DUA

1539 Kata
Ben Suryadjaja sedang menyetir mobilnya sambil ikut bernyanyi bersama penyanyi di radio. Suasana hatinya sedang cerah, walaupun kemacetan mulai terbentuk di ruas jalan yang dia lewati. Dia tak bisa membayangkan bagaimana padatnya jalanan di jam pulang kantor nanti. Nada dering terdengar nyaring, bersaing dengan suara si penyanyi yang sedari tadi sudah menguasai ruangan di mobil itu. “Yo, Rud?” Ben sengaja menekan tombol speaker agar dia tak perlu memegangi gawainya. “Lo gila ya, Ben? Belum jam pulang kerja main cabut aja? Enggak kasih kabar pula.” Rudi, asisten yang juga sahabat Ben sejak SMA menyemburkan amarah di seberang sana. Ben tertawa. “Gue masih waras lah. Makanya cepet-cepet cabut sebelum macet parah. Lo juga sih lama banget gak balik-balik ke ruangan gue. Ya gue tinggal duluan.” “Gue hampir kena serangan jantung waktu Pak Salim nanyain lo ke mana. Gile aje, kepala gue jadi taruhan.” Lagi-lagi Ben tersenyum mendengar nama direktur utama disebutkan. “Lebay lo, Bro. Sans aja. Baru juga hari pertama. Enggak ada yang urgent juga kan?” “Ya tetep aja lo enggak bisa seenaknya gitu, Ben? Sejak kapan lo jadi ngasal dan serampangan begini? Kirain setelah balik dari Singapore lo malah jadi robot yang hidupnya lurus, teratur, dan makin membosankan.” “Besok gue ada jadwal apa aja, Rud?” Ben berusaha mengalihkan pembicaraan. Telinganya panas mendengar Rudi tidak berhenti mengeluh. “Bentar.” Bisik-bisik omelan Rudi masih bisa Ben dengarkan. Perilaku sahabatnya itu tak ayal membuat Ben tersenyum simpul. “Besok pagi lo mesti ketemu Pak Salim. Setelah itu lo gak ada jadwal meeting sampe jam 3 sore, lo mesti ketemu sama karyawan baru yang lagi training. Awas lo besok cabs duluan!” ancam Rudi galak. Ben menginjak pedal gas sembari menjawab, “Beres!” Entah apa yang merasuki pikirannya, tiba-tiba Ben menjadi sangat bersemangat mendengar kata “karyawan baru” disebutkan Rudi sebagai salah satu jadwalnya besok. Bayangan perempuan sederhana nan bersahaja yang ditemuinya tadi memenuhi benak Ben. Dia harus tahu nama perempuan itu. Untung saja perusahaan tempatnya bekerja tidak memiliki larangan sesama karyawan untuk berpacaran. Ben tak tahu apa yang membuatnya begitu tertarik pada perempuan itu. Mungkin kebaikan hati yang membuat perempuan itu tak segan menolongnya pagi tadi. Atau sikap malu-malu yang ditunjukkannya saat mereka bertemu sore barusan. Ada sesuatu dalam diri perempuan itu yang membuat Ben ingin mengenalnya lebih jauh. Dering dari gawainya terdengar lagi. Tanpa menoleh, Ben menggeser tanda hijau pada layarnya. “Apa lagi sih, Rud?” “Ini anak, angkat telepon enggak kasih salam dulu, atau sapa dulu, main nyolot aja,” seru perempuan yang Ben sangat kenali. “Eh, Mami. Sorry, Mi, sebelum ini si Rudi telepon soalnya.” Ben menyeringai. Sejenak lupa Mami tidak bisa melihat ekspresinya. “Selamat sore, Mami yang paling cantik. Apa yang bisa Ben bantu, Mi? Ben lagi nyetir nih.” “Ben, Sabtu besok anterin Mami arisan ya? Kayaknya Pak Ujang bakal nyetirin Papi ke lapangan golf, terus Pak Mamat nganterin Drew les tambahan.” Ben memutar bola matanya jengah. Dia bisa menebak ada maksud terselubung dari permintaan maminya itu. Sabtu masih beberapa hari lagi, dan sebetulnya Mami bisa saja bicara di rumah kan? “Iya, nanti Ben anterin. Tapi, Ben enggak mau tunggu ya, Mi. Kalau Mami sudah selesai Ben jemput lagi.” “Kamu tuh ya, Ben, masa Mami main ditinggal gitu aja. Kalau ada apa-apa gimana?” Lampu lalu lintas berubah merah, Ben menghentikan mobilnya dengan cekatan. “Mi, arisan di mana sih? Biasanya juga di rumah temen Mami kan? Mau ada apa gimana sih, Mi? Jangan-jangan Mami mau ngenalin siapa lagi? Kali ini anak temen Mami yang mana?” Ben sudah tak bisa bersabar menghadapi Mami yang getol mengenalkan dirinya pada puluhan perempuan. Helaan napas panjang terdengar di seberang. “Ben, kamu tuh udah hampir kepala 3 loh. Dulu Papi seumur kamu –” “Udah punya 2 anak kan, Mi?” potong Ben. Dia sudah kenyang mendengar ocehan Mami yang membandingkan dirinya dengan sang Papi. “Kamu tuh ya, dibilangin bantah terus aja. Enggak kamu, enggak adek-adek kamu, enggak ada yang mau denger omongan Mami. Yang satu anti pacaran, yang satu gonta-ganti pacar, yang bontot juga mulai coba-coba deketin cewek. Mami bisa mati muda, kena serangan jantung karena kalian.” Ben menahan napas dan mengembuskannya perlahan. Menghadapi Mami ternyata lebih menguji kesabaran ketimbang terjebak di kemacetan kota. Dia harus bersabar menghadapi sang ratu. Salah langkah, Ben tidak hanya menerima omelan dari Mami, tetapi juga teguran dari Papi yang tak pernah absen membela sang istri tercinta. “Mami yang cantik, yang baik hati –” “Gak usah pake ngerayu gitu ya! Gak mempan rayuan kamu, Ben!” Ben tersenyum mendengar upaya sang Mami merajuk di telepon. “Iya deh, enggak pake ngerayu. Ini Ben sudah hampir nyampe rumah. Mami mau dibawain apa? Bunga lili favorit Mami? Atau cheesecake di toko kue kesukaan Mami? Atau nanti Ben ajak Mami makan di restoran hotpot yang baru buka deket rumah itu, Mi?” “Enggak mempan, Ben! Aduh, kamu tuh ya, persis kayak Papi kamu. Herannya, kenapa kamu belum juga punya gandengan sih? Mami tuh gemes jadinya.” “Mi, nanti kita ngomong lagi ya. Paling 20 menit lagi Ben nyampe.” “Siang tadi kamu makan apa, Ben? Tuh ya, kalo udah punya gandengan, Mami enggak perlu khawatirin kamu lagi. Kamu jangan makan nasi padang terus, inget kolesterol, Ben. Apalagi sekarang kamu tuh di kantor pasti kerjanya duduk melulu di belakang meja. Sekali-kali jalan gitu, Ben. Maksud Mami tuh literally kamu jalan-jalan di kantor. Masa enggak ada yang menarik hati gitu?” Gak usah jalan aja udah nemu bidadari, Mi, batin Ben. “Kamu tahu gak, Ben, temen-temen Mami tuh udah pada punya cucu. Coba lihat Mami, mantu aja belum punya. Kamu tega Mami susah hati begini?” “Baru juga hari pertama, Mi. Masa Mami mau anak Mami yang paling ganteng ini dibilang ganjen gara-gara tebar pesona ngajakin cewek-cewek kenalan? Yang bener aja, Mi!” Sang Mami kembali berujar, “Ya udah, ya udah. Pokoknya Sabtu besok kamu anter Mami. Titik. Gak ada nego lagi. Sana, nyetir hati-hati, Mami udah masakin rendang kesukaan kamu.” “Makasih, Mi. Mami emang the best deh, enggak ada yang bisa ngalahin.” Dan sebelum Ben mematikan sambungan telepon, dia mendengar suara lantang sang mami, “Ben, jangan lupa cheesecake Mami. Kamu udah janji tadi.” Laki-laki itu hanya bisa tersenyum bersamaan dengan lampu yang berubah hijau. “Iya, Ibunda Mami. Ben tutup dulu ya.” Dalam perjalanan menuju toko kue kesukaan Mami, hati Ben tiba-tiba terasa hangat. Rasanya sudah lama sekali Ben tidak merasakan dimanja dan menerima rentetan omelan dari sang mami. Beberapa tahun terakhir dia habiskan di luar negeri untuk memperoleh gelar master. Sekalipun awalnya Mami menentang keinginannya untuk merantau sendiri, berbekal beasiswa yang dia peroleh dari sebuah universitas swasta di Singapura, Ben mantap memutuskan untuk pergi. Dia tahu Papi dan Mami lebih dari mampu untuk terbang ke Singapura sebulan sekali dan menengok keadaannya. Namun, dia melihat bagaimana Papi dan Mami menahan diri untuk tidak sering mengunjunginya. Mami selalu beralasan ada kedua adik Ben yang tak bisa terus ditinggalkan. Padahal, Cole hanya lebih muda setahun darinya. Tapi, Ben tahu juga tak mudah bagi Mami untuk berpisah dari Drew, adik bungsunya yang lebih muda 10 tahun dari Ben. Secara finansial, Papi bisa saja membiayai studi lanjutnya. Namun, Ben melihat bagaimana Papi membiarkannya berjuang sendiri. Papi mendukung niatnya untuk mandiri. Beliau tidak pernah memaksa mengirim uang untuk Ben. Selama tinggal di Singapura, Ben hanya berbekal beasiswa dan pendapatan dari kerja part-time di kampus. Sekalipun Ben harus berhemat, tidak sekalipun Papi turut campur. Kepercayaan dan dukungan Papi sangatlah berarti bagi Ben. Termasuk ketika dia memutuskan untuk tidak bergabung di perusahaan kontraktor milik Papi dan mencari pengalaman di perusahaan lain. Lagi-lagi, Papi tidak melarang bahkan sepenuhnya mendukung keputusan Ben. Ben tidak mau membuat kedua orang tuanya kecewa dan khawatir akan dirinya. Sebagai putra sulung, dia sudah dilatih untuk menjadi seorang yang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, dan bahkan untuk adik-adiknya. Sekalipun Papi tidak memaksanya meneruskan usaha yang beliau bangun sejak usia muda, Ben tahu dia berkewajiban untuk membuat Papi dan Mami bangga. Hal itulah yang membuat Ben selalu ragu menjalin hubungan dengan perempuan. Selama ini dia tak pernah serius menanggapi perempuan yang mendekati dirinya. Tanpa harus menebar pesona, tak terhitung perempuan yang mendekati Ben, bahkan sejak dia duduk di bangku SMA. Ada beberapa yang menarik perhatiannya juga. Tapi, berpacaran bukan prioritas bagi Ben. Perempuan-perempuan itu harus berpuas diri digeser oleh buku-buku dan studi Ben. Terlebih lagi, Ben punya satu pengalaman buruk yang membuatnya makin mantap memilih untuk tidak berurusan dengan perempuan. Baginya, berelasi sama saja membuka diri untuk terluka. Dan Ben tahu benar, dia tak punya cukup energi untuk meladeni para perempuan itu ketika di saat yang sama dia mengejar mimpinya. Mungkin mereka hadir di waktu yang salah. Dan kini ketika satu demi satu mimpinya terwujud, ada satu perempuan yang menarik perhatiannya. Mungkin ini yang namanya takdir. Rasanya janggal sekali bagi Ben untuk memercayai takdir. Selama ini dia percaya bahwa seorang harus bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu yang baik dalam hidupnya. Namun, kali ini, Ben tak keberatan untuk meyakini semesta telah merancang pertemuan mereka begitu rupa. Mungkin perempuan itu memang takdirnya. Dan Ben akan segera mengetahui namanya. Besok.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN