4. Pohon Beringin Keramat

1858 Kata
Nyi Rontek menjaga bayi itu sepanjang malam. Bahkan ketika Nyi Rontek mulai merasakan kantuk, sang bayi tiba-tiba menangis dengan suara yang sangat kencang. Nyi Rontek terkesiap dari rasa kantuknya untuk memeriksa keadaan bayi malang itu. “Cup cup cup ... Bocah bagus, apa kamu lapar?” Dengan sigap Nyi Rontek meraih Arsakha dan menimangnya. “Duh Gusti ... Badan bayi ini sangat panas. Mungkin dia sangat lapar dan haus, tapi apa yang bisa aku lakukan?” Rontek merasa sangat khawatir dengan keadaan Arsakha. Ia berpikir sejenak untuk mencari solusinya. “Baiklah! Mungkin aku harus mencari Ibu susuu untuk anak ini! Kalau begitu malam ini juga aku akan pergi ke desa Kuncen. Aku akan mencari tahu siapa wanita yang bisa aku tunjuk sebagai ibu susuu untuk bayi malang ini! He ... he ... he ....” Rontek merasa hidupnya lebih berwarna setelah takdir mempertemukannya dengan sang bayi malang itu. Nyi Rontek kembali meletakkan bayi malang itu di atas singgasananya. Ia bersiap untuk menyambangi desa Kuncen demi mencari Ibu susuu untuk Arsakha. “Mindu! Tolong jaga Arsakha selama aku pergi! Aku akan mencari seorang Ibu susuu untuknya. Karena aku tidak bisa menolongnya selain mencarikan seorang ibu s**u demi kelangsungan hidup bayi malang ini. Kau jaga baik-baik! Jangan sampai ada siluman yang merebutnya dan merampasnya dari Nyi Rontek! Aku akan merawat bayi ini seperti anakku sendiri, kau sudah tahu ... aku sama sekali belum pernah menikah, tapi jiwa keibuanku sebagai seorang wanita tetap saja mengalir, tidak tega melihat bayi ini terlantar. Takdir telah mempertemukan aku dengan bayi malang ini, sudah pasti memiliki suatu tujuan. Aku tidak akan mengingkari pertemuan ini, aku akan merawatnya seperti aku merawat kau Mindu! Jagalah bayi ini dengan seluruh jiwa ragamu! Berhati-hatilah selama aku pergi!” Nyi Rontek memberikan pesan kepada harimau kesayangannya untuk terus menjaga Arsakha dari segala mara bahaya yang bisa saja mengincarnya setia waktu. *** Nyi rontek pergi menuju desa Kuncen. Desa terakhir yang paling dekat dengan pinggiran alas Nggaranggati. Menyusuri hutan yang menjadi di wilayahnya, tidak akan membuat Nyi Rontek gentar dan takut. Justru Nyi rontek merasa takut ketika dirinya dilihat oleh penduduk desa Kuncen. Karena dia tidak ingin membuat resah penduduk desa, saat dia menampakkan diri, karena sejak awal yang menjadi pilihannya adalah mengasingkan diri dan tetap bersembunyi dengan bersemadi di dalam hutan. Namun, peristiwa yang baru saja terjadi membuatnya rela untuk pergi ke desa Kuncen. Menanjak menyusuri tebing dan berlari dengan sangat cepat menerobos semak belukar. Terbang di antara rimbunnya pepohonan, membuat Nyi Rontek terlihat sangat magis. Ditambah lagi dengan pakaiannya yang berwarna hitam dan rambutnya yang berwarna putih sedikit tergerai, membuat Nyi Rontek tampak seperti demit penunggu Alas Nggaranggati. Hingga dirinya menemui sebuah kendala yang tidak berarti, saat dirinya hampir sampai di desa Kuncen. Di sana berdiri kokoh sebuah pohon beringin yang sangat besar dengan akar yang menggelantung menutupi batang pohon beringin itu. Nyi Rontek melihat ada seorang pemuda bertubuh gempal sedang duduk dengan membakar dupa dan menyediakan satu tampah berisi sesajen yang terdiri dari Ingkung ayam atau ayam utuh yang sudah disembelih dan dimasak dengan mengikat kedua kaki ayam, nasi tumpeng berukuran kecil, kue Apem, serta beberapa buah-buahan, tidak lupa pemuda itu membakar dupa sembari menghadap ke arah pohon beringin yang sangat besar di sana. “Eyang Kakung ... Eyang Putri ... Mbah Jugo ... Mbah Jambrong ... tolong bagaimana supaya saya bisa menjadi orang yang kaya raya. Bergelimpangan harta, sehingga saya tidak lagi d cemooh dan dikucilkan oleh penduduk desa. Saya mohon Eyang Kakung ... Eyang Putri ... Tunjukkanlah kepada saya bagaimana caranya?” pemuda itu terus mengucapkan kalimat-kalimat yang membuat Nyi Rontek tergelitik di dalam benaknya. Saat itu Nyi Rontek berada di atas salah satu dahan pohon beringin yang menjalar. Rontek menahan tawa ketika pemuda itu terus mengucapkan kalimat-kalimat yang membuatnya ingin memarahi sekaligus menertawakan Pemuda berpawakan gempal itu. ‘Masih saja ada yang percaya dengan kekuatan gaib untuk memperoleh kekayaan! Padahal kekayaan bisa didapat dengan bekerja keras memeras keringat! Siapa bocah ini? Beraninya hanya memberi sesajen dan memohon kepada sesuatu yang tidak masuk di akal!’ ucap Nyi Rontek dalam hatinya, ketika melihat kelakuan pemuda yang saat ini masih terus mengucapkan kalimat-kalimat menggelikan itu. ‘Baiklah kalau jawaban yang kau mau bocah! Akan aku menjawab semua pertanyaanmu! Anggap saja aku adalah Eyang Putri!’ Rontek kembali berbicara dalam hatinya sembari menyeringai karena sebentar lagi ia akan memulai aksinya. Kebetulan sebelum Nyi Rontek memulai aksinya, angin berembus lumayan kencang menerpa ke arah Pemuda berbadan gempal itu. Hingga menerbangkan asap dupa yang tengah membumbung tinggi, serta aromanya merebak ke seluruh penjuru hutan. “Ha ... Ha ... Ha ....” “Hi ... Hi ... Hi ....” lengkingan suara tawa Nyi Rontek yang sedikit serak bernuansa magis, menggema ke seluruh penjuru alas Nggaranggati. Siapa saja yang mendengar suara itu, pasti akan merinding. Bukan hanya manusia, tapi siluman liar yang sedang mencari mangsa pun ikut menciut nyalinya. Mata pemuda yang tengah duduk di depan sesajen sembari berkomat-kamit itu terbelalak. Dia merasa bahwa sang penunggu pohon yang ia sebut sebagai Eyang Kakung dan Eyang p Putri, Mbah Jugo, Mbah Jambrong, salah satunya seakan menyapa kedatangannya. Padahal yang menjawab pertanyaan dari pemuda gamp itu adalah Nyi Rontek. Sang pertapa wanita yang sudah melegenda. “Ha ...Ha ... Ha ... Hei, bocah! Sedang apa kau di sini?” Nyi Rontek berusaha meninggikan suaranya agar terdengar membahana. “Am—ampun, Eyang! Sa—saya hanya mau bertanya. Sungguh tidak ada maksud lain. Maaf kalau kedatangan saya mengganggu semadi Eyang Putri.” Pemuda gempal itu harus menganggap bahwa suara yang menyahut bernada menggelegar itu adalah penghuni pohon beringin tua. Padahal Nyi Rontek sedang mengerjai pemuda itu. “Sudah pasti! Dengan kedatanganmu ke sini saja itu berarti Kau menggangguku! Mengganggu semadiku dan juga ketenanganku! Terlebih ketika kau membakar dupa-dupa itu! Membuat napasku menjadi sesak! Sebenarnya apa yang ingin kau katakan kepadaku?” Rontek kembali menjawab sekaligus memberikan pertanyaan kepada pemuda gembul yang masih duduk di sana dengan wajah ketakutan. “Ma—maaf! Sa—saya ....” “Cepat katakan!” Belum juga pemuda itu menjawab pertanyaan Rontek, wanita pertapa itu langsung memotong kalimat si Pemuda gembul. “Saya ingin kaya! Biar saya tidak dihina oleh penduduk desa!” Pemuda gembul itu terlihat pucat dan berkeringat dingin. Namun rontek menanggapi dengan santai. Wanita pertala itu kembali tertawa cekikikan di atas pohon. “Ha ... Ha ... Ha ....” “Kau pikir tempat tinggalku menyimpan harta karun? Hah?” Rontek membentak dengan nada yang begitu tajam, hingga merontokkan keberanian si Pemuda gembul. “Ampun! Ampun, Eyang! Bukan maksud saya, tap—tapi ....” “Kau salah besar anak muda! Jika kau ingin kaya! Bekerjalah! Kerja keras! Peras keringatmu! Dengan begitu kau akan mendapatkan imbalan yang setimpal dengan seluruh lelah yang kau jalani setiap harinya! Bukan dengan membuat sesajen dan membakar dupa di depan pohon keramat! Karena tindakan itu tidak akan pernah bisa mengubah hidupmu! Tidak ada yang bisa mengubah hidupmu, selain kau sendiri dan takdir yang akan mengikuti jalan hidupmu! Selama kau mau berusaha dan bekerja keras, yakinlah kau tidak akan merasa kekurangan!” Lagi-lagi rontek memotong kalimat yang hendak dilontarkan oleh sang Pemuda gembul. Rontek menasihati pemuda itu dengan bijak. Tidak ada yang bisa mengubah nasib seseorang kecuali orang itu sendiri yang berusaha untuk mengubahnya. Pemuda itu tersentak kaget. Setelah mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Nyi Rontek dari atas pohon beringin keramat itu. “Benar juga apa yang dikatakan oleh Eyang Putri, perbuatanku ini sangat konyol! Bahkan tidak patut untuk ditiru! Aku ingin kaya, tapi malas bekerja? Ingin memiliki banyak harta, tapi tidak mau melalui prosesnya. Sekarang aku justru membuat sesajen ini di depan sebuah pohon keramat dan berharap harta itu tiba-tiba jatuh dari langit?” pemuda itu berbicara sendiri sembari menunduk dan merenungi perbuatannya. “renungkanlah wahai anak muda! Tidak ada kekayaan yang akan datang padamu, jika kamu tidak mencarinya dan tidak mengejarnya! Kau harus paham tentang arti proses sebuah pencapaian! Memang tidak mudah! Tapi kau akan lebih menghargai apa yang telah kau raih dengan keringatmu!” “Ha ... Ha ... Ha ....” Rontek merasa lega setelah dirinya selesai menasihati pemuda yang bertindak salah kaprah itu. “Maafkan saya, Eyang! Saya janji akan bekerja keras! Saya tidak akan melakukan kesalahan ini lagi! Kalau begitu saya permisi dulu! Maaf, kalau saya sudah mengganggu istirahat dan semadi Eyang!” pemuda itu menunduk sembari merapatkan kedua tangannya yang ia letakkan di depan wajahnya, sebagai rasa hormat karena pertanyaannya sudah dijawab dengan jelas. Pemuda itu berpamitan kepada sosok yang tidak terlihat tetapi nyata suaranya. Pemuda itu mulai melangkahkan kaki untuk meninggalkan pohon beringin tua yang dikeramatkan oleh banyak orang. “Tunggu!” suara itu menghentikan langkah sang Pemuda gembul yang baru saja akan meninggalkan pohon beringin keramat yang berdiri kokoh di sana. Keringat dingin menjalar ke seluruh tubuh pemuda itu, ketika Nyi Rontek turun dari atas pohon dan langsung berdiri di hadapan pemuda itu. Bagaimana mungkin si Pemuda gembul itu tidak takut melihat penampilan Rontek yang begitu mistis dengan pakaian berwarna hitam dan seluruh rambutnya berwarna putih, tetapi wajahnya terlihat masih awet muda dengan gincu merah yang merona. Walau tidak dipungkiri sorot mata tajam yang menggelap bagai obsidian menambah keangkeran wanita yang berusia ratusan tahun itu. Tubuh Pemuda gemuk itu seketika gemetar. Ia tidak menyangka kalau sosok penghuni pohon tua yang baru saja diganggunya itu tiba-tiba menampakkan diri di hadapannya. Padahal yang kini ada di hadapannya adalah Nyi Rontek yang sedang menjalankan misi mencari Ibu susuu untuk Arsakha, bukan penghuni pohon keramat itu. Namun, Pemuda itu kembali berpikir kalau sosok yang kini ada di hadapannya adalah salah satu penunggu pohon beringin tua. “Eyang?” Pemuda gembul itu mengucapkan satu kata yang kembali membuat Rontek tertawa. “Ha ... Ha ... Ha ....” “Eyang ... Eyang, Gundulmu!” bentak Rontek sembari menatap tajam. “Ya, mungkin aku patut disebut sebagai Eyang karena usiaku sudah menginjak ratusan tahun.” Nyi Rontek masih menatap tajam ke arah netra hitam pemuda itu. “Ampun! Jangan hukum saya! Jangan culik saya! Daging saya rasanya pahit!” pemuda itu meracau saking ketakutannya. “Apa kau bilang? Siapa yang mau makan dagingmu? Dari aromanya saja sudah tercium aroma pahit! Siapa namamu?” Rontek kembali menegaskan kalimat tanpa mengedipkan mata sedikit pun, saat menatap ke arah Pemuda gempal yang saat ini tubuhnya sangat gemetaran. “Sa—Saya ....” “Kliwon! Ya nama itu cocok untukmu yang senang membakar dupa!” Rontek kembali memotong ucapan pemuda yang belum selesai mengucapkan siapa namanya. “Be—benar, Eyang.” Pemuda itu menurut saja ketika dipanggil Kliwon. Padahal nama pemuda itu adalah Parmin. “Ha ... Ha ... Ha ... Kau sudah tahu apa kesalahanmu? Mengusik ketenanganku dan konsentrasiku saat kau mulai mengucapkan kalimat-kalimat dengan mulutmu yang komat-kamit itu! Ditambah lagi aroma dupa itu membuatku tersedak! Jadi terimalah hukumanmu!” Rontek kembali memainkan aksinya. “Ap—Apa?” Parmin atau yang saat ini mendapat julukan Kliwon oleh Nyi Rontek, terbelalak kaget saat wanita misterius di hadapannya akan segera memberi hukuman. *** Kira-kira Nyi Rontek memiliki tujuan apa saat menghukum Kliwon? Rontek sangat ahli bersiasat sehingga ketika dia melihat suatu perbuatan yang salah, dia mengambil peran untuk menjalankan aksinya. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Bagaimana dengan keadaan bayi Arsakha? Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN