Mata Untuk Raka - 04

1415 Kata
Duel Rere dan Adit baru saja tiba di sekolah. Seperti biasa Rere berjalan dengan gaya pongahnya. Sementara Adit merasa ada yang aneh. Biasanya anak-anak yang lain selalu tersenyum padanya, menyapanya, bahkan tak sedikit siswi yang sengaja mendatanginya. Adit berpikir keras sambil menyipitkan matanya. Telunjukknya terangkat dan menunjuk wajah Rere perlahan. "Lo penyebabnya," kata Adit. "Apaan?" tanya Rere. "Lo tau nggak, setiap gue jalan sama lo, anak-anak yang lain nggak ada yang negur sapa gue," jawab Adit. "Hahaha." Rere tertawa kemudian berkacak pinggang dengan gaya songongnya. "Malah ketawa," dengus Adit. "Mereka semua itu takut sama gue," ucap Rere. "Semuanya?" tanya Adit. "Iya, kecuali lo Dit." Rere menyenggol lengan adit dengan bahunya. "Masih ada satu orang lagi," ucap Adit. Langkah Rere terhenti. Dia kembali berbalik dan menatap Adit dengan wajah penasaran. "Siapa?"tanyanya. "Dia!" Adit menunjuk ke arah tribun lapangan yang ramai disesaki para siswi. Rere melayangkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Adit. Terlihat gerombolan siswi membentuk lingkaran dengan seorang siswa duduk di tengah mereka. Jemarinya terlihat lihai memetik gitar. Meski samar, Rere bisa mendengar merdu suaranya. Sesekali terdengar suara riuh tepuk tangan. Dilain waktu terdengar suara nyanyian kompak mereka semua. "Maksud lo Raka?" tanya Rere. "Iya," jawab Adit. Rere terdiam. Memang selain Adit, Raka adalah satu-satunya yang tidak pernah dijahilinya. Rere mempunyai alasan untuk tidak mengganggu Adit karena dia adalah sahabatnya. Tapi Rere tidak punya alasan kenapa dia tidak bisa melawan Raka. Rere tidak berkutik dihadapannya dan tidak berani menampakkan sisi liarnya pada sosok Raka. Adit menatap Rere yang terpaku memandang Adit di ujung sana. Dia sadar ada yang berbeda dari tatapan itu. Sorot mata Rere yang biasanya beringas kini melembut. Seulas senyum tipis juga terlihat di wajahnya. Adit beralih menatap Raka yang masih bermain dengan gitarnya. Gerahamnya beradu kuat. Entah kenapa dia merasa tidak suka melihat Rere menatap Raka seperti itu. "Lo ngapain ngeliat dia kayak gitu," sergah Adit. Rere kembali tersadar dan mengerjapkan matanya berkali-kali. "Lo suka sama dia?" tanya adit. Mata Rere membulat. Sedetik kemudian dia mengipas-ngipas wajahnya dengan telapak tangan. Dia pun juga menghindari tatapan mata Adit. Rere berpura-pura sibuk dan memalingkan wajahnya. Sementara Adit masih menunggu jawaban dengan resah. "Kok lo nggak malah diem?" tanya Adit lagi. "Gue? suka sama cecerut kayak dia? amit-amit jabang kecebong," jawab Rere. Rere mamasang ekspresi jijik dan berpura-pura mual. Tapi Adit malah tersenyum lega melihatnya. Wajahnya yang semula tegang kini kembali melunak. Tanpa sadar jemarinya terangkat dan mengelus rambut Rere perlahan. Sementara yang di sentuh, kini menatapnya dengan wajah heran. "Lo ngapain Dit?" tanya Rere. Adit menjadi grogi. Dia salah tingkah dan kelabakan dalam menjawab. Mulutnya bergerak-gerak tapi tidak ada kata yang terucap. Rere masih menunggu jawaban. Dia mendekatkan wajahnya yang sukses membuat Adit kian tersipu malu. Setelah bisa menguasai dirinya kembali, Adit mencium jemarinya yang tadi menyentuh rambut Rere lalu memasang ekspresi jijik. "Gue cuma penasaran sama bau rambut lo, dan ternyata bener, rambut lo itu bau menyan," tutur Adit. "Sembarangan lo kalau ngomong." Rere langsung menendang betis Adit. "Seriusan, lo mandi pake sampo apaan sih?" tanya Adit. "Gue nggak pake sampo," jawab Rere. "Terus?" "Pake sunlight mama lemon di campur perasan asam jawa." Rere mengibaskan rambutnya lalu melenggang pergi. Adit tersenyum tipis. Sepeninggal Rere, dia kembali menatap jemarinya. Merasakan kembali sentuhan yang tersisa di sana. Kali ini dia tertawa lalu menggelengkan kepala. Dia sungguh tidak mengerti. Bagaimana bisa seorang gadis seperti Rere, bisa membuatnya jatuh hati. _ Rere membanting pintu kelas dengan keras. Matanya tertuju ke segala penjuru mencari sosok yang sudah membuatnya naik darah. Namanya Bombom, anak kelas XII IPS 3. Sudah seminggu ini dia kerap kali mencari gara-gara dengan Rere. Sepertinya sosok Bombom ingin menggoyahkan tahta milik Rere sebagai orang paling ditakuti di sekolah. Kali ini dia meletakkan sebuah kotak berisi bangkai tikus di dalam laci meja Rere. Kemaren lusa dia juga sengaja menungkai Rere yang membuatnya hampir terjatuh. Untuk kali ini Rere tidak bisa menahannya lagi. Dia mencari sosok Bombom dengan mata memerah, memeriksa setiap kelas dan bertanya pada siapa pun dengan nada galak. “Di... dia ada di lapangan volly,” jawab seorang siswa. Rere segera berlari menuju lapangan. Dia tidak menghiraukan Adit yang memanggilnya, juga Raka yang kini terus menatapnya. Kedua siswa itu kompak berlari mengikuti Rere. Bukan hanya mereka, seluruh siswa lainnya juga mengikuti langkah kaki Rere. Melihat gelagat Rere, membuat semuanya tahu bahwa akan ada keributan yang terjadi. Bombom sendiri sepertinya sudah tahu perihal Rere yang sedang mencarinya. Dia menunggu Rere masih dengan kostum olah raga dan cucuran peluh yang membasahi wajahnya. Rere tersenyum kecut begitu melihat Bombom, begitu juga sebaliknya. Aura pertarungan segera terasa menyelimuti seantaro lapangan yang kini juga sudah dikerumuni massa. “Maksud lo apa ngasih gue bangke tikus?” tanya Rere. “Itu kado dari gue.” Bombom mereguk botol air minumannya dengan santai. “Lo mau cari gara-gara sama gue?” bentak Rere. “Itu dia,” jawab Bombom santai. “Lo yakin nggak bakalan nyesel?” tanya Rere. Bombom tersenyum lalu melangkah lebih dekat. Kemudian dia menatap Rere dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan pipi bengkak karena lidah yang menekan dari dalam. “Udah waktunya bagi lo buat berhenti jadi sok jagoan di sekolah ini,” bisik Bombom. “Masalahnya sama lo apa, ha?” bentak Rere. “Eh cewek norak, lo jangan pernah ngebentak gue oke! Lo itu bukan tandingan gue, jelas? Oh, lo jago taekwondo? level gue jauh di atas lo. Lo mau fight sama gue? Hayok!” Bombom mendorong kening Rere dengan telunjuknya. Rere menelan ludah. Dia tahu bahwa Bombom memang lebih jago darinya. Dia tidak mau mati konyol hanya karena tantangan itu. Tapi di satu sisi, Rere juga merasa sudah dilecehkan. Rere terdiam. Otaknya berpikir keras memikirkan jalan lain untuk membalas Bombom. “Kenapa lo diem? Lo takut?” tanya Bombom. Rere tidak menjawab. “Wooi semuanya...!” Bombom berteriak keras, “Sepertinya Ratu Bully takut berhadapan sama gue,” lanjutnya. “Wouuuuuuuuu ...!” “Lawan dong ...!” “Pengecut ...!” Sorakan dan teriakan provokator mulai terdengar bersahutan. Berbagai suara sumbang itu membuat kuping Rere panas. Tapi dia juga sadar bahwa bertarung memakai kekerasan memang bukan jalan yang tepat saat ini. Rere tersenyum lalu menatap Bombom perlahan. “Maafin gue,” kata Rere. Ucapan Rere membuat Bombom terkejut. Tidak hanya Bombom, seluruh penonton sama kagetnya. Semua tidak percaya Rere bisa mengalah begitu saja. Sebagian mulai tertawa, sebagian sibuk merekam dengan handphonenya, dan sebagian masih sibuk berteriak memanas-manasi agar keduanya bertarung. “Lo bilang apa?” tanya Bombom. “Maafin gue ...!” Rere kembali mengulang perkataannya. “Maaf ...?” Bombom mendelik lalu mengangkat bahunya sambil mencibir. “Apa semudah itu?” dia bertanya pada penonton. Berbagai usulan gila dan anarkis mulai terdengar. Rere semakin kelabakan. Namun walau begitu, dia memasang raut wajah setenang mungkin. Dia tetap tersenyum dan berdiri tegap di tempatnya. “Oke, gue bakalan terima permintaan maaf dari lo. Tapi ....” Bombom menggantung kalimatnya. “Tapi apa?” tanya Rere. “Lo harus bersimpuh di kaki gue,” jawab Bombom. Suasana kembali riuh. Semua murid kini kompak merekam moment sakral itu dengan handphone mereka. Semua ikut terbawa atmosfir yang mereka bagi mereka terasa menegangkan lagi seru. Namun ada dua wajah yang menampilkan ekspresi yang berbeda. Kedua orang itu adalah Adit dan Raka. Adit masih bersitegang melawan dirinya sendiri. Dia ingin menyudahi aksi gila itu, namun dia tahu Rere paling tidak suka jika dia mencampuri urusannya. Sementara Raka sedang memijit keningnya sendiri. Dia sedang berpikir bagaimana caranya membawa Rere pergi dari sana. “Woaaaaa...!” Seluruh murid kembali berteriak ricuh ketika melihat Rere bersimpuh. Dia benar-benar menuruti perintah Bombom. Membuat si pemberi mandat berada di atas angin. Bombom tersenyum bangga karena sudah berhasil menaklukkan siswi paling berani di sekolah. Riuh tepuk tangan membuat hidungnya kembang-kempis. Bombom benar-benar merasa hebat saat ini. “Yaudah buruan ngomong!” perintahnya lagi. Rere hanya tertunduk dengan kedua telapak tangan sejajar di atas lutut. Keheningan menyebar karena semua ingin mendengar kata-kata Rere dengan jelas. Semua bersiap merekam moment itu dan mengabadikannya. Rere menghela napas sejenak, kemudian dia mendongakkan kepala ke atas menatap Bombom. “Maafin gue ....” Secepat kilat Rere menarik celana Bombom hingga melorot ke bawah. Tidak hanya celana olah raganya saja, tapi juga celana boxernya. Selepas itu Rere segera berlari sekencang mungkin meninggalkan tempat itu. Semua murid berteriak histeris. Sebagian siswi menutup mata namun tetap mengintip di antara sela jarinya. Pemandangan langka itu pun juga sukses terabadikan dalem jepretan kamera. Suara tawa dan keriuhan menjadi-jadi. Bombom segera menarik celananya dengan rasa malu yang teramat sangat. Wajahnya merah padam dengan mata x umum nbterpaku ke tanah. Para penonton masih terpingkal-pingkal. Tetapi tetap ada dua wajah yang kini berubah pucat. Siapa lagi kalau bukan Adit dan Raka. Napas keduanya berhenti sebentar, kedua mata mereka kini membesar, dan mulut juga menganga lebar. _ Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN