“Sebut namaku…” pintanya. Matanya yang melihatku secara penuh sayu dan penuh akan kebutuhan yang meminta untuk disalurkan. Aku mengerti itu. aku memahami dia. Elvern. Sebenarnya kata itu mudah saja untuk diucapkan, itu nama yang bagus dan cocok untuk dirinya. dengan pembawaannya, dengan wajah tampannya. Tapi aku lebih tahu, bahwa pria ini entah mengapa aku merasa bahwa dia cukup berbahaya. Bulu kudukku meremang, tapi bahaya atas dasar apa, aku sendiri tidak mengerti kenapa. Tapi bukankah aku sendiri yang lebih dulu melemparkan diriku kepadanya? Bukankah aku yang pertama kali melakukan semua hal yang aku butuhkan terhadapnya. Jika mudah bagiku untuk melakukan hal itu, lantas mengapa sekarang terasa sulit? Tangan pria itu mulai bergerak kebawah, tiba-tiba secara naluriah aku ingin menja