tahu dan lalapan. Setelah meletakkan piring di meja sofa ruang Vino, dia pun mengambil air mineral dan meletakannya disamping piring Vino. Sementara Vino sudah siap duduk di sofa. "Kamu mau makan sama Pram lagi?" Mimi yang sedang menunduk membereskan meja, segera mendongak dan melihat Vino yang justru membuang muka ke arah lain. "Enggak pak, aku bawa bekal." Vino menoleh ke arah Mimi. "Oh, baguslah yaudah sini makan bareng." Mimi hanya cengengesan salah tingkah. "Udah habis dimakan, setengah jam lalu." Vino hanya mengangkat sebelah alisnya dan mengangguk pelan. "Temenin aku makan disini." Vino menepuk sofa disampingnya, Mimipun menurut dan duduk disamping Vino. Vino menyuap nasinya dan mulai memotek ayam berlumur cabai hijau tersebut. Kentara sekali kalau Mimi menelan salivanya kasar, dia sepertinya lapar kembali melihat sajian itu. Vino melirik dari sudut matanya ke arah Mimi yang fokus melihat cara Vino makan membuatnya menahan tertawa. Vino menyobek daging ayam itu lagi dan menjulurkan tangannya ke arah Mimi. "Cobain," Ucap Vino berniat menyuapi Mimi. "Ih enggak ah pak, enggak enak." Tolak Mimi secara halus. "Ini enak kok." Vino terus memajukan tangannya menyentuh bibir Mimi, membuat Mimi membuka mulutnya dan menerima suapan dari tangan bosnya itu. Empuknya daging ayam bercampur pedasnya cabai hijau membuat Mimi merasakan sensasi yang aneh, ditambah disuapin sama orang yang ganteng, mungkin inilah yang membuat rasanya jadi semakin nikmat. "Makasih," Cicit Mimi pelan sambil mengunyah makanan itu. Dan Vino kini menyuap untuk dirinya dan kembali menyuapi Mimi. "Jangan pak, nanti bapak laper lagi kalau makannya barengan gini." "Aku gak akan habis makan segini Mi," Mimi mengerucutkan bibirnya sebal, memangnya dia tong sampah apa? "Ayo Aaak!" Seolah ayah yang menyuapi anaknya, Vino bahkan membuka mulutnya sendiri dengan lebar. Mimi pun menerima suapan itu –lagi. "Nah gitu dong, anak pinter..." kekeh Vino. "Oiya kamu serius enggak mau berangkat dan pulang bareng lagi?" "Enggak pak, enggak enak sama yang lain." Vino hanya mengangguk menghargai keputusan Mimi untuk tidak semobil dengannya. Mungkin memang Mimi sudah menahan selama ini untuk tak meminta itu. "Pak, Aku ke meja dulu ya, mau nyiapin berkas untuk rapat satu jam lagi." "Lho ini kan belum habis?" "Aku udah kenyang pak, Makasih." Mimi tersenyum dan berdiri lalu dengan agak membungkuk hormat dia meninggalkan Vino. Keputusan Mimi untuk keluar dari ruangan Vino sekarang ternyata sangat tepat, karena didepan pintu dia berpapasan dengan Ayah Vino. Pak Andriano pemilik perusahaan ini. bayangkan kalau sampai papahnya Vino itu melihat anaknya menyuapi sekretarisnya, bisa rusak dunia persilatan! Tubuhnya masih terlihat segar bugar meskipun sudah berusia enam puluh tahunan. Dan wibawanya terasa sangat tinggi dia merupakan pimpinan kharismatik kalau kata karyawan senior disini. Dia sangat memperhatikan karyawannya karena baginya mereka merupakan aset berharga perusahaan, kesejahteraan karyawan adalah yang paling utama untuknya. Tak hanya itu, di bawah kepemimpinannya perusahaannya berkembang sangat pesat bahkan bisnisnya sampai menjangkau ke negara Eropa. "Siang Pak," Sapa Mimi sambil membukakan pintu untuk Ayahnya Vino yang sebenarnya sudah pensiun sejak beberapa tahun lalu. "Siang Mikhayla, bagaimana kerjaan kamu? Lancar?" "Alhamdulillah pak," "Vino enggak macam-macam kan sama kamu?" Mimi hanya terkekeh, atas ucapan yang dinilainya cukup tidak masuk akal. "Tidak kok pak, Pak Vino baik sekali sama saya." Jawab Mimi dengan nada suara yang lemah lembut. Ya bahkan Mimi merasa bukan apa-apa jika bertemu dengan orang paling penting tersebut. "Hahaha harus itu, dia harus baik sama kamu. Kalau dia macam-macam lapor sama saya ya." "Pah..." Panggil Vino dari arah dalam, dia menyadari bahwa Papanya sudah berdiri di depan pintu namun tak jua masuk kedalam. Bahkan Papanya Vino sempat menepuk bahu Mimi sebelum masuk ke ruangan anaknya itu. Hal yang terasa cukup aneh, karena Mimi merasa bahwa Pak Andriano ini kelewat ramah kepadanya. Namun Mimi tak mau ambil pusing, karena dia berfikir mungkin seluruh keluarga Vino bersikap ramah seperti itu? Entahlah. *** Papa Vino duduk di sofa menghadap anaknya yang masih asik makan. Guratan lega terpancar diwajahnya melihat Vino makan dengan lahap seperti itu. "Kenapa panggil papa tadi? Papa kan masih mau ngobrol dengan Mikhayla." "Dia sudah lupa insiden itu pah," "Maksud kamu?" "Belum lama ini aku ke rumah sakit tempat dia dirawat, awalnya aku enggak dapat informasi apa-apa karena bukan anggota keluarga. Tapi setelah membuat surat pernyataan dan dibantu temen yang direksi di sana. Aku nemuin sesuatu yang cukup bikin shock." "Oiya apa itu?" Papa bahkan menegakkan tubuhnya demi mendengar berita dari Vino. "Saat kejadian itu, Mikhayla mengalami traumatis, entah apa? Akhirnya dia harus didampingi psikolog, karena dia selalu mengucap 'mau dibunuh, kakak itu mau dibunuh'. Begitu terus, dan atas permintaan orangtuanya Mimi di hipnoterapi agar melupakan kejadian tersebut karena khawatir mentalnya terganggu." "Kalau begitu, itu pasti ada hubungannya dengan kejadian itu kan? Lalu kenapa kita tidak dapat informasi apa-apa?" "Itu dia yang sedang kita cari tahu, kebetulan aku nemuin psikolog yang dulu menangani Mikhayla, beruntungnya dia masih bertugas disana. Dia ingat betul kalau saat itu dia sudah menyerahkan berkas hasil test Mikhayla ke anggota keluarga kita untuk di proses hukum karena bisa jadi barang bukti. Tapi entah kenapa sampai sekarang berkas itu bahkan tidak sampai ke kita." Vino segera mencuci tangannya setelah menghabiskan makan siang miliknya, dia mengelap tangan itu di handuk gantung depan wastafel dan kembali duduk di hadapan papahnya. "Sebentar, apa psikolog itu inget dia kasih berkas ke siapa?" "Dia ingat dengan jelas pah kejadian tahun itu karena saat itu dia baru dipindah tugaskan dari rumah sakit daerah makanya dia ingat detail setiap pasiennya, dan dijuga bilang berkas itu diserahkan ke wanita pah, wanita tinggi kurus dan berkacamata, rambutnya pirang dan kalau berjalan agak kaku. Wanita itu beberapa kali menjenguk Mikhayla dan mengaku kalau dia keluarga kita, makanya dokter itu percaya dan memberikan documen penting itu ke dia." "CCTV bagaimana?" "Tenang pah, aman.. aku udah dapet copian rekaman saat dokter menyerahkan dokumen tapi sayangnya, aku sama sekali tidak kenal dengan perempuan itu." Vino berjalan ke meja kerjanya dan mengambil laptop, tangannya mengklik sebuah video hitam putih yang merekam kejadian belasan tahun silam. Tampak dalam video berdurasi tiga menit tersebut, kalau psikolog yang menangani Mikhayla sempat berbincang dengan wanita itu di depan ruangan rawat inap Mimi. Wanita itu mengambil berkas dan segera meninggalkan rumah sakit, padahal dia belum sempat masuk ke dalam kamar Mimi. Wanita berpostur tubuh tinggi diatas wanita normal lainnya, mungkin sekitar seratus delapan puluh sentimeter, mengenakan mantel bulu yang sudah pasti harganya cukup mahal dan pasti bukan orang sembarangan yang mempunyai mantel itu pada zaman dahulu. Juga sepatu boots flat. Rambutnya agak ikal menggantung dan dia mengenakan kacamata. "Papah bahkan belum pernah melihat wanita itu sebelumnya, bagaimana bisa dia kenal Mikhayla dan tahu tempat Mikhayla dirawat?" "Itu dia pah, aku juga lagi cari tahu. Tapi aku enggak mau ngelibatin Mikhayla dalam kasus ini sampai ketahuan titik terangnya." Tok tok tok Vino terperanjat ketika suara pintu ruangannya diketuk, beruntung yang masuk adalah Cathy. "Ada apa Ket?" "Saya mau beresin peralatan makan dimeja pak," Cathy menunjuk dengan ibu jarinya. Vino mengangguk mempersilahkan. Pak Andriano yang masih penasaran pun memutar kembali video itu. Hal yang tak luput dari perhatian Cathy. Dia sempat melirik Video yang membuat dua atasannya itu mengernyitkan dahi bersamaan. Cathy membawa baki berisikan piring kotor ke pantry, kepalanya dipenuhi jutaan pertanyaan. Dia tak mau terlalu ikut campur tapi entah kenapa dia menganalisis sendiri rekaman janggal tersebut. Bahkan dia hampir menubruk Mimi yang berjalan dari arah berlawanan. "Mati gue!" Jerit Cathy, membuat Mimi tersinggung. "Emangnya gue tronton, Cuma ditabrak sama gue aja sampe mati." Cathy tergelak dan bergegas meletakkan piring itu di pantry, dia pun kembali menghampiri Mimi yang berjalan santai ke mejanya. "Udah siap ruang meetingnya?" sapa Cathy, Mimi masih cemberut. "Duh, yang ngambek... bukan tronton Mimi sayang, tapi truk gandeng!" ledek Cathy yang mendapat hadiah cubitan di lengan ala Mimi. "Ampun Mi, sakit ih." Cathy mengusap bekas cubitan itu. "Lagian lo enggak biasa-biasanya jalan sambil bengong gitu?" Tanya Mimi ketika mereka berdua sudah menghempaskan bokongnya di kursi putar nan empuk. "Gue ngeliat sesuatu yang aneh tadi." Jelas Cathy "Apaan," Mimi mendekatkan telinganya ketika Cathy memberi kode akan berbisik. "Tadi liat video di dalam ruangan pak Vino, ada cewek kayaknya enggak normal deh. Dari tingginya trus postur tubuhnya. Gue ngerasa aneh aja." Mimi mendengus "Jangan kepo jadi orang!" sentaknya membuat Cathy sebal. Tak lama terdengar derit pintu ruangan Vino terbuka, dia dan Papahnya berjalan ke arah Mimi dan Cathy. "Sudah siap rapatnya Mi?" Tanya Vino, "Sudah pak, peserta rapatnya juga sudah lengkap." "Baiklah, terimakasih ya." Vino tersenyum dan melenggang ke ruang rapat, berjalan cukup cepat untuk mensejajari langkah papahnya yang sudah jalan lebih dahulu. Tak sampai lima menit handphone Mimi bergetar tanda whats app masuk yang ternyata dari Vino, lelaki itu minta dibawakan laptopnya di meja. Mimi segera masuk ke ruangan Vino dan melihat laptop tergeletak di meja. Layarnya masih terbuka dan menunjukkan sebuah Video. Penasaran Mimi memutar Video itu. Nampak seorang wanita yang sepertinya tak asing, koridor rumah sakit yang juga tak asing, dan seorang berjas putih yang Mimi yakin pernah ditemuinya dulu. Tapi dia sama sekali tak ingat. Kepala Mimi mendadak pusing. Ditutup laptop itu dengan cukup kencang. Mimi bahkan terduduk di sofa. Mencoba menarik nafas dan mengenyahkan bayangan yang sangat membuat kepalanya pusing tersebut. Pikirnya, mungkin dia akan datang bulan sehingga mengalami anemia dan membuat matanya berkunang-kunang. Segera Mimi membawa laptop itu keruangan rapat dan memberikannya ke Vino, dia pun undur diri. Berjalan agak cepat ke arah Pantry. Mimi butuh minum yang banyak agar bisa fokus kembali dan meredakkan sakit kepalanya. *** bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN