TUJUH

1306 Kata
Sejenak, aku memandangi kotak bekal yang tadi diberikan Ben. Kedua tangan ini sudah memegangi kotak itu selama beberapa menit, tetapi ada hal mengganjal dalam hati yang membuatku belum juga membukanya. Ada rasa ragu yang menahanku hingga tak berani menggerakkan jari dan melihat apa yang ada di dalam kotak itu. “Ini, ada makanan. Sarapan dari Mami saya.” Kalimat Pak Ben masih terngiang jelas di kepala ini. Kalimat itu membuatku sangat ketakutan. Ada banyak harapan tersirat dalam kalimat itu, tetapi juga ada risiko bagiku untuk dikecewakan dan dilukai lagi. Jari-jariku ng bergetar mengusap motif bunga sakura yang menghiasi penutup kotak bekal di hadapannku. Mau tak mau, aku seperti dibawa kembali pada kenangan bersama Mama. Dulu, setiap pagi, Mama akan menyediakan kotak makanan dan botol minum untuk bekal ke sekolah. Bahkan ketika aku masih menjalani masa orientasi sebagai mahasiswa, Mama masih saja membawakan bekal untukku. Bukan dengan kertas cokelat pembungkus makanan, tapi selalu dengan kotak makanan bergambar. Salah satunya berwarna merah dengan wajah tikus lucu, karakter kartun favoritku. Kotak lainnya berwarna kuning yang penutupnya dipenuhi gambar bunga aster. Mata ini jadi berembun, mengenang kembali kasih Mama yang selalu kurasakan setiap kali menikmati masakan yang dibuat istimewa untukku. Pagi ini, rasanya perasaan nyaman itu muncul kembali. Tetapi disertai dengan banyak tanda tanya. Mengapa ibu dari GM kantor ini membuatkan bekal untuk aku? Apa yang sudah Pak Ben katakan hingga perempuan yang tidak kukenal itu memberikan sesuatu yang terasa sangat personal? Bolehkah kali ini aku menjadi egois dan berpura-pura menikmati kasih seorang ibu yang sangat kurindukan dari mendiang Mama? Ah, rasa ini bukan pura-pura. Aku memang sangat merindukan Mama, mendamkan sentuhan seorang ibu. Aku tak menampik bahwa aku tersanjung mendapat ekspresi kasih dari seorang perempuan yang Pak Ben panggil “Mami”. Namun, ada rasa lain yang sedang menudingku. Rasanya tidak pantas aku berharap lebih. Mana pantas aku menyematkan makna lain dari bekal ini? Pasti ini akal-akalan Pak Ben saja. Mana mungkin ibu beliau memberi sesuatu untuk orang yang tidak dikenalnya? Aku menarik napas dalam dan mengembuskan sesak bersama udara itu, lalu kuusap kedua mata yang sudah basah. Kotak bekal itu terpampang jelas di depanku dan kali ini aku dengan yakin membuka penutupnya. Wangi mentega menyeruak. Ada dua risol dan dua kroket di sana, lengkap dengan cabai hijau dan acar mustard. Aku mengambil satu kroket yang bentuknya lonjong telur sempurna. Dalam satu gigitan, lembutnya kentang dan gurihnya isian ayam jamur menggoda lidah. Hatiku meneriakkan pujian akan keahlian memasak sang koki. Cocok sekali dijual di hotel berbintang atau toko kue ternama. Sebelum gigitan berikut, aku menuangkan acar mustard dengan perlahan. Wow! Lembut, gurih, dan segar bercampur, pas sekali. Tak butuh lama, aku sudah menghabiskan kroket itu. Begitu pula risol berisi potongan ham, telur, dan keju dengan saus mayones. Perutku yang tadi pagi hanya diisi selembar roti tawar kini bersorak gembira. “Hemmm… wangi banget. Bawa bekal, Bi?” tanya Mbak Ani yang baru memasuki ruangan. Aku hanya mengangguk. Teman-temanku tak perlu tahu kisah di balik kotak bekal ini. Aku tak ingin menjadi bahan pembicaraan atau digosipkan dekat dengan Pak Ben. Kenyataannya memang aku baru bertemu laki-laki itu beberapa hari yang lalu. “Tumben datang bareng, Mbak?” Mataku mengarah pada Kevin yang mengekori Mbak Ani. “Ternyata rumah Mbak Ani sejalan. Jadi gue tawarin bareng aja.” Mbak Ani yang sudah duduk di sebelah menepuk bahuku. “Kalo rumah lo searah juga, Kevin bisa buka anjem.” Tawa kami pecah. Hanya Kevin yang tersenyum masam. Tak lama kemudian ruang meeting itu sudah penuh dengan rekan-rekan yang lain. Aku memutuskan untuk tak banyak bicara, memperhatikan satu demi satu rekan-rekan yang sedang asyik ngobrol dan bertukar tawa. Tak sengaja, mataku melirik sebuah risol mayo dan sebuah kroket yang tersisa di kotak bekal. Awal hari yang teramat hangat. Dikelilingi rekan kerja yang, walaupun baru saling mengenal, membuatku merasa diterima dan didukung. Dibekali dengan uluran kasih seorang ibu yang, walaupun tak pernah kutemui, membuatku berharap bisa kembali merasa disayangi. “Permisi.” Suara lantang dari pintu kaca membuat seisi ruangan, tak terkecuali aku, menoleh. “Cari siapa, Mas?” tanya Kevin yang kebetulan berada paling dekat dengan pintu. “Mas Anton kan?” “Iya, Mas. Saya mau nganter kopi buat Mbak Febe.” Anton mengangkat dua paper bag yang memenuhi kedua tangannya. “Febe? Enggak ada yang namanya Febe, Mas. Mungkin salah lantai. Mas Anton juga biasanya jarang kelihatan di lantai ini,” jawab Kevin lagi. Anton tersenyum amat lebar hingga deretan giginya yang agak menguning terlihat jelas. “Saya memang tugasnya di lantai 25, Mas. Makanya saya diminta Pak Ben antar kopi buat Mbak Febe.” Kevin melirik ke arahku lalu memicingkan mata. Aku hanya mengedikkan bahu, tanda tak paham. “Febe atau Phoebe, Mas Anton?” Kali ini suara Kevin lebih lantang, dengan penekanan pada nama-nama yang dia sebutkan. “Oh iya, Mbak Vi-bi.” Kini Anton malah menekankan tiap suku kata namaku. “Maapin ya, Mas. Lidah kampung kayak saya gini suka belibet. Padahal tadi Pak Ben udah pesan jangan sampe salah.” Anton kini melangkah masuk dan meletakkan dua paper bag di atas meja. Aku berinisiatif berdiri dan mendekati Anton. “Mas Anton, apa enggak salah?” Aku perlu memastikan bahwa ini bukan kasus salah kirim yang berakhir kurang baik buat si kurir, dalam hal ini Anton. “Oh ini yang namanya Mbak Vi-bi.” Lagi, Anton menekankan pelafalan namaku yang membuat tawa geli terbit di seluruh ruangan. “Pantesan cakep gini. Ini bener dari Pak Ben, eh… Mas Ben, Mbak. Jadi, tolong diterima ya, Mbak. Kalo enggak nanti saya dimarah Mas Ben. Ini ada 15 es cappuccino tanpa gula.” Dari sudut mata, aku melihat beberapa mata berbinar mendengar “cappuccino” disebutkan. DI sebelahku, Kevin sedang menutup mulut dengan tangan, berusaha meredam tawa. “Kalau yang ini pesenan Mas Ben. Mau saya antara ke atas.” Anton menunjukkan sebuah paper bag kecil yang masih dia pegang. “Ah, iya. Makasih, Mas Anton.” Aku berusaha memberi senyum tulus buat Anton yang kini meninggalkan ruangan itu. Begitu pintu tertutup, tawa Kevin meledak. “Gue enggak nyangka Pak Ben bisa gercep begitu. Tapi pesenannya agak aneh ya,” ujarnya sambil mendekati salah satu paper bag dan mengambil satu gelas es cappucinno. Kevin mengamati gelas bening itu lalu berkata lagi, “Modal juga beliin kita es cappuccino, tapi… kok tanpa gula?” “Minumnya sambil lihat gue aja, Vin. Dijamin langsung manis,” timpal Mbak Ani yang disambut dengan tawa rekan-rekan yang lain. “Geer banget lo, emangnya beli buat lo? Jelas cuma nama gue yang disebut?” Aku merebut gelas yang dipegang Kevin dan mengembalikannya ke dalam paper bag. Otakku berpikir keras apa yang harus kulakukan dengan belasan gelas minuman ini. Menolak pemberian Ben mungkin akan membuat laki-laki itu tersinggung. Tetapi, mungkin laki-laki itu bisa membagikannya kepada penghuni lantai 25. Di sisi lain, sayang juga tidak menikmati cappucinno dengan foam gurih dari kedai kopi di seberang yang memang terkenal dengan kopinya. “Emang Pak B. S. niat menyiksa lo dengan ngirim 15 gelas kopi buat lo habisin sendiri? Kejam nian itu si Babang Sayang lo? Kalo menurut gue nih, dia lagi mencoba mendapat perhatian lo dengan nyogok kita-kita.” Kevin kembali mengambil gelas cappuccino di tanganku lalu meraih sebuah sedotan, untuk menikmati kopi dingin itu. “Enak banget nih. Kalian gak ada yang mau?” Mbak Ani menjadi orang kedua yang mengambil cappuccino dingin itu lalu berjalan kembali ke tempat duduk, melewati tubuhku begitu saja, sambil menyeringai dan berkata, “Makasih ya, Neng. Tolong sampein ke Babang Sayang.” Ketika yang lain sedang mengambil bagian masing-masing, pintu terbuka lagi dan Pak Rudi berdiri di sana. “Rame bener pagi ini? Kalian patungan beli kopi?” tanyanya ketika melihat orang-orang di ruang meeting memegang gelas kopi masing-masing. “Enggak dong, Pak. Ini kiriman istimewa. Pak Rudi ambil aja, masih lebih kok,” sahut Kevin lantang sambil mengerling padaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN