SEBELAS

1899 Kata
[Phoebe POV] Sejak pagi, ada banyak mahasiswa –baik yang masih berkuliah, sedang mengerjakan skripsi, maupun yang baru lulus– datang ke booth kantor. Aku dan teman-teman yang bertugas hari ini bahkan tak sempat rehat sejenak untuk makan siang. Akhirnya kami memutuskan untuk bergantian makan, walau masing-masing harus puas dengan waktu 5 menit untuk mengisi perut. Kakiku terasa amat pegal, padahal aku sudah menuruti nasihat Bu Shinta untuk mengenakan sepatu yang nyaman. Aku baru bisa duduk di kursi yang tersedia setelah bicara dengan Bu Shinta dan Pak Rudi, yang kemudian meninggalkan kami dan kembali ke kantor. “Bi, aku mau beli minuman. Kamu mau nitip?” Kak Vina, senior di divisi HRD, tampak sudah siap beranjak dengan dompet dan gawai di tangannya. “Makasih, Kak. Aku masih ada air,” jawabku sembari mengangkat botol berisi air minum yang masih setengah penuh. Sepeninggal Kak Vina dan teman-teman yang lain, aku menghela napas panjang. Waktu tugasku akan berakhir di pukul 5 sore dan kemudian aku masih harus pergi ke rumah murid les sesuai dengan yang Allana aturkan. Hari ini adalah pertemuan pertama kami. Aku tidak mungkin meminta penyesuaian jadwal, sekalipun bertepatan dengan tugasku di expo ini. Artinya, aku sendiri yang harus menjaga stamina dan menjadi kuat sepanjang hari ini. Aku meneguk air yang masih ada di dalam botol, sementara mataku terus memperhatikan sekeliling. Tak begitu banyak orang yang lalu-lalang saat ini, dibanding sebelum makan siang tadi. Menurut Kak Vina, memang biasanya jam sibuk ada di sebelum makan siang dan setelah jam pulang kantor. Tetap saja, aku berusaha untuk berdiri di depan booth kami. Sekalipun tak seramai tadi, masih ada satu dua orang yang berjalan melambat ketika melewati booth dengan backdrop beberapa produk unggulan perusahaan yang dikenal banyak orang. “Kok kamu sendiri? Yang lain mana?” Sontak aku menoleh dan menemukan Pak Ben sudah berdiri di dekatku dengan satu tangannya di saku celana. “Siang, Pak. Yang lain masih istirahat, Pak. Tadi cukup ramai sampai kami tidak sempat istirahat.” “Kamu sendiri enggak istirahat? Sudah makan?” Otakku masih bekerja mencerna pertanyaan Pak Ben. Apa aku harus menjawabnya? Kalau aku menjawab, apa yang akan terjadi kemudian? Aku ogah terjebak dalam situasi yang tidak enak bersama Pak Ben. “Sudah, Pak. Terima kasih.” Pak Ben tersenyum. Aduh, kalau aku tak punya tanggungan, mungkin aku akan dengan mudah meleyot diberi senyuman yang begitu menawan. Tapi, rasa tahu diri membuatku membangun tembok baja di sekeliling hatiku. Tidak ada yang boleh masuk atau menarikku keluar dari sana. Aku aman di dalam hati bertembok baja itu. “Kalau begitu, ini buat kamu.” Pak Ben menyodorkan sebuah paper bag yang tidak aku sadari sebelumnya. Logo cafe seberang kantor tercetak di kantong kertas itu. “Cappuccino ice, less sugar. Kamu sukanya itu kan?” Aku mengalihkan pandangan dari Pak Ben. Hatiku diliputi keraguan dan kebimbangan. Rasanya tidak sopan menolak pemberian Pak Ben. Tapi, aku ingat, hatiku kan bertembok baja? Dia tidak boleh masuk. Tidak dengan membawa es cappuccino atau membawa yang lain untuk membuka pintu hatiku. “Terima kasih, Pak. Tapi, tadi saya sudah nitip minuman ke teman-teman. Itu buat Bapak saja.” Dahi Pak Ben berkerut. “Bener enggak mau? Kamu jaga juga masih lama. Buat nanti juga bisa kan?” Rupanya laki-laki ini masih tidak menyerah. “Saya jaga sampai jam 5 kok, Pak.” Aku melirik ke jam tangan bertali kulit pemberian Mama ketika aku masuk kuliah, yang masih kupakai hingga sekarang. “Tinggal 2 jam lagi kok, Pak. Rasanya saya tidak butuh kopi begitu banyak.” Untung saja setelah itu ada sekelompok perempuan muda, mengaku baru lulus, dan bertanya-tanya tentang perusahaan kami. Aku jadi terbebas sementara dari Pak Ben. Hanya saja, aku merasakan Pak Ben terus menatapku. Sekuat tenaga aku berusaha tetap tenang dan melayani mahasiswa yang terus memberondongku dengan banyak pertanyaan. Aku ingin menahan orang-orang ini untuk tidak segera beranjak. Kalau mereka pergi, apa artinya aku harus menyiapkan jawaban untuk Pak Ben yang memaksaku menerima cappuccino itu? Pertanyaanku ternyata tak terjawab. Karena tak lama kemudian, Kak Vina dan teman-temanku kembali. Aku mengembuskan napas lega, dengan sangat perlahan. Tentu saja agar Pak Ben dan teman-temanku tidak mengetahui gejolak di hati ini. “Traktir dong, Pak.” Salah satu temanku dengan tidak tahu malu malah menodong Pak Ben. Herannya, Pak Ben malah tersenyum. “Sana pesan buat makan malam, saya yang bayar. Hitung juga buat nanti yang bakal datang gabung jaga sampai malam.” “Yang habis ini balik enggak dapat jatah dong, Pak?” Teman yang lain menimpali. “Dapat. Pesan buat semua. Yang habis ini balik, bawa aja makanannya buat makan di rumah. Lumayan kalian hemat waktu, bisa langsung istirahat.” “Wah, Pak Ben ter-the-best dah!” seloroh teman lain disambut sorakan setuju semua yang ada di sana. Aku hanya tersenyum kecut. Taktik apa lagi yang dimainkan Pak Ben? “Loh, kopi buat Phoebe mana? Katanya tadi dia nitip kalian beli kopi?” Matilah! Bisa-bisanya Pak Ben ingat menanyakan hal itu? Ah, aku lupa. Reaksi Pak Ben yang seperti ini seharusnya tidak membuatku terkejut. Kak Vina menatapku dengan pandangan heran. “Tadi Phoebe enggak nitip kok, Pak.” Kak Vina kini menatap Pak Ben, dan sesekali melirik ke arahku. “Ah, my bad. Tadi tuh Phoebe titipnya ke saya sih.” Pak Ben mendekat ke arahku dan lagi-lagi menyodorkan paper bag yang sebelumnya sudah hampir beliau serahkan padaku. “Titipanmu nih.” Pak Ben tersenyum lebar. Aku melihat teman-temanku tersenyum penuh arti sambil melirik ke arahku. Dengan terpaksa, aku menerima paper bag itu. “Terima kasih, Pak.” Dan seperti belum cukup “menyiksaku”, Pak Ben masih tinggal di booth dan ikut melayani para mahasiswa yang mampir ke booth. Padahal tadi saja Bu Shinta dan Pak Rudi hanya datang, memeriksa kondisi, lalu kembali ke kantor 30 menit setelahnya. Mendadak, booth kami jadi ramai. Kebanyakan yang datang adalah mahasiswi yang langsung berhenti di hadapan Pak Ben dan mengabaikan kami yang ada di sana. Tetapi ini sebuah keuntungan bagiku. Pukul 5 tiba juga. Aku berpamitan kepada Kak Vina dan memberi tanda pamit pada Pak Ben yang masih melayani mahasiswa. Segera saja aku pergi dari tempat expo dan memesan ojek online menuju tujuanku. Allana sudah mengingatkan supaya aku datang ke rumah murid les ini tepat pukul 6, sesuai yang sudah kami sepakati. Aku sudah berada di titik penjemputan, tepat di luar pagar venue expo. Dari layar, aku melihat ojek online yang kupesan sudah hampir tiba. Aku terus memeriksa ke arah jalan dan akhirnya melihat motor dengan plat yang sama dengan yang tertera di layar. “Mbak Febe ya?” tanya driver ojek online yang berhenti tepat di depanku. Nasib. Kebanyakan orang memang melafalkan namaku begitu. Aku tersenyum kecut dan menerima helm yang disodorkan oleh driver. Tetapi, aku tersentak mundur ketika ada tangan yang merebut helm itu dan mengembalikannya pada abang driver. “Maaf, Pak. Ini pacar saya lagi ngambek terus pesen ojek sendiri. Maaf, ya. Enggak jadi naik ojeknya.” Belum sempat abang driver itu protes, Pak Ben menyodorkan selembar uang berwarna merah bersama dengan helm yang tadi belum diterima oleh abang driver itu. “Oh, makasih ya, Bang. Obrolin baik-baik ya, Mbak. Saya enggak mau ada di tengah urusan percintaan begini. Makasih. Mari, saya jalan dulu.” Dan abang driver itu meluncur begitu saja, meninggalkanku yang gondok setengah mati pada sosok di sampingku. “Maksud Bapak gimana ya? Saya ada keperluan, Pak. Jam tugas saya juga sudah selesai.” “Saya antar ya? Yuk.” Pak Ben menarik lembut pergelangan tanganku, yang langsung kurespons dengan menariknya. “Maaf, Pak. Tidak usah.” “Saya enggak ada maksud jelek, Phoebe. Saya antar kamu. Enggak aman perempuan pergi sendiri, apalagi ini sudah sore.” Aku mengembuskan napas panjang. Berusaha untuk tetap sopan di hadapan Pak Ben. “Terima kasih banyak, Pak. Tapi saya sudah biasa naik kendaraan umum. Mari, saya permisi.” Tak mengindahkan Pak Ben lagi, aku memutuskan untuk berjalan menjauh. Sesungguhnya aku tidak tahu kendaraan umum apa yang bisa membawaku ke tempat tujuan. Sejak tadi aku memang berencana naik ojek online. Tapi, tujuanku saat ini adalah menjauh dari Pak Ben. Karena itu, begitu ada kendaraan umum yang menepi, tanpa ragu aku langsung naik, meninggalkan Pak Ben yang terus berdiri di sana. – “Bagian apa yang kamu masih belum ngerti?” Untung saja setelah drama kendaraan umum, aku berhasil sampai di tujuan tepat pukul 6 sore. Aku langsung disambut oleh ART yang membawaku ke ruangan yang mirip dengan perpustakaan mini. Ada sebuah meja di tengah ruangan itu, tempat aku mengajar murid lesku yang duduk di kelas 12. “Sudah jelas, Kak. Aku jadi ngerti kalau dijelasin kayak gini.” Aku tersenyum melihat muridku ini. Sejak tadi, dia menyimak semua penjelasanku dengan perhatian penuh. Tebakanku, dia bukan tipe anak pemberontak yang malas belajar. Mungkin, dia cuma butuh dibantu untuk memahami materi yang memang makin kompleks. “Oke. Kalau begitu, segini dulu buat hari ini ya.” Jam tua yang duduk manis diapit dua rak buku besar sudah menunjukkan pukul 7.30. “Oh ya, Mami mau ketemu, Kak. Sebentar ya. Aku panggilin dulu.” Aku mengangguk dan meneguk segelas air yang tadi disediakan untukku. Awalnya ART menawarkan minuman manis. Tetapi, karena ingat sudah minum segelas cappuccino –yang sejujurnya enak sekali– aku meminta dibawakan air putih. “Oh ini yang namanya Phoebe ya?” Aku berdiri menyambut nyonya rumah yang tampak begitu ramah. Aku tersenyum, senang karena ada orang yang menyebut namaku dengan benar dan juga karena senyum nyonya rumah yang begitu tulus. Beliau tampak begitu anggun walaupun hanya mengenakan dress sederhana. Aku hanya bisa membayangkan, dress itu mungkin harganya mahal. “Selamat malam, Tante. Terima kasih sudah memercayakan putranya pada saya.” “Tante yang terima kasih, Phoebe mau ajarin anak bontot ini.” Sang nyonya rumah memeluk putranya itu dengan begitu hangat. Hatiku mendadak terasa hangat juga. Selain melihat interaksi ibu dan anak yang begitu unik –karena aku tahu banyak anak laki-laki yang merasa risih diperlakukan dengan begitu dekat khususnya oleh ibu mereka– itu, aku jadi rindu Mama. “Phoebe makan malam dulu ya. Kebetulan ini semua lagi mau makan. Yuk, makan bareng.” Sang nyonya rumah sudah menggamit lenganku dan mengajakku mengikuti langkah beliau. “Aduh, Tante, jangan. Saya dari pagi kerja belum sempat pulang. Rasanya kurang sopan dengan kondisi begini ikut makan malam. Selain itu, saya enggak mau mengganggu Tante dan keluarga.” “Ah, enggak apa. Itu suami dan anak-anak saya juga baru pulang dari kantor semua. Mereka juga pasti enggak keberatan Phoebe ikut makan. Makan dulu ya.” “Mi, semua sudah di meja.” Seorang perempuan muncul di pintu dan mendekati kami. “Eh, halo. Ini Phoebe ya? Gimana tadi belajarnya, Dek?” Perempuan itu bertanya pada murid lesku. “Asyik, Kak.” Wah, hatiku makin hangat melihat interaksi ketiga orang di hadapanku ini. “Phoebe ikut makan kan, Mi?” tanya perempuan muda itu. “Iya, Kak. Yuk, kita ke meja makan.” Kali ini, aku tak bisa menolak. Aku hanya terpikir sekotak makanan yang tadi sempat dibelikan Pak Ben. Ah, nanti kuberikan saja pada abang ojek dalam perjalanan pulang. Mengikuti langkah mereka, kakiku terpaku ketika melihat orang-orang yang ada di meja makan itu. Dengan mudah aku mengenali tuan rumah yang duduk di kepala meja. Tetapi ada dua laki-laki dewasa yang juga ada di sana. Rupanya mereka menyadari kehadiranku. Karena dua detik kemudian, mereka berdua dengan serempak berdiri dan menatapku dengan pandangan tak percaya, lalu bersamaan berkata, “Kamu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN