13. Melarikan Diri Ke Dalam Hutan

1403 Kata
Serangan yang bertubi-tubi sudah tidak dapat lagi Arsakha hindari. Mau tidak mau dia harus mempertahankan dirinya dengan sedikit perlawanan. Beberapa preman berusaha untuk mengeroyok Arsakha di sana. Pukulan serta tendangan dan beberapa jurus andalan mereka tidak tanggung-tanggung mereka keluarkan begitu saja demi melumpuhkan Arsakha. Namun, bukan pendekar Chandra Kumara namanya jika tidak bisa melawan mereka dan segera berlari menuju gubuk tua milik Nenek Darsih. Bukannya Arsakha ingin melarikan diri dari permasalahan yang tengah dihadapi, tetapi demi mengamankan benda pusaka yang sangat penting dalam hidupnya untuk mengungkapkan jati diri yang sesungguhnya. Setelah Arsakha berhasil melumpuhkan preman yang menyerangnya, ia berlari sembari menoleh ke arah juragan Surya yang terlihat menyeringai seperti tidak senang kalau Arsakha berhasil melarikan diri dari kepungan para preman dan beberapa penduduk yang sudah mulai menduga bahwa Arsakha adalah siluman tapir merah itu. Arsakha yang berlari, tidak luput dari kejaran penduduk. Hingga akhirnya Arsakha tiba di gubuk tua tempatnya menginap semalam. Dengan cepat Arsakha membuka pintu gubuk tua itu dan langsung melihat ke arah bangku untuk memastikan gembolanya masih ada di sana. “Celaka! Gembolan itu sudah lenyap!’ Arsakha merasa dirinya telah tertipu. Hatinya meronta merasa kehilangan sesuatu yang amat berharga dalam hidupnya dan juga masa depannya. Emosinya kian tersulut. Lantaran kebaikannya justru dimanfaatkan oleh sekelompok manusia dan siluman yang begitu jahat. ‘Aku tidak akan tinggal diam! Aku harus membuktikan kepada penduduk desa Krokot bahwa aku tidak bersalah! Aku hanya berteduh dan menginap satu malam di desa ini sebagai tempat persinggahan dari pengembaraanku! Akan aku buktikan kepada mereka semua bahwa bukan aku siluman tapir merah itu!’ Arsakha benar-benar merasa kecewa, bingung, dan marah. Dia berusaha memikirkan cara agar siluman tapir merah itu menyerahkan kembali benda berharga milik Arsakha. “Tangkap pemuda itu! Dia adalah jelmaan dari siluman tapir merah!” suara itu semakin menyayat perasaan Arsakha dan menyulut emosinya. “Tangkap Pemuda jelmaan siluman tapir merah itu! Kita arak bersama ke pendopo desa!” Lagi-lagi suara itu membuat Arsakha semakin geram. ‘Apa tujuan mereka memfitnah dan mengambinghitamkan aku seperti ini? Apakah ini kehidupan yang sebenarnya? Banyak manusia yang tidak jujur yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri walau dengan cara menjatuhkan orang lain? Dunia ini benar-benar sangat terjal! Ibu ... Dengan pengembaraan ini aku jadi mengetahui bagaimana watak berbagai macam orang, baik yang sudah dikenal maupun tidak. Terlihat baik bukan berarti tulus dan terlihat tidak baik bukan berarti dia tidak tulus. Aku akan memperjuangkan hak atas kebebasanku karena aku sama sekali tidak bersalah dalam hal ini?” Arsakha membulatkan tekadnya untuk terus melawan kejahatan dan ketidakadilan. “Keluarlah, Kisanak! Gubuk ini sudah lama ditinggal oleh penghuninya! Tidak ada orang yang menghuni tempat itu sudah beberapa bulan yang lalu! Jadi kami tahu kalau Kisanak bersembunyi di tempat ini!” suara salah seorang penduduk desa yang menginginkan Arsakha untuk segera keluar dari gubuk tua tempatnya menginap semalam. “Pantas saja siluman tapir merah itu semalam menghilang di daerah ini! Berarti memang gubuk tua ini menjadi tempat persembunyian mereka!” suara penduduk yang lainnya ikut berspekulasi bahwa Arsakha adalah siluman tapir merah yang sedang mereka cari karena meresahkan keamanan penduduk desa Krokot. “Kisanak, keluarlah! Kau sudah dikepung!” suara-suara itu membuat Arsakha semakin geram dan emosinya meledak-ledak. Namun Ia tetap mengingat petuah dari ibunya, Nyi Rontek. Beliau selalu mengatakan kepada Arsakha untuk tetap menggunakan pikiran jernih dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang sedang dihadapi. Sehingga Arsakha mau keluar menemui penduduk yang tengah mengamuk di depan sana. Walau dengan risiko yang amat besar. Kreeekkkeeekkk!!! Pintu kayu itu berderit begitu kencang bagai jeritan hati Arsakha yang begitu marah karena difitnah. Tangan Arsakha mengepal sembari menatap juragan Surya dan kepala preman yang tadi memfitnah Arsakha di depan umum. Tatapan bengis Arsakha berkobar seakan ingin melahap mereka yang sudah berbuat zalim kepadanya. Namun Arsakha tetap bersikap tenang dan berusaha berpikir jernih agar dirinya bisa menyelesaikan permasalahan itu. Di satu sisi Arsakha ingin segera mencari Nenek tua yang ternyata sudah menipunya dan membawa gembolan yang berisi benda pusaka yang amat berharga dalam kehidupan Arsakha. Di sisi lain Arsakha ingin segera menyelesaikan permasalahannya dengan penduduk Krokot yang sudah berpikir bahwa dia adalah jelmaan siluman tapir merah yang tengah merajalela sepak terjangnya. “Bagus! akhirnya kau keluar juga dari tempat persembunyianmu! Memang percuma saja kau lari dari kami, karena kau berada di wilayah desa kami!” ucapan kepala preman itu seakan-akan merogoh jantung Arsakha untuk segera menyikatnya. Namun sekali lagi, Arsakha berusaha untuk berpikir jernih dan tidak sembarangan dalam langkah. “Aku tidak akan lari dari fitnah kalian! Aku memang tidak bersalah! Apa yang kalian inginkan dariku saat ini? Mengaku menjadi siluman tapir merah? Itu sangat tidak mungkin karena aku benar-benar manusia yang pernah singgah di desa kalian! Jelmaan setan yang berpura-pura menjadi manusia yang baik seperti mereka yang tengah menyeringai menatapku! Apa yang kalian inginkan dariku?” Arsakha yang geram sengaja mengucapkan beberapa kata yang menyulut emosi juragan Surya dan juga kepala preman pasar. “Tentu saja kau harus menyerahkan kembali uang-uang penduduk yang kau curi! Kau juga harus bertanggung jawab dan mengakui segala kesalahanmu di depan pendopo desa kami! Lalu setelah itu silakan nikmati saja hukumanmu, Kisanak!” kepala preman lagi-lagi mengatakan sesuatu hal yang begitu mustahil. “Kau tidak bisa berbuat seperti itu kepadaku. Apa buktinya kalau aku yang mencuri barang-barang milik kalian? Apakah ada yang pernah melihatku mencurinya? Siapa? Katakan saja!” Ardakha kembali menantang penduduk desa untuk memberikan bukti bahwa Arsakha adalah jelmaan siluman tapir merah yang melakukan pencurian di beberapa rumah warga. Mendengar pertanyaan Arsakha, warga desa Krokot saling tatap dan saling bertanya. Mereka semua kebingungan karena memang tidak ada bukti kalau Arsakha yang mengambil barang-barang berharga milik mereka. “Kenapa kalian terdiam? Bukankah kalian yang menuduhku atas hilangnya barang-barang kalian dan menuduhku pula sebagai makhluk jelmaan siluman tapir merah? Sejak kapan kalian melihat aku berada di sini? Sejak kapan kejadian teror siluman tapir merah itu muncul di desa kalian?” Arsakha kembali memberikan pertanyaan kepada mereka, yang jelas raut wajah juragan Surya terlihat sangat tidak menyukai keberadaan Arsakha di desa itu. “Sejak kapan kalian diteror dan sejak kapan kalian bertemu dengan aku? Jika kalian manusia-manusia cerdas harusnya kalian lebih bisa berpikir! Jangan mudah percaya dengan omongan orang lain yang mempengaruhi kalian untuk menggiring opini kalian kepada seseorang yang tidak bersalah! Padahal penjahat yang sesungguhnya sedang tersenyum melihat keadaanku yang tengah terpuruk seperti ini!” Arsakha mengalihkan pandangannya dengan begitu tajam ke arah juragan Surya yang masih terlihat kesal dan sedikit senyum menyeringai seakan dirinya tersinggung atas ucapan Arsakha. “Tidak usah banyak bicara Serang dia!” kepala preman meminta penduduk desa untuk menyerang Arsakha. Namun bukan p*********n yang mereka lakukan, mereka hanya terdiam dan melihat kepala preman beserta anak buahnya menyerang Arsakha dengan begitu keji. Bukan pendekar Chandra Kumara namanya jika tidak bisa menghalau serangan mereka. Arsakha tidak menunjukkan seberapa kehebatan yang dia miliki. Dia selalu mengingat petuah dari ibunya. Bahwa dia tidak boleh menunjukkan betapa hebatnya ilmu Kanuragan yang Arsakha miliki. Dia boleh mempertahankan diri dan keselamatannya jika mendapatkan serangan yang begitu dahsyat. Seperti saat ini ketika dirinya tengah desak karena keroyok oleh banyak orang. Arshaka menunjukkan kepiawaiannya dalam ilmu bela diri. Dia tidak mengeluarkan semua kemampuan nya. Hanya sebatas dirinya bisa mempertahankan diri dari serangan namun para preman itu sudah terkapar di atas tanah. Penduduk yang melihat kejadian itu tidak ada yang berani mendekat ke arah Arsakha. Namun sesuatu yang berbeda terlihat dari raut wajah juragan Surya. Sepertinya dia ingin melawan Arsakha. Namun karena dia berada di depan banyak penduduk maka juragan Surya memilih untuk mengurungkan niatnya. “Sudah terbukti bahwa kau adalah siluman tapir merah itu!” kepala preman mengatakan hal itu kepada Arsakha yang membuat dia semakin merasa geram. “Apa kalian melihatku berubah menjadi seekor siluman yang begitu liar memangsa sekalian? Semua yang kalian ucapkan adalah fitnah! Aku bukanlah siluman! Sama seperti kalian hanya manusia biasa yang tengah dalam pengembaraan menuju pegunungan Batur! Dan asal kalian tahu! Setelah kehilangan semua barang-barang berharga milikku karena aku meninggalkannya di dalam gubuk ini! Ketika aku pergi ke hutan mencari kayu bakar. Lalu dengan keji kalian memfitnah aku sebagai pelaku pencurian? Buktikan saja aku tidak takut!” Arsakha menantang mereka semua. “Lancang kau!” kepala preman itu seakan menggebu-gebu ingin mengalahkan dan menjerumuskan Arsakha atas tuduhan yang sama sekali tidak pernah Arsakha lakukan. “Kalau begitu kejarlah aku! Aku akan pergi melarikan diri!” Arsakha pergi berlari ke dalam hutan. *** Apa yang sebenarnya Arsakha rencanakan? Apakah dia akan mendapatkan dua barang berharga miliknya yang sudah dicuri oleh nenek Darsih? Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN