Bab 15 Kontrak Pernikahan Dan Phobia

1156 Kata
Sesampainya di villa, Angel langsung membawa semua belanjaannya ke dapur dan menyusunnya di freezer sedangkan Kriss naik untuk berganti baju. Kemudian, ketika Kriss turun kembali ke lantai satu, Angel sedang duduk di sofa, makan es krim sambil berbicara dengan seseorang di ponselnya. "Dia sudah datang." Angel meletakkan benda pipih itu ke meja dan memanggil Kriss. "Ayo bicarakan mengenai pernikahan kita yang tiba-tiba ini." Kriss mengangguk. “Kita perlu kontrak juga kan?” “Hum." Angel mengangguk. "Aku akan menyuruh seseorang membuatnya setelah kita sepakat dengan semua persyaratannya.” Kriss duduk di sofa seberang. “Oke, jadi persyaratan apa yang kau inginkan?” Angel tersenyum tipis, menghabiskan suapan terakhir es krimnya sebelum membuangnya ke tong sampah. “Persyaratan yang aku ajukan hanya tiga.” Dia mengacungkan jari telunjuknya. “Pertama, aku menjunjung tinggi kesetiaan, jadi selama kau terikat denganku, kau tidak boleh berhubungan fisik dengan gadis manapun, termasuk Rachel.” Kriss menatap ponselnya yang tergeletak di meja dan menghela napas. Semenjak meminta putus, Rachel sepenuhnya memblok segala bentuk komunikasi dengannya sebelum terbang ke luar negeri, tanpa kabar dan berita, bahkan mungkin saja telah mengganti nomor ponselnya dengan yang baru seperti yang pernah dia lakukan dulu. Angel tentu bisa melihat pandangan Kirss dan menambahkan, “Jika kau merasa tak tahan dan ingin melihatnya, aku tidak keberatan jika kau menyuruh seseorang mencari kabar tentangnya, selama kau tidak berhubungan secara langsung.” Kriss memang baru saja ingin menanyakan itu dan merasa lega karena Angel membahasnya lebih dulu. “Yang kedua?” “Yang kedua seharusnya sesuatu yang akan kau setujui tanpa berpikir.” Angel memutar-mutar cincin pernikahan di jari manisnya. “Selama pernikahan ini, tidak boleh ada perasaan yang ... kau tahu maksudku kan? Kita hanya partner hidup sementara.” “Tentu, pera ... “Tidak perlu menyebutnya, selama kau mengerti maksudku.” Angel mengambil ponselnya kembali dan menyodorkannya ke Kriss. “Sedangkan persyaratan ketiga, kau akan mendengarkannya dari dia.” Kriss mengerutkan kening tak mengerti, tapi masih menerima ponsel itu kemudian menempelkannya ke telinga. “Halo.” “Halo, Kriss?” Suara lembut seorang gadis menyambut sapaan Kriss, yang sebenarnya cukup familiar di telinganya. “Apakah Angel masih ada di dekatmu?” tanya gadis itu. Huh? Kriss mendongak dan menemukan entah sejak kapan Angel sudah meninggalkan tempatnya semula dan beranjak ke pintu. “Angel ... “Biarkan dia pergi, percakapan kita bukan sesuatu yang bisa dia dengar.” Bersamaan dengan suara dari seberang ponsel, Angel juga berkata, “aku akan keluar sebentar, panggil saja kalau kalian selesai bicara.” Kriss kembali memusatkan pendengarannya ke ponsel. “Dia sudah pergi,” ujarnya dengan mata yang masih memandang sosok Angel dari seberang dinding kaca, berjalan sendirian menuju pantai. “Pertama-tama, perkenalkan aku Bianca Carter, kau masih ingat?” Mata Kriss membulat. “Ketua klub penyiaran?” Bianca tertawa. “Senang kau masih mengingatku.” “Aneh jika aku tidak ingat padamu, suaramu sering terdengar di speaker sekolah.” Bianca masih tertawa pelan. "Benarkah? Bukan karena aku sering menguntit Angel saat aku ingin merekrutnya ke klubku?" Kriss tersenyum tipis. "Itu salah satunya, dan sepertinya kau masih melakukannya sampai sekarang?" "Tidak, kali ini Angel-lah yang membutuhkan bantuanku." "Bantuanmu?" Kriss menatap keluar lagi, dan masih bisa melihat punggung Angel. "Tapi, bukankah kabarnya kau mengambil jurusan psikologi?" "Ya, dan aku sukses menjadi psikolog sekarang." "Lalu Angel membutuhkan bantuanmu untuk apa?" "Dia punya phobia." Suara halus Bianca berubah sedikit lebih serius. "Cukup parah sehingga kau sebagai partner hidupnya mulai sekarang harus tahu apa pantangan yang tidak boleh kau bawa ke hadapannya dan cara menenangkannya jika kambuh." Saat itu, Kriss tidak tahu mengapa jantungnya untuk sesaat hampir berhenti sebelum kemudian berdetak kencang. Sangat tak nyaman. "Angel, mengidap Philophobia, kondisi di mana dia takut pada hal-hal menyangkut perasaan cinta dan asmara, tapi berbeda dari penderita lain yang juga akan takut menjalani hubungan dengan orang lain, Angel tetap bisa melakukan itu, selama topik tentang cinta tidak pernah disinggung." Bianca diam sejenak, memberik Kriss waktu untuk mencerna baik-baik setiap ucapannya sebelum bertanya. "Kau sudah mengerti maksudku?" "Ya, kurang lebih," ujar Kriss pelan. Kepalanya terasa kosong tapi mulutnya lanjut bertanya. "Lalu, hal apa yang harus aku lakukan jika Phobianya kambuh?" Bianca mengangkat alis. "Bukankah hal pertama yang harus kau tanyakan adalah hal-hal apa yang harus kau hindari agar tidak membuat Phobianya kambuh?" "Oh, yang itu juga." Kriss menggaruk kepalanya. Bianca kemudian menjelaskan panjang lebar tentang apa yang boleh dan tidak boleh Kriss lakukan selama bersama Angel, seperti tidak menyinggung topik tentang cinta, menonton film tentang cinta jika Angel ada apalagi mengajaknya menonton bersama. "Bagaimana dengan lagu?" "Uhm, sejauh ini Angel tidak terlalu bereaksi dengan hal itu, jadi seharusnya baik-baik saja selama dia tidak memikirkan tentang apa inti dari lagu romance tersebut." "Lalu, cara menenangkannya?" *** Angel menoleh begitu mendengar suara langkah kaki dari belakang dan tersenyum begitu menemukan Kriss-lah yang datang. “Sudah selesai?” Kriss mengangguk, mematai Angel dengan intens bahkan saat dia sudah berdiri di sisi wanita itu. "Ada apa? Terkejut?" Kriss akhirnya mengalihkan tatapannya ke laut. "Ya, sedikit." Dia melirik, namun dengan cepat menarik tatapannya lagi. "Sejak kapan kau menderita penyakit ini?" "Jangan menyebutnya menderita, aku sama sekali tidak menderita karena phobiaku, mungkin hanya sedikit terganggu. Dan sejauh yang aku ingat, gejalanya mulai muncul sejak aku duduk di kelas dua SMA." Kriss mengepalkan tangan dengan sangat erat. "Apakah ada hubungannya de ... "Tidak ada." Angel menoleh, dengan mata jernih yang tertimpa matahari sore, sinar keemasan itu seperti cat di wajah Angel. "Kau, tidak ada hubungannya." Kriss menghela napas pelan. "Oh, syukurlah." Lagi pula saat itu yang pergi tiba-tiba adalah Angel, bukan dirinya. Jadi, pasti tidak ada hubungannya dengannya, karena jika memang ada, Angel tidak mungkin bisa bersikap sangat santai dengannya sekarang kan? "Apa yang kau pikirkan?" Entah sejak kapan, Angel sudah mendekati Kriss dan menatapnya penuh tanya. "Hanya memikirkan persyaratan apa yang ingin aku ajukan." "Oh, sudah menemukannya?" "Ya, poin pertama dan kedua persyaratanmu adalah yang aku inginkan juga, jadi buat itu berlaku dua arah, sedangkan poin ketiga, pernikahan ini hanya akan bertahan selama Rachel tidak ada, saat dia kembali kita akan segera mengajukan perceraian." "Berapa lama Rachel akan pergi? Bukankah aku akan rugi jika ternyata Rachel baru kembali setelah sepuluh tahun?" Angel bermain-main dengan pasir di bawah kakinya. "Meskipun aku mengatakan tidak ingin menikah, bukan berarti aku tidak menginginkan partner seumur hidup, aku juga ingin melahirkan cucu untuk ibuku." Kriss tidak punya waktu untuk menyela, karena Angel kembali bersuara. "Jangan jadikan kepulangan Rachel sebagai patokan, karena hal itu seolah-olah dalam hubungan kita hanya kau yang boleh meninggalkan sedangkan aku harus menunggu kekasihmu kembali untuk bercerai." Angel menghela napas. "Sekarang pilih, satu tahun atau dua tahun?" "Dua tahun." Kriss menjawab dengan cepat, tanpa sempat berpikir. Ketika tersadar, dia cepat-cepat mengubah ucapannya. "Atau satu tahun setengah?" Angel terkikik geli. "Oke, satu tahun setengah." Dia menyelipkan rambutnya yang dimainkan oleh angin, tapi begitu dia mendongak, bayangan tinggi telah menutupinya. Kriss mengulurkan tangan ke pipi Angel, membungkuk hingga wajah keduanya sangat dekat. "Karena kesepakatan telah terbentuk, bisakah kita pulang sekarang?" "Tentu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN