Part 3. Bertemu Target
"Lo sendirian, boleh gue temenin?"
Kurang dari 10 menit aku mendudukan pantatku di kursi, seorang yang tidak aku kenal tiba-tiba saja menghampiriku, bar atau Club seperti ini bukan tempat yang asing untukku mengingat seringkali aku berburu skandal ditempat yang lazim dengan bau alkohol dan musik ini namun tetap saja aku sedikit risih saat tiba-tiba seornag pria mendekatiku dan langsung menyentuhku seperti ini.
Perlahan aku melepaskan tangannya tersebut dan tersenyum kecil, senyum samar sarat penolakan tersungging dibibirku, satu hal yang aku pelajari dari kehidupanku yang mengenaskan adalah jangan menjadi w************n seperti wanita yang telah melahirkanku, karena ulahnya yang menggatal pada suami orang kini akulah yang terkena imbasnya. Semua orang melihatku seperti aku ini sampah, seornag yang tidak berhak bahagia. Orang-orang yang tahunya aku ini anak yang diadopsi oleh Bibiku saja memandangku sebelah mata, apalagi jika mereka tahu aku adalah anak pelakor yang sudah menghancurkan rumah tangga wanita lain, mungkin orang-orang akan meludahi wajahku.
"Gue mau sendiri dan nggak butuh di temenin sama siapapun." Ucapku tanpa basa-basi yang sukses meruntuhkan senyum menggoda pria yang aku taksir berusia hampir 30an ini, penampilan rapi dan bermerek dengan parfum yang mahal, pasti pria ini mengira semua wanita yang didekatinya tidak akan menolak dan apa yang aku lakukan ini tentu melukai harga dirinya.
Sayangnya, pria yang kali ini menggodaku sepertinya tidak akan tumbang hanya dengan sekali penolakan, karena alih-alih menjauh seperti yang aku inginkan, pria ini justru semakin berani. Bukan hanya merangkul bahuku, tapi kali ini tangan itu bergerak menuju pinggangku dan yang paling kurang ajar adalah dia mengusap punggungku menggunakan tangan kotornya. Tidak berhenti hanya sampai disana, bahkan pria b******k ini berbisik tepat di telingaku.
"Gimana kalau nanti gue beliin tas yang lo pengenin? Gue tahu kalau segala hal di dunia ini nggak ada yang gratis, termasuk ngajak lo naik ke atas gue malam ini."
Aku memejamkan mataku erat. Suara hingar bingar dan musik yang membuat banyak orang berteriak senang nyatanya tidak bisa meredam kekesalanku, sungguh rasanya sial sekali hari-hariku belakangan ini, bukan cuma ditodong uang oleh Bibiku tercinta dan juga tidak mendapatkan artikel yang bisa membuat insight meledak, kini aku harus mengalami pelecehan saat menguntit target artikelku, hampir saja segelas minuman yang aku pesan melayang kepada pria b******k ini jika saja dua orang yang melintas dengan sikap posesif Sang Pria tidak melintas di dekat kami dan berhenti saat mereka melihat pria yang tengah mengusikku, dan siapa yang menyangka jika Wira Yudayana menyapa dengan akrab pria b******k yang masih betah meraup pinggangku ini.
"Lo belum laporan ke gue malah asyik-asyikan lo duluan disini."
"Siap Pak Bos, laporan langsung ditempat sekarang."
Kucabut kata-kataku tentang betapa sialnya aku bertemu dengan pria b******k nan c***l di sebelahku ini karena nyatanya pria ini bagai dewa keberuntungan untukku karena membawa targetku tepat ke depan wajahku tanpa aku harus bersusah payah menguping. Tidak ingin membuang kesempatan, saat pria yang bahkan tidak aku kenal ini hendak beranjak mengikuti Wira Yudayana dan Rinjani, aku menahannya. Niat awalku untukku menyiramkan segelas minuman yang aku pesan, kini aku angkat dan aku dentingkan pada Martini yang dibawanya yang membuat pria b******k ini tersenyum seolah dia baru saja memenangkan undian.
"Private table?" Tanyaku padanya sembari tersenyum semanis mungkin.
"Of course, tidak mungkin seorang Joshua dan Wira ditempat yang biasa-biasa saja, nggak keberatan nunggu sebentar, ada bisnis yang harus diselesaikan."
Ya, ya, ya, terserah Mr. b******k, Joshua atau siapakah aku tidak peduli. Batinku dalam hati meskipun bibirku berkata lain kepadanya.
"Sama sekali, tidak." Ucapku sembari bangkit mengikutinya berjalan menuju table VVIP yang jelas untuk mendapatkannya saja kita harus spend money dalam jumlah yang tidak sedikit.
Demi pekerjaan, lagian ini bukan pertama kaliny buat kamu kan, Ren, ucapku menghibur diriku sendiri. Masih mending laki-laki ini bukan pria tua genit seperti para pejabat yang masih doyan daun muda, setidaknya mataku tidak sepenuhnya ternodai, namun sayang tepat saat aku baru saja duduk di samping rekan bisnis Wira Yudayana ini, suara celetukan dari Rinjani langsung menyambutku.
"Siapa dia, Josh? Please, gue nggak masalah lo main asal comot sembarang cewek tapi jangan yang mukanya mirip sama Bokap gue, benci gue lihatnya. Berasa lihat anak selingkuhan Bokap kandung gue tahu, nggak?!"
……………………………………………………
Part 4. Dibalik Kesempurnaan
"Siapa dia, Josh? Please, gue nggak masalah lo main asal comot sembarang cewek tapi jangan yang mukanya mirip sama Bokap gue, benci gue lihatnya. Berasa lihat anak selingkuhan Bokap kandung gue tahu, nggak?!"
Kalimat yang terlontar dari mulut perempuan cantik berambut panjang yang ada di hadapanku ini seketika membuatku membeku. Bohong jika aku tidak shock dengan kalimatnya yang menyakitkan ini, ayolah, bahkan antara aku dan dirinya sama sekali tidak mengenal terlepas dari tujuanku yang memang menguntitnya, tapi sopankah sosok sempurna sepertinya berujar demikian?
Sikapnya yang arogan dan sombong ini benar-benar bergolak belakang dengan citra yang dibangunnya di sosial media, bahkan aku nyaris tidak percaya jika sosok yang tengah menatapku tajam penuh ketidaksukaan ini adalah sosok yang sama dengan sosok yang aku lihat seharian ini. Waaah, aku mengira seorang yang tumbuh di keluarga yang sempurna, berkecukupan materi dan kasih sayang akan menjadi seorang santun, atau paling tidak minimal dia bisa meredam rasa tidak sukanya dengan tidak mengungkapkan langsung di depan wajah tersangka yang tidak disukainya.
Benar yang dikatakan oleh Samuel, terlalu sempurna justru menunjukkan jika semakin banyak hal disembunyikan dengan rapi. Salah satunya adalah sikap Rinjani ini.
"Jan, jangan kayak gitu." Berbeda 180 derajat dengan sikap angkuh Rinjani, Wira Yudayana justru sebaliknya, bahkan pria itu tersenyum tidak enak saat bersitatap denganku yang syok karena sikap partner satenya tersebut. "Maafin, ya. Dia memang sedikit sensi, maklum banyak pekerjaan. Jangan diambil hati, anggap saja nggak dengar apa-apa. Enjoy saja disini sama Josh, walaupun mukanya b******k dia baik."
"Ho.oh, nggak usah diambil hati si Jani, kadang dia emang suka oleh kalo banyak kerjaan. Nasib baik sekarang dia sama Wira, cuma pawangnya yang bisa ngendaliin ni anak."
Menanggapi permintaan maaf yang terucap dari Wira mewakili Rinjani, aku hampir saja tidak mempermasalahkannya, namun belum sempat aku menerima permintaan maaf itu, perempuan yang kini terlihat badmood itu menyela dengan sewot sembari menatapku tajam.
"Kenapa kamu harus minta maaf?" Ujarnya tidak suka yang membuatku semakin menyipitkan mata, "Emang aku salah apa ke dia sampai kamu harus wakilin aku buat minta maaf? Lagian ngapain juga kamu belain dia, mau ngikutin jejak Papaku kamu ini, hah? Yang lebih belain pelakor dibanding keluarganya?"
Astaga ini perempuan, ada masalah apa dia sebenarnya dengan Ayah kandungnya sampai sesensitif ini dia dengan wajahku. Bahkan dia menatapku penuh dengan kebencian atas hal yang bahkan sama sekali tidak aku pahami. Bukan cuma aku yang kebingungan dengan reaksi perempuan sinting yang bersembunyi dibalik citra sempurna yang dia bangun, Joshua dan Wira pun sampai kebingungan dengan kemarahan Rinjani.
"Jan, udah ya." Bujuk Wira, "jangan kayak gini!"
Tapi bukannya tenang, Rinjani justru semakin meradang, "nggak, usir dia dari sini baru aku diam! Aku nggak sudi lihat mukanya, bener-bener mukanya sama persis kayak Bokap sama si Jalang sialan yang sudah ngehancurin hidupku. Sekarnag pilih, aku atau dia yang pergi dari sini, Mas Wira!" Dagu itu terangkat tinggi saat dia melontarkan pilihan kepada Joshua dan Wira, menunjukkan kepadaku betapa tingginya tempatnya berada dia merasa pantas untuk merendahkanku. "Lagi pula, Joshua nggak akan keberatan kalau dia pergi, kan? Dia bisa nyari Jalang lainnya dibawah. Iya kan, Josh?"
Done, selesai sudah diamku untuk melihat sikap buruk dibalik citra sempurna yang dimiliki oleh Rinjani Prabumi. Mungkin dia mengira Club private ini tempat aman untuknya memperlihatkan sisi lain dirinya tanpa khawatir ke-gap media. Sayangnya hari apesnya karena seornag yang dicaci maki itu adalah aku.
Terlihat jelas Joshua merasa tidak enak kepadaku untuk mengiyakan pertanyaan dari Rinjani, namun dia pun tidak tega mengatakan hal tersebut kepadaku, walau bagaimanapun aku bisa sampai di table ini karena memang ajakannya.
"Tenang saja Miss Sempurna, saya juga akan pergi dari meja ini. Saya disini karena undangan rekan kerja pacar Anda ini, bukan karena kemauan saya, perlu Anda tahu hal itu."
Tidak ingin lebih lama mendengar omongan ketidaksukaan yang sama sekali tidak masuk di akalku aku segera bangkit, namun rasanya tidak afdol rasanya jika aku tidak memberikan makian pada seornag yang punya mulut tapi tidak punya otak ini. "Tapi tolong, lain kali jaga mulut Anda yang seperti sampah itu, Miss Sempurna. Saya tidak tahu ada masalah apa Anda dengan salah satu orangtua Anda, tapi Anda sama sekali tidak berhak memaki orang lain karena hal itu, dunia tidak melulu berputar di sekitar Anda hingga semua orang Anda minta untuk memaklumi sikap Anda yang konyol ini."
Tidak hanya sampai disana aku memuntahkan kekesalanku atas kalimat-kalimat tidak pantasnya, aku mengeluarkan kartu namaku dan langsung aku letakkan di table mereka.
"Dan lagi, saya seornag Jurnalis yang sedang mencari hiburan, bukan seornag Jalang seperti yang Anda katakan. Daripada menunjuk orang lain, mungkin lebih baik Anda berkaca, yang lebih pantas disebut jalang itu sepertinya Anda, Miss Sempurna."
"..........."
"Seorang yang sudah bertunangan tapi jalan dengan pria lain? Hah, Anda bisa menjelaskan sikap Anda yang sangat bertolak belakang dengan citra Anda di depan kamera ini? Anda sudah salah menginjak orang, Nona. Saya bukan orang yang takut hanya karena Anda punya kuasa. Bersiaplah muka munafik Anda ini menjadi headline, Miss Sempurna. Terimakasih sudah memberi makan siang untuk saya."
Rinjani Prabumi, jika seperti ini jangan salahkan aku lagi jika aku akan tanpa ragu sama sekali menaikkan skandalmu.