Ingin Pulang

1101 Kata
Ayana terlalu malas berangkat kerja. Tidak sepertinya biasanya karena ia tidak ingin melihat wajah Alfi. Apa Ayana terlalu kekanak-kanakan? Sepertinya memang begitu. Padahal apa yang Ayana alami pasti juga dialami oleh orang lain. Dunia kerja memang seperti itu. Ayana menghela nafas panjang. Ia keluar dari kamar dengan penampilan rapi. Perusahaan tidak membatasi pakaian karyawan asalkan sopan. Jadi Ayana memakai apa yang membuatnya nyaman dan tentu saja sopan. "Cengeng," ledek Fajar yang juga keluar dari kamar. Aroma parfumnya sungguh tidak membuat Ayana nyaman. "Mau ngajar atau mau tebar pesona?" balas Ayana dengan niat menyindir sang abang. "Ngajar lah. Kamu kira aku dosen apaan?" Tampaknya Fajar masih kesal dengan tingkah Ayana semalam. Bahkan tadi saat subuh, Fajar masih diomeli oleh sang ibu. Ayah juga tidak menunggunya berangkat ke masjid bersama-sama. Kekuatan anak bungsu memang luar biasa. Apalagi anak perempuan satu-satunya. Disenggol sedikit saja langsung menangis dan endingnya mengadu. "Eh, abang dosen ya?" "Ck. Pagi-pagi udah bikin kesal aja." Fajar melangkah lebih dulu menuju ke meja makan. Ayah sudah tidak ada karena sudah berangkat bekerja. Entah kenapa waktu sarapan Ayana dan sang abang sama. Biasanya mereka sarapan lebih dulu dibanding bersiap-siap agar bisa sarapan bersama Ayah dan Ibu. "Ada apa ini?" tanya Ibu menghampiri anak-anak yang sudah duduk di meja makan. Ayana dan Fajar sama-sama mengarahkan pandangan ke cahaya kehidupan mereka. "Nggak ada apa-apa, Bu." Ayana dan Fajar mengatakan secara bersamaan. Mereka langsung menatap satu sama lain seakan tidak percaya. "Nggak usah ikut-ikut," keluh Ayana. Fajar menatapnya dengan malas. "Siapa juga yang ngikut-ngikut," balasnya. "Ternyata belum selesai juga ya." Ibu geleng-geleng kepala. "Dia yang mulai, Bu." "Enak aja. Aku dari tadi diam-diam aja." Fajar membela diri. "Udah udah. Sarapan dulu nanti kalian terlambat." Ibu langsung membuka tudung saji. Ada sarapan yang sudah terhidang. Rebus telur, sayur dan juga nasi. Ayana dan Fajar sama-sama menghabiskan sarapan. Kalau masakan ibu, maka pasti sangat cocok di lidah mereka. Setelah sarapan, mereka pamit untuk berangkat kerja. Ayana lebih dulu karena motornya sudah ada diluar. Pasti Ayah yang mengeluarkan motornya sebelum berangkat kerja. Sedangkan sang abang masih duduk sambil memasang sepatu. Ayana menelusuri jalanan yang cukup ramai. Kalau diingat kembali, kenapa tadi malam Ayana menangis? Memalukan sekali. Dia menangis seperti anak kecil yang sangat kesakitan. Pantas saja saat bangun tidur, Ayana merasa kepalanya sedikit berat. Bahkan matanya sedikit membengkak. Sungguh luar biasa. Hari ini dia akan kembali melihat Alfi. Ayana harus segera membersihkan hati dari perasaan yang tidak tepat kepada Alfi. Apalagi kalau Alfi sudah menikah. Ayana tidak mau menyukai suami orang sekalipun tampan, kaya dan segala-galanya. Pukul delapan kurang tiga menit Ayana berhasil sampai. Dia juga buru-buru melakukan absensi agar tidak termasuk ke dalam kategori karyawan terlambat. Bisa-bisa Ayana mendapat surat cinta karena sering terlambat. Gajinya juga bisa terpotong secara otomatis. "Pagi, Mbak." "Astagfirullah." Ayana kaget. Ternyata Zane ada dibelakangnya. Ayana sampai tidak sadar. Mungkin karena terlalu banyak hal yang ia pikirkan. "Maaf, Mbak." Zane langsung meminta maaf karena sudah tidak sengaja membuat sang senior kaget. "Tidak apa-apa." Ayana tertawa kecil supaya Zane tidak merasa bersalah. "Apa kamu sudah mendapatkan referensi icon terbaru?" tanya Ayana. "Sudah, Mbak. Tapi belum banyak." "Tidak apa-apa. Nanti kita diskusikan bersama." Dua kepala lebih bagus dari satu kepala. "Baik, Mbak." Ayana dan Zane masuk ke dalam ruangan. Sudah ada yang datang. Tapi belum semuanya. Ada yang ke pantry untuk membuat kopi. Ada juga yang membeli kopi di luar perusahaan. "Apa yang terjadi?" tanya Ayana setelah sampai di meja kerjanya. Dia melihat Lusi yang menyandarkan kepala ke atas meja. "Aku ngantuk." Lusi menjawab dengan pelan. Dia seperti orang yang kehabisan tenaga. "Pasti tadi malam begadang," tebak Arsel yang juga baru datang. "Begitulah." Lusi mengakuinya. "Aku harus minum kopi." Kepala yang awalnya terletak di atas meja sudah tegak kembali. Jangan sampai Lusi tidur di jam kerja. Bisa-bisa dia langsung mendapat peringatan keras. "Pilihan yang bagus. Aku juga mau minum kopi." Ayana juga butuh kopi. Tidak berbeda dengan Lusi, dia juga mengantuk. Bahkan saat perjalanan ke perusahaan, dia sudah menguap beberapa kali. "Let's go!" Lusi memegang tangan Ayana untuk segera masuk ke pantry. "Nanti bukannya kamu ada dinas ke luar?" tanya Ayana. Dia sedikit ingat tentang jadwal Lusi. "Iya. Ingin rasanya aku berganti posisi dengan kamu." Ayana tertawa. "Apa kamu ingin tukar posisi?" Lusi mengangguk tapi hanya beberapa detik saja. Setelah itu dia dengan cepat menggeleng. "Nggak deh." "Makanya," ujar Ayana. Setiap pekerjaan pasti ada plus dan minusnya. "Apa Pak Alfi memang galak?" Lusi belum pernah menghadap Alfi secara langsung. Jadi dia tidak tahu, apa benar galak atau tidak. Apalagi ia hanya mendengar cerita dari tim dua saja. Ayana memaksa diri untuk tersenyum. "Menurut kamu gimana?" "Nggak tau." Lusi mengangkat bahu. "Aku kan nggak ada di dalam ruang rapat," lanjutnya lagi. "Pokoknya bikin keringat dingin keluar," jelas Ayana. Lusi terkejut. "Apa sampai segitunya?" Ayana mengangguk. "Sayang banget. Padahal ganteng." Lusi menyayangkan hal tersebut. "Ganteng nggak bakal bikin hidup senang." "Tapi setidaknya kalau ganteng bisa menyenangkan mata." "Astagfirullah. Dosa!" Lusi tertawa. "Iya iya, Bu ustadzah." "Menurut kamu, apa Pak Alfi sudah punya istri?" "Kok tanya aku?" "Kali aja tau." "Mana aku tau," balas Ayana. "Kalau memang galak kasihan juga istrinya. Apalagi ada berita heboh tentang KDRT. Ngeri juga padahal pelakunya terlihat pendiam." "Oh ya, aku juga lihat. Heboh banget di sosial media. Ngeri banget." "Niat nikah jadi berkurang karena itu," ujar Lusi setelah menyesap kopi yang sudah selesai ia buat. "Iya sih. Tapi kan nggak semua laki-laki seperti itu. Pasti ada yang baik." "Carinya dimana?" Ayana menyengir. Dia saja tidak tahu. "Pak Alfi gimana?" "Kok jadi balik ke Pak Alfi lagi?" Ayana mengerutkan kening. "Mau dapat yang ganteng, kerjaan bagus dan sayang istri. Kali aja Pak Alfi masuk ke dalam kriteria itu." Lusi menyengir . "Tadi kamu bisa kasihan istrinya, sekarang malah kamu yang mau jadi istrinya. Aneh banget." Ayana sampai tidak habis pikir. "Iya juga." Lusi tertawa. "Maka-" "Apa sudah mengobrolnya?" Suara pria tiba-tiba muncul di pintu masuk pantry. Hal itu membuat Ayana sontak terdiam. "Su-sudah, Pak." Lusi menjawab dengan terbata-bata. Bahkan kopi di tangannya hampir terjatuh kalau tidak dipegang dengan baik. Lusi dan Ayana sama-sama kaget. Mereka juga panik luar biasa. "Ya sudah, kembali ke meja kerja!" "Ba-baik, Pak." Ayana dan Lusi buru-buru keluar dari pantry. Nafas mereka tidak beraturan. Jantung berdetak dengan cepat. "Mati kita," ujar Lusi. Ayana menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Kenapa juga mereka membahas tentang ketua divisi. "Kenapa dia ke Pantry?" tanya Ayana frustasi. "Nggak tau." Rasanya Lusi ingin menangis. Biasanya Pantry hanya dimasuki karyawan low budget seperti Ayana dan Lusi. Kalau punya uang, mending beli kopi di bawah. Jauh lebih enak. "Mau pulang," rengek Lusi. Ayana juga ingin pulang. Saking asiknya mengobrol, mereka sampai tidak sadar dengan kedatangan Pak Alfi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN