Ciuman Rindu

1200 Kata
Ingin rasanya Yara langsung berlari, menghambur ke dalam pelukan Zakki, menangis di sana, menumpahkan segenap rasa rindu dan cintanya. Mengatakan tentang semua kegelisahan dan gundah gulana dalam hatinya. Tahukah Zakki, betapa Yara sangat merindukan belaian dan sentuhan lembutnya? Pelukan hangatnya? Tidak tahukah Zakki, jika Yara masih sangat menginginkan menghabiskan malam pengatin bersamanya? Seperti yang sudah mereka lalui beberapa malam sebelumnya. "Mana yang namanya Mbak Nayyara Nazifa Zain?" tanya Ustaz Zakki, tanpa mengalihkan pandangan matanya dari buku di tangannya. "Nay, di panggil Ustaz Zakki," bisik Hana yang duduk di sebelah kanannya, sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Yara. Namun, Yara tetap tidak meresponnya, wanita itu sudah seperti kehilangan separuh kesadarannya. "Nay! Naya!" Kali ini Anin terpaksa mencubit pinggang Nayyara, karna wanita itu masih saja diam mematung dengan mulut terbuka dan mata membulat sempurna. "Astagfirullah!" geram Anin. "A-apa, Mbak?" tanya Yara gugup. "Di panggil Ustaz Zakki," sahut Anin kesal sambil melotot tajam. Yara tersentak kaget, seperti baru tersadar, lalu cepat-cepat wanita itu menyahut, "Yara di sini, Ma--hemmpt." Anin langsung membekap mulut Yara, saat wanita itu tanpa sadar menyebut Zakki dengan panggilan 'Mas'. Tak ayal, tingkah mereka berdua menjadi pusat perhatian santri lain, bahkan ada sebagian dari mereka yang menutup mulut menahan tawa melihat tingkah lucu Yara. Namun Ustaz Zakki terlihat cuek, pria itu seperti tidak tertarik untuk melihat keributan kecil di depannya. Yara mengangguk kecil, saat melihat Anin melotot sambil menggeleng samar. "Ustaz Zakki." Bibi Anin terlihat bergerak menyebut nama Ustaz Zakki, tanpa mengeluarkan suara. Yara yang paham kembali mengangguk, setelah itu barulah Anin melepaskan bekapan tangannya di mulut Yara. "Maaf Ustaz, izin menyampaikan," tiba-tiba Sakinah mengacungkan telunjuk ke atas sambil meminta izin untuk berbicara kepada Ustaz Zakki. "Baik, silahkan," sahut Ustaz Zakki mempersilahkan, serayak melihat sekilas ke arah Sakinah. "Mereka bertiga yang duduk di barisan paling depan adalah santri baru, Ustaz. Mbak Anin, Mbak Naya dan Mbak Sahara. Untuk Mbak Naya, sepertinya masih belum bisa beradaptasi Ustaz, harap maklum. Tapi inh sya Allah, sedikit banyak mereka bertiga sudah mulai menghafal begitu mereka tiba di sini," terang Sakinah. "Masya Allah ... begitu rupanya. Tidak masalah ya, semoga ke depan Mbak Naya semakin betah di sini," komentar Ustaz Zakki serayak mengangguk-angguk, tanpa menoleh ke arah Yara sedikitpun. "Coba, mana tadi yang namanya Nayyara Nazifa Zain?" tanya Ustaz Zakki, lagi. Anin kembali menyikut Yara, agar wanita itu segera menyahut panggilan Ustaz Zakki. "Sa-saya Ustaz," sahut Yara gugup. Ustaz Zakki menegakkan kepalanya, melihat ke arah Yara hingga beberapa saat lamanya, menatap manik mata indah berwarna hazel yang juga sedang menatap ke arahnya. Zakki berdehem kecil, lalu kembali menundukkan pandangannya. "Mari, Mbak Naya, silahkan maju setor hafalannya," ucap Ustaz Zakki mempersilahkan. Dengan jantung berdegup kencang, Yara bangkit dari duduknya lalu menuju sebuah meja kecil yang berjarak sekitar dua meter dari hadapan Ustaz Zakki. Sebelum duduk, Yara terlebih dulu menyerahkan buku catatan hafalannya ke atas meja Ustaz Zakki. Dengan kepala menunduk dan tangan gemetar, Yara menyodorkan buku tersebut ke hadapan ustaz yang tidak lain adalah suaminya sendiri. "Jangan menangis, Sayang," desis Ustaz Zakki nyaris tidak terdengar, serayak mengusap punggung tangan Yara dengan lembut, lalu cepat-cepat menarik tangannya kembali. Darah Yara seketika berdesir mendengarnya, debaran jantungnya semakin menggila merasakan sentuhan lembut penuh kasih sayang dari tangan suaminya. Rasa bahagia membuncah begitu saja di dalam d**a, bunga-bunga cinta pun kembali bermekaran di hatinya. Sekarang ia menyadari jika Zakki tidak pernah membuangnya, pria itu menepati janji untuk datang menyusulnya. "Silahkan duduk, Mbak Naya, dan mari di mulai," ucap Zakki yang membuat Yara langsung tersadar dari lamunan indahnya. "Ba-baik, Ustaz," sahut Yara terbata, serayak melirik sekilas ke arah suaminya, yang tersenyum lembut ke arahnya. Tidak ada yang melihat interaksi di antara mereka, karna para santri mulai sibuk mengulang hafalannya dan karna tertutup oleh tubuh Yara Yara mundur ke belakang, lalu duduk di depan meja yang berhadapan dengan meja Ustaz Zakki. Setelah membaca ta'awudz dan basmalah, Yara mulai membaca hafalan surahnya. Surah Al-'Aadiyat, ayat satu sampai dengan sebelas. "Wal 'asr." "Itu surah apa, Mbak Naya?" tanya Ustaz Zakki, menegur bacaan Yara yang keliru membaca surah. "Al-'Aadiyat, Ustaz," jawab Yara percaya diri. "Itu surah Al-'Asr, Mbak Naya," sahut Ustaz Zakki datar. "Al-'Asr?" batin Yara, "Mengapa bisa lari ke surah Al-'Asr?" ucap Yara dalam hati, bingung. "Ayo, fokus! Surah Al-'Aadiyat," ujar Ustaz Zakki memberi semangat. "Ba-baik Ustaz," sahut Yara, lalu kembali mencoba untuk fokus. "Wailul-likulli humazatil-lumazah." "Itu surat Al-Humazah, Mbak Nayyara." Ustaz Zakki kembali meluruskan, tanpa melihat sedikitpun ke arah Yara. "Astagfirullah," gumam Yara lirih. "Jangan salahkan Yara, Mas. Yara enggak fokus gara-gara Mas Zakki ini," batin Yara, membela diri. "Hafal tidak?" tanya Ustaz Zakki menatap sekilas ke arah istrinya. "Lupa bacaan awalnya, Ustaz," jawab Yara lirih, lalu menunduk malu. Ustaz Zakki nampak menghela nafas panjang, pria tampan itu menulis sesuatu di atas kertas lalu menyelipkannya di antara lembar buku catatan hafalan Yara. "Bawa Al-qurannya, berdiri di sudut ruangan, setelah yang lain selesai setor hafalan, kamu akan saya panggil lagi," ujar Ustaz Zakki serayak memberi isyarat agar Yara mengambil buku catatannya. Dengan wajah lesu, Yara mengambil buku catatannya, lalu menuju ke sudut ruangan sambil mengoceh dalam hati, "Awas kamu Mas Zakki, kalau ada kesempatan Yara pasti akan menggigitmu." "Ternyata seperti ini rasanya, belajar dengan suami sendiri, dan di hukum sama suami sendiri. Sangat indah," batin Yara menghibur diri. Di saat yang lain mulai maju ke depan menyetor hafalannya, Yara sibuk mengulang hafalannya sendiri di sudut ruangan. Sampai ia tidak sengaja membuka buku catatannya, dan menemukan selembar surat dari suaminya. "Sudah kangen, kan? Mau di cium? Harus hafal dulu, nanti biar Mas cium." Wajah Yara langsung merona membacanya, dadanya kembang kempis, hatinya berbunga-bunga tidak terkira. Seperti mendapat kekuatan baru, semangat baru, yang setara dengan semangat juang 45, Yara kembali fokus menghafal surah Al-qur'an, sambil menghadap ke dinding, sedang Al-qur'an dan buku catatannya ia letakkan di atas lemari tidak jauh dari tempatnya berdiri. Saking fokusnya menghafal, sampai Yara tidak menyadari jika teman-temannya sudah selesai setor hafalan, dan sudah kembali ke kamar mereka masing-masing. Sekarang, di ruangan itu hanya tinggal dirinya, Anin dan Ustaz Zakki. Sebuah cubitan kecil di pinggangnya, membuat Yara berjengit kaget. Wanita itu segera memutar lehernya, begitu ia menoleh ke belakang sebuah ciuman mendarat lembut di bibirnya. Bola mata hazel itu langsung membulat sempurna, jantungnya kembali berdegub kencang, seperti habis lari marathon puluhan kilo meter jauhnya. "Kangen?" tanya Zakki serayak mengusap bibir Yara yang basah akibat di cium olehnya. Yara mengangguk, menatap Zakki dengan penuh kerinduan. Ia ingin memeluk, mencium, dan menyandarkan kepalanya di bahu kokoh milik suaminya, namun ia takut, takut jika Zakki tidak mengizinkannya. Namun tanpa di duga, justru Zakki yang tiba-tiba saja memeluknya dengan erat, mencium puncak kepalanya dengan penuh sayang. "Sudah ya, sekarang kembali ke asrama, kalau lama-lama nanti ada yang curiga," ujar Zakki setelah melepas pelukannya. Yara kembali mengangguk, kali ini dengan senyum bahagia. Meskipun pelukan itu hanya sebentar, tapi Yara sudah cukup merasa bahagia. Setidaknya, rindu di hati sudah terobati. "Jangan menangis lagi, dan belajarlah yang giat," pesan Zakki, sesaat sebelum Yara melangkah keluar bersama Anin yang sejak tadi setia berjaga di depan pintu. "Jangan senyum-senyum sendiri terus, nanti ada yang curiga," bisik Anin, saat mereka menuju kamar asrama. Sejak keluar dari ruang kelas, Yara terus saja tersenyum seorang diri, sambil memeluk buku catatan hafalannya dengan erat. "Ah ... jadi tidak sabar menanti malam," desah Yara dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN