Ada Masalah Apa?

1127 Kata
"Kamu sama Pak Alfi ada masalah apa, sih?" tanya Lusi penasaran. Beberapa hari ini Lusi memperhatikan Ayana yang begitu menghindar. Bahkan Ayana menatap Alfi dengan tatapan tidak biasa. Bukan tatapan kekaguman melainkan tatapan penuh permusuhan. Awalnya Lusi tidak berani bertanya, mungkin hanya perasaannya saja. Tapi lama-kelamaan ia tidak bisa membendung rasa penasaran yang sudah membludak. Ayana yang sedang menikmati makan siang langsung berhenti mengunyah makanan. Moodnya buruk dalam hitungan detik. Apalagi dia paling tidak suka membahas atau menyinggung sol Alfi. Ayana sudah tidak peduli meski seluruh karyawan perempuan di perusahaan mengagumi ketampanan dan pesona nya. Bagi Ayana, pesona Alfi hanya berguna untuk menutupi kebusukan nya. "Nggak ada apa-apa." Ayana berusaha menjawab dengan santai. Dia juga tidak mengatakan apa yang terjadi antara dirinya dan Alfi dimasa lalu. Terlalu memalukan karena Ayana terlihat bodoh. "Emang kenapa?" tanya lagi. "Aneh aja, sih. Kamu kayak menghindar dari Pak Alfi. Apalagi kalau natap Pak Alfi, kayak orang punya dendam pribadi." Ayana tertawa. Ternyata apa yang sedang ia lakukan terlihat jelas.Padahal Ayana sudah berusaha untuk terlihat biasa saja. Tapi nyatanya Lusi cukup peka. "Mana mungkin. Hanya perasaan kamu saja. Apalagi Pak Alfi baru sebentar dari atasan kita. Mau dendam soal apa?" Ayana tersenyum untuk menutupi permasalahan dia dan Alfi. Sebenarnya bukan masalah melainkan hanya sebuah bumbu pahit dalam kehidupan. "Benar juga sih. Tapi-" Lusi berhenti berbicara sejenak. Dia memasukkan roti ke dalam mulut dan mengunyahnya secara perlahan-lahan. "Tapi apa?" "Sebentar." Lusi menyuruh Ayana menunggu karena dia ingin menguyah rotinya sebentar. Setelah itu dia melanjutkan pembicaraan yang sempat tertunda. "Kata Mbak Laras, Pak Alfi kuliah S1 nya di kampus X." "Oh ya?" Ayana pura-pura kaget. "Iya. Apa kamu nggak pernah tau tentang Pak Alfi selama kuliah?" "Coba aku ingat-ingat dulu." "Kalian satu jurusan lo." Lusi kembali berucap. Dia begitu mudah mendapat informasi tentang Alfi. Ya mau bagaimana lagi. Di perusahaan ini ada beberapa karyawan yang berasal dari kampus yang sama dengan Ayana walaupun beda jurusan. Ayana mengerutkan kening. Dia malas untuk mengakuinya tetapi juga tidak ingin bohong. "Silvi anak divisi keuangan aja tau tentang Pak Alfi. Padahal dia beda jurusan sama beda angkatan." Ayana menghela nafas panjang. "Maybe Silvi aktif di organisasi atau kegiatan kampus makanya tau," balas Ayana. "Bisa jadi, sih." Lusi mengangguk kecil. Dia lanjut memakan roti begitupun dengan Ayana. Ayana sedikit lega karena Lusi tidak melanjutkan pembahasan tentang Alfi. Tapi itu hanya terjadi beberapa menit saja. Lusi kembali bertanya, "apa kamu emang nggak tau tentang Pak Alfi?" "Pak Alfi tu," ujar Ayana sambil mengarahkan tatapan ke objek yang ia maksud. Lusi langsung melihat, benar saja ada Pak Alfi yang juga makan siang di kantin perusahaan. "Udah ganteng, ramah lagi." Lusi tersenyum sendiri melihat Alfi yang sedang membalas sapaan beberapa karyawan. Mendengar perkataan Lusi, rasanya Ayana mau muntah. Mereka tidak tahu saja mulut tajam Alfi serta sifat buruk Alfi. Berhubung Ayana baik, dia tidak menjelek-jelekan Alfi. Dia akan menganggap Alfi sebagai makhluk tidak kasat mata. Ayana makan dengan buru-buru. Dia malas satu ruangan dengan Alfi walaupun di kantin sekalipun. "Aku udah selesai." Ayana meneguk air putih sampai habis. Lusi tentu saja kaget. Padahal tadi, isi piring Ayana masih ada setengahnya sekarang sudah habis. "Cepat amat." Lusi termangu tidak percaya. "Iya, aku mau cepat-cepat ke ruangan." Bibir Lusi mengerucut. "Padahal aku mau lihat Pak Alfi makan." "Ya udah, kamu disini aja." Ayana tidak memaksa sang rekan kerja untuk ikut dengannya. Lusi menggeleng. Ia tidak mungkin duduk sendiri. Ayana melangkah ke tempat dimana piring bekas makan nya diletakkan. Tapi tempatnya terletak di ujung yang berarti Ayana harus melewati meja dimana Alfi duduk bersama dengan Pak Rohman. Lusi jalan lebih dulu. Padahal dia tidak menggunakan piring sama sekali. Lusi sedang diet sehingga hanya makan roti saja. "Pak," sapa Lusi sambil tersenyum. "Iya," jawab Pak Rohman. Alfi juga membalas. Ayana tidak mungkin untuk tidak menyapa. Tapi tatapan Ayana hanya mengarah kepada Pak Rohman saja. "Apa makanannya enak?" tanya Pak Rohman. "Enak, Pak." "Baguslah. Kamu harus makan yang banyak Aya." Pak Rohman tidak mengatakan kepada Lusi karena siapapun tahu bahwa Lusi sedang diet. Pilihan hidup, dan tidak ada yang berhak berkomentar sama sekali. "Tentu saja Pak. Saya harus makan banyak karena bekerja perlu energi yang besar." Sekalipun Ayana tidak menatap Alfi, berbeda dengan Lusi. Alfi tiba-tiba tertawa. "Ada apa, Pak?" tanya Pak Rohman karena Alfi tiba-tiba tertawa. Padahal tidak ada yang lucu. "Tidak ada gunanya makan banyak tapi yang dimakan tidak mengandung nutrisi yang dibutuhkan tubuh." "Benar juga, Pak." Pak Rohman setuju. "Nah Aya, dengarin kata Pak Alfi," lanjutnya lagi. Ingin rasanya Ayana memasukkan segala macam jajanan ke dalam mulut Alfi agar tidak bisa berkata-kata lagi. "Iya, Aya. Jangan sering jajan sembarangan. Tadi pagi saja Aya udah bawa jajan banyak, Pak." Lusi jadi ikut-ikutan. Ayana jadi ragu, Lusi ini rekan kerja yang dekat dengannya atau rekan kerja yang berada di pihak Alfi. "Baik, Pak. Terima kasih atas nasehatnya." Ayana memaksa diri untuk tersenyum, tapi dia tidak menatap Alfi sama sekali. Ayana tidak ingin lama-lama disana sehingga memilih untuk pamit. Ayana dan Lusi kembali ke ruangan. Sejak tadi Lusi senyam-senyum tidak jelas. "Kamu kenapa, sih?" Ayana jadi heran sendiri. "Kata orang, kalau laki-laki makan kayak orang kasihan, tapi Pak Alfi kok enggak ya." Ayana geleng-geleng kepala. "Udah deh, jangan bahas Pak Alfi mulu." Lusi tertawa. "Iya iya." Mereka berdua sudah sampai di ruangan. Sudah ada beberapa karyawan yang ada disana. Ada juga yang membawa makan siang sendiri sehingga gaji mereka tidak perlu dipotong untuk makan siang. Ayana mengerutkan kening. Ada dua s**u kotak di atas mejanya. Padahal dia tidak membeli s**u kotak sama sekali. "Ini punya siapa?" tanya Ayana bingung. "Oh itu, dikasih Mas Gio." Indra menjelaskan. "Buat aku?" Ayana sedikit terkejut. Apalagi dia tidak begitu dekat dengan Gio. Dia terlalu pendiam. Apalagi Gio merupakan senior yang sudah lama bekerja diperusahaan ini. Mungkin sudah tujuh tahun lebih. "What?" Lusi terkejut. "Mas Gio yang pendiam itu?" Dia memastikan. "Iya." Lusi menyenggol lengan Ayana. "Cieee," godanya. "Cie cie apaan?" Ayana langsung melotot. Lusi tersenyum dengan penuh maksud. "Lumayan kok, pintar juga," jelasnya. "Apalagi Mas Gio pemalu," lanjut Lusi lagi. Ayana tidak akan bisa menghentikan Lusi. Dia semangat sekali kalau menggoda Ayana. Ayana tidak menyentuh s**u kotak tersebut meskipun kesukaan. Dia menunggu Gio masuk ke ruangan. Tentu saja Ayana harus mengucapkan terima kasih dan bertanya kenapa tiba-tiba memberinya s**u kotak. Jujur saja, Gio termasuk orang yang sulit didekati. Bahkan bagi rekan kerja yang lain sekalipun. Tapi dia memang punya kemampuan yang cukup bagus. Lima menit sebelum jam istirahat berakhir, Gio dan rekan kerja yang lain masuk. "Mas Gio," panggil Ayana langsung. Mungkin karena tiba-tiba, orang langsung melihat ke arah Ayana. "Iya." "I-ini..." Ayana memegang susuk kotak. Dia sedikit gugup bukan karena jatuh hati melainkan gugup karena jarang berbicara dengan Gio. "Untuk kamu," jelas Gio langsung. Ayana sangat kebingungan. Tapi karena malu dengan tatapan banyak orang, dia langsung saja mengucapkan terima kasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN