Aku memandangi rumah dinas Erlan yang tampak kaku dan selalu rapi. Rumah itu sangat bersih karena Erlan memang prajurit teladan yang tentunya sangat suka kerapian dan kebersihan. Pertama kali datang ke rumah ini sebulan yang lalu, aku sudah tak suka dengan suasananya. Rumah itu bernuansa dingin, suram, tanpa tawa canda. Sama seperti pribadi Erlan. Pikiranku kembali melayang ke peristiwa sebulan yang lalu. Bulan yang menjadi akhir masa lajangku.
Adegan flashback kembali ke peristiwa sebulan yang lalu. Setelah pertemuan dengan danyon dan istrinya serta beberapa orang senior Erlan di pengajuan nikah, aku merasa kelelahan sepanjang waktu. Tak lain tak bukan karena aku harus menghapal setumpuk berkas milik Erlan. NRP, riwayat jabatan, jabatan terkini, riwayat pendidikan, riwayat prestasi, hobi dan kesukaan Erlan, dan lain sebagainya. Otakku yang sudah butek dan ruwet makin tak jelas karena aku harus mengenal lelaki yang sama sekali tak ingin mengenalku juga.
Lalu, pernikahan lelucon itu terselenggara juga. Bulan lalu, tanggal 15 pukul 9 pagi, aku resmi menjadi Nyonya Airlangga. Erlan mengucapkan ijab kabul dalam satu tarikan napas seolah dia mencintaiku. Dengan kaku, kucium tangannya pelan. Sama seperti saat pertama kali kami bertemu. Mama dan papa tersenyum bangga. Lain halnya dengan Kak Nindy yang lebih banyak diam menatapku. Dia seperti bersalah besar. Di malam harinya, pesta dilanjutkan di sebuah hotel. Pesta resepsi yang bertema kebun bunga itu pasti sempurna jika kami menikah karena cinta.
“Jadilah natural!” bisiknya tanpa menatapku. Dia sudah membentuk lengannya agar aku menggandengnya.
Akhirnya tanpa kata, aku menggandeng Erlan yang memakai seragam PDU 1. Di tanganku tergenggam buket bunga mawar merah muda. Serasi dengan gaunku. Ada seorang tentara yang memberi penghormatan pada kami sebelum kami mulai berjalan. Tentara itu meminta izin untuk memulai tradisi pedang pora. Erlan menjawabnya dengan suara tegas. Tak berapa lama tentara itu kembali ke barisan dan memberi aba-aba pada pasukan yang lain. Kamipun mulai berjalan pelan menuju pedang pertama yang terbuka. Pedang kedua, ketiga, dan seterusnya hingga pasukan pembawa pedang yang kedua belas.
Sekilas kudengar dari pembawa acara bahwa tradisi pedang pora ini untuk memperkenalkan dunia angkatan bersenjata pada mempelai wanita. Selain itu, pedang melambangkan solidaritas, persaudaraan, permohonan kepada Tuhan untuk melindungi angkatan bersenjata. Pedang pora yang membentuk gapura ketika dilewati kedua mempelai mengartikan kalau telah dimasukinya gerbang kehidupan rumah tangga yang baru.
Suara tambur musik militer teralun saat satu persatu pedang itu mulai terangkat. Aku masih sempat melirik, pasukan pedang yang baru kami lewati berjalan tegap mengikutiku di belakang. Sampailah kami di formasi lingkaran, para pasukan menghunuskan pedang ke atas seolah membentuk payung. Kudengar makna formasi payung ini adalah Tuhan akan senantiasa melindungi kedua mempelai dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Selanjutnya, prosesi dilanjutkan dengan pemasangan cincin. Dengan kaku Erlan menyentuh tanganku dan memasangkan sebuah cincin emas putih bertahta kristal kecil. Aku juga memasangkan cincin emas putih di jari manis tangan kanannya. Papa Erlan yang kini menjadi papa mertuaku membimbing ibu Erlan yang kini menjadi ibunda mertuaku untuk memberiku sepotong seragam Persit lengkap dengan lencananya. Inilah akhir dari upacara pedang pora ini. Hatiku teriris karena upacara ini sangatlah sakral. Rasanya menyedihkan karena ini pernikahan lelucon.
Aku melirik ke sisi kanan dan kiri meja para tamu undangan. Mereka tampak takjub melihat kecantikan semuku dan tentunya prosesi ini. Di antara mereka kulihat papa dan mamaku yang tersenyum cerah. Mama yang tak lagi sedih dan papaku yang terlihat sangat bangga. Tentunya Kak Nindy, penyebab pernikahan semu ini. Dia tampak tenang dan tersenyum lembut. Padahal aku sangat ingin mencakar dan memukulnya. Tapi kuurungkan karena aku masih menghormatinya. Ya Tuhan ini bukan pernikahan impianku selama ini. Kenapa jalan hidupku setragis ini?
---
Perutku terasa lapar. Sedari tadi aku tak nafsu makan. Bukan hanya sedari tadi sebenarnya, tapi sejak sebulan yang lalu. Hidupku terasa berjalan lambat setelah malam itu. Keesokan harinya setelah malam itu, aku dan Erlan berangkat ke Bandung untuk berbulan madu. Bukan bulan madu sebenarnya, tapi hanya lebih seperti jalan sendiri-sendiri. Setelah selesai liburan 2 hari, Erlan sudah kembali sibuk dengan rutinitasnya. Aku diboyong langsung ke rumah dinasnya di asrama. Rumah dinas yang kaku dan membosankan ini!
Sebenarnya ada suasana baru di ruang tamunya, sedikit saja. Sedikit suasana baru yakni bingkai foto pernikahan kami dalam ukuran besar. Foto itu diambil di kuade pernikahan kami sesudah tradisi pedang pora. Aku tersenyum palsu sambil memegang tangannya. Sementara dia hanya memasang wajah datar tanpa ekspresi. Foto yang indah sebenarnya. Tapi, Erlan merusak keindahannya dengan berkata "Lumayanlah ni foto buat ngusir tikus," Duh... resek bener!
Andaikan saja sikap Erlan seganteng foto-fotonya yang terpajang di dinding ruang TV. Foto-foto itu adalah miliknya ketika dia memakai seragam taruna warna biru dan berada di lapangan bersama taruna yang lain. Suasananya seperti suasana upacara. Erlan dan salah satu temannya menerima penghargaan dari Gubernur Akmil. Erlan sangat tampan di foto itu. Dengan wajahnya dia sanggup menawan wanita mana saja. Jujur, ada sedikit kebanggaan pada hatiku karena menjadi istrinya. Sedikit saja.
Kegiatan pertamaku di asrama adalah sowan kembali ke rumah para senior Erlan. Memperkenalkan diri untuk lebih dekat. Dari perkenalanku itu, aku sangat segan pada Mbak Rahman, ibu danyon. Beliau sangat baik dan ramah serta membumi seperti kesukaanku. Dia lebih suka dipanggil Mbak Audi ketika kami sedang berdua saja. Dia luwes dan tak kaku pada dunia militer seperti seniorku kebanyakan. Beda halnya saat aku bertemu dan berkenalan dengan Mbak Yusa, istri Mayor Yusanto Ibrahim. Wanita berusia 27 tahun itu sangat kaku dan judes. Serta lebih rumpik mengajariku tentang senior junior, atasan bawahan, dan lain-lain. Mengelus d**a. Sabar-sabar.
“Assalamualaikum,” sapa sebuah suara sambil membuka pintu pelan. Aku sadar dari lamunanku dan kembali ke saat ini. Aku menoleh dan melihat Erlan masuk lalu melepas sepatu PDL-nya.
“Walaikumsalam,” ujarku pendek sambil kembali menonton TV. Kudengar dia membuka kulkas dan tutup tudung saji.
“Kamu gak masak lagi?” tanyanya dingin. Aku menoleh kecut. Masak? Itu adalah hal yang paling tak kusuka. Karena aku gak bisaaaa.
“Gak ada bahan masakan,” ujarku pendek bin takut.
“Emang pak sayur gak lewat?” tanyanya cuek. Dia duduk di sebelahku sambil meminum jus apel dingin yang baru diambilnya. Aku tak berani melihat wajahnya yang tampan itu.
“Ya lewat sih…” ujarku kaku.
“Emangnya kamu gak ada uang buat beli sayur?” tanyanya judes.
“Ada sih…” jawabku takut-takut.
“Bukannya ATM merah putih sudah kukasih ke kamu?” tanyanya lagi.
“Iya iya udah kok Er… eh, Kak Erlan,” bodohnya aku jangan sampai aku ketahuan masih memanggil namanya tanpa embel-embel Kakak, Mas, atau Sayang, huek. Hiks.
“Erlan? Udah kubilang kan kalau kamu harus hormati aku sebagai suamimu. Harus ya aku tegasin sekali lagi peraturan kita?” tegasnya dengan wajah dingin.
Peraturan satu, aku harus memanggilnya Kak Erlan. Tidak boleh asal manggil karena aturannya aku masih anak ingusan yang 8 tahun lebih muda darinya. Dua, di depan orang tua kami harus tersenyum tampak bahagia. Tiga, ATM merah putih tempat gajinya masuk harus kukelola sebaik mungkin. Empat, aku tak boleh boros. Lima, aku harus memasak sendiri dan tidak boleh beli masakan matang. Enam, aku tak boleh sembarang buka tutup jilbab seperti biasanya. Tujuh, aku tak boleh pakai baju ketat. Delapan, aku tidak boleh berkata bahwa pernikahan ini adalah perjodohan. Sembilan, kami tidur terpisah. Sepuluh, tidak boleh ada kontak fisik yang tidak perlu. Sebelas, aku harus mandiri. Dua belas, saling menghargai privasi masing-masing.
Ya ya ya, alangkah lucunya hidupku karena harus hidup dengan 12 aturan umum ciptaan Kak Erlan. Bahkan, aturan itu sudah ditempel di pintu kulkas. Betapa menyedihkannya hidupku ini Tuhan. Aku harus menghapal peraturan itu satu persatu. Bagaimana bisa aku berubah dalam waktu sebulan. Aku bukan power ranger. Aku hanya anak berusia 21 tahun yang masih doyan-doyannya jajan, jalan-jalan, belanja, ketawa ketiwi bareng sahabat. Bukannya malah terkekang dengan pernikahan kaku ini. Lalu bagaimana kabar skripsiku? Hello, aku masih harus menyelesaikannya.
Skripsiku mungkin sudah jadi sarang laba-laba kali ya? Sebelum hidupku jungkir balik saja, si skripsi sudah mangkrak. Apalagi dua bulan ini aku jadi sosok manusia baru. Pastinya si dia makin mangkrak. Wajah galak Bu Mala, dosenku, sudah membayangi mimpiku. Setiap malam dia seolah datang dalam mimpiku dan menagih bab-bab dalam skripsi. Aku bagai dikejar hantu. Memang alasan skripsiku mangkrak selama ini selain sibuk belanja juga karena kegalakan dosenku. Bu Mala maafin aku ya. Doaku berulangkali.
---
“Aaaarrggghhh!” teriakku keras sambil bangun dari posisi tidurku.
Masya Allah, aku terbangun dari mimpi burukku tentang bu Mala dan skripsi. Bukan hanya itu saja, aku terbangun karena ada suara keras dan menakutkan. Apa itu terompet sangkakala? Gumamku sendiri.
“Ada apaan sih? Pagi-pagi sudah berisik!” keluh Erlan sambil membuka pintu kamarku.
Dia yang masih berbaju koko warna coklat masuk ke dalam kamarku yang sudah disulap dengan nuansa pink bunga-bunga oleh bundamer. Wajahnya tampak kesal karena tampak kaget dalam salatnya. Tampaknya dia memang terburu-buru masuk ke kamarku ketika salat.
“Mamah!” teriakku sambil buru-buru menutupi rambut panjangku dengan selimut tebal. Dia menatapku heran.
“Maksudmu apalagi?” tanyanya makin kesal. Aku baru sadar buat apa aku menutupi rambut. Toh dia suamiku yang tentu saja boleh melihat auratku.
“Aku cuma kaget sama suara terompet, Kak. Kupikir itu terompet sangkakala,” ujarku malu.
Wajahnya yang judes tampak berubah sedikit. Mungkin dia geli mendengar penuturanku. Tapi kemudian, dia kembali berwajah judes.
“Itu cuma terompet bangun pagi. Emangnya kamu baru pertama kali denger ya? Makanya jangan tidur saja hobimu. Kalau dengar azan subuh itu bangun, jangan keasyikan molor. Kalah melulu sama ayam. Kalau tadi bener terompet sangkakala, mau kamu kiamat pas kamu belum salat subuh? Nanti gimana dihisab di akhirat?” omelnya sambil keluar dari kamarku.
Aku cemberut kesal. Dasar cowok aneh. Gak peka sama sekali pada perasaanku. Seharusnya kalau istrinya ketakutan paling gak ditenangkan. Bukannya malah diomeli. Oke oke, aku berbenah langsung. Agaknya aku mulai terbiasa ketika bangun tidur langsung membereskan tempat tidurku. Aku tak lagi seperti di rumah saat masih gadis dulu. Lalu aku berlari ke kamar mandi dan mengambil air wudlu untuk segera mendirikan salat subuh.
Setelah salat, kutoleh kanan dan kiri. Aku ingin tahu dengan apa yang dilakukan Erlan setiap pagi. Dan hasilnya, dia ternyata malah asyik olahraga sendiri di depan rumah. Push-up, pull-up, sit-up, dan lompat-lompat kecil. Tampaknya dia sangat benci tubuhnya ditumpuk lemak. Sama halnya dengan dia sangat membenci kehadiranku. Ya sudahlah mending aku memasak untuk sarapan lelaki itu. Masak apa ya? Tak ada bahan apapun di kulkas selain hanya telur. Kemarin setelah mengomel, dia tak mengantarku belanja. Dia malah keluar dan membeli ketoprak untuk makan malam kami.
“Ini menu gaya baru ya? Baru tahu aku ada telur ceplok segosong ini!” sindirnya tajam sambil membolak-balik hasil pencak silatku pagi ini. Hasil kerja kerasku menggoreng telur hanya disindir seperti itu olehnya. Ingin rasanya kugigit saja laki-laki ini.
“Maaf, Kak. Baru pertama kali goreng telur. Itu juga penuh perjuangan. Nih tanganku merah-merah kena minyak panas,” ujarku pelan sambil menunjukkan tangan mungilku.
Dia tak menjawab lagi selain hanya memilah-milah dua buah telur ceplok yang sedikit, em, gosong itu. Sementara itu, aku hanya duduk di kursi makan di sebelahnya. Aku tak berani menolehnya lagi karena kulihat makannya hanya sedikit. Rasanya ingin kabur saja dari rumah ini. Gak kuat mama.
“Nanti siang kamu tidak usah eksperimen lagi. Bisa-bisa nanti rumah dinas ini kebakaran,” ujarnya pelan. Aku hanya menunduk lemas.
“Iya Kak. Oh iya, siang nanti aku harus ke kampus. Dosen pembimbingku ingin bertemu,” ujarku pelan yang disahuti deheman kecil darinya. Cuek sekaliii.
---
Aku melangkah lesu setelah keluar dari ruang dosen. Bu Mala sempat tak mau menerima kehadiran mahasiswi yang dianggepnya bandel ini. Sepanjang pertemuan tadi, dosen itu hanya mengomeliku yang malas mengerjakan skripsi. Sudah kukatakan bahwa akhir-akhir ini aku sibuk, tapi Bu Mala tak mau mendengarkannya. Akhirnya, kukatakan bahwa aku sibuk karena menikah. Tapi, bu Mala malah marah besar dan aku dikira mengejeknya karena tak kunjung menikah. Ampun, bukan itu maksudku. Bukan bu Mala, bukaannn. Untungnya Sang Maha Kuasa memberi kasih sayang dan kemudahan-Nya. Bu Mala menyuruhku untuk mengulang pendahuluan skripsiku. Terima kasih Ya Allah.
“Abellll…Nabillaaaaa!” panggil sebuah suara semangat dari arah belakangku. Aku menoleh dan mendapati seorang perempuan seusiaku sedang berlari ke arahku.
“Dea!” balasku sambil menerima pelukan hangatnya.
Sahabatku sejak SMA. My partner in crime. Sahabat yang sempat kucueki dua bulan belakangan ini. Dia tampak merindukanku. Dia juga cerewet menanyaiku ini dan itu. Banyak cerita yang tak sempat kubicarakan dengannya. Ya, karena aku terlalu sibuk mengutuki hidupku.
“Kamu jahat banget sama aku, Bel! Kok bisa tiba-tiba kamu menghilang, menikah diam-diam sama pangeran tampan berseragam hijau. Wauw kamu benar-benar mengejutkan, Abellll,” selorohnya keras yang membuatku membungkam mulutnya.
“Kamu mau kasih pengumuman ke seluruh kampus ya?” tanyaku kesal.
“Ih…kamu gitu deh. Gimana-gimana, ayo cerita dulu dong. Gimana rasanya nikah muda? Gimana rasanya pedang pora? Gimana rasanya nikah sama tentara? Malam pertamamu gimana?” berondongnya yang membuatku pusing.
“Darimana kamu tahu kalau aku nikah pakai pedang pora?” tanyaku bingung.
“Ya elah oon. Suamimu itu sudah upload video kalian di instagramnya!” ujar Dea antusias. Hah? Erlan upload video nikah kami. Beneran? Aku saja malah belum kepo pada media sosialnya. Aku terlalu sibuk meratapi nasibku.
“Hello, are you there, Abel?” tegasnya yang membuatku sadar.
Akhirnya aku bercerita segalanya pada sahabat baikku ini. Sejak awal sampai akhir pertemuanku dengan Erlan. Dia hanya melongo keheranan mendengar penuturanku. Aku yakin pasti dia sangat terkejut dengan keputusan dan jalan hidupku. Berulangkali dia mengusap pundakku penuh kasih. Dia menguatkanku dengan suara lembutnya. Dea memang sahabat baikku.
“Tapi menikah dengan lelaki sesempurna itu gak ada ruginya keleus, Bel.” Kata-kata itu membuatku ingin meninjunya. Dia terkikik sendiri.
“Tapi aku selalu ada untukmu kok, Bel. Jangan lupa ya kenalkan aku pada teman suamimu yang masih bujang,” pintanya sambil menaikturunkan alisnya. Ya ya ya Dea memang sangat ingin punya pacar tentara.
“Jadi sekarang kita gak bisa bebas jalan dong?” tanya Dea sedih.
“Iyalah. Aku kan bukan cewek lajang lagi, De. Hiks” ujarku sambil memeluknya. Aku kangen saat kebersamaan dan kenakalan kami.
Sebuah klakson mobil mengagetkan nostalgia kami. Aku menoleh dan mendapati sebuah mobil Honda Jazz RS warna putih berhenti mulus di jalanan sebelah kami. Itu kan mobil Erlan. Demi apa dia ke sini? Bukannya sudah ada di aturan kalau kami akan saling menghargai privasi satu sama lain. Dalam rangka apa dia datang ke kampusku? Menjemputku?
“Iya, selain itu untuk belanja isi kulkas,” ujarnya dingin sambil menjawab pertanyaanku dan menyetir mobil. Aku hanya cemberut kesal karena terpaksa berpisah dengan Dea yang malah terpesona pada wajah Erlan.
“Aku kan bisa belanja sendiri sepulang dari kampus. Gak usah dianterin juga kali, Kak.”
Jawaban pendekku yang tak ditanggapi lagi. Dia malah menyalakan musik dan mengalunkan sebuah lagu militer. Dia tampak sangat menikmati mars dan hymne militer itu. Busyet!
“Emangnya kamu tahu bahan masakan itu apa aja? Bedain beras sama pasir aja gak bisa! Setelah belanja kita juga akan ke rumahmu. Kalau bukan karena disuruh oleh papa mamamu, tidak mungkin juga aku menjemputmu,” cibirnya pelan. Agaknya aku terbiasa mendengarkan kejudesannya.
“Hah? Pulang ke rumahku, Kak? Beneran?” sahutku senang dan bersemangat. Aku merindukan rumahku.
“Iya. Hanya sebentar. Nanti malam juga balik ke asrama sebelum apel malam,” ujarnya pelan. Tak apa-apa, asal sudah bertemu dengan mama dan bermanja dengannya.
---
Pertemuanku dengan mama layaknya pertemuan seorang anak dan ibunya setelah berpisah seabad. Padahal aku hanya sebulan tidak bertemu dengan mama. Rasanya sudah sangat merindukan mama. Omelannya, kasih sayangnya, perhatiannya, itu adalah hal yang hilang selama 1 bulan aku menjadi seorang istri. Aku memeluknya cukup lama, meresapi kehangatan mama. Sempat juga kulirik Kak Nindy yang juga memandangiku.
“Bagaimana rasanya, Sayang? Kamu bahagia?” tanya mama pelan seolah lupa kalau pernikahanku ini seperti ini.
“Mamah, jangan melontarkan pertanyaan seolah aku bahagia ya? Ingat ya Mah, aku seperti ini karena siapa,” ujarku sambil melirik Kak Nindy. Sindiran tajam kulontarkan ke arah kakak cantikku itu. Mama mengelus punggungku.
“Ya sudah ayo Nak kita makan dulu. Papa dan suamimu sudah menunggu,” ujar mama menarik tanganku. Mama takut aku akan terus memandang sinis pada kakakku.
***
Bersambung...