Wajah Nadira pucat pasi, hujan di luar mendadak deras dan suaranya menjadikan suasana di kamar itu semakin mencekam.
“Nadira ...? Nad ...?” Dari seberang terdengar suara yang memanggil-manggil nama perempuan itu.
Dengan tangan yang gemetar dan refleks yang begitu cepat, dia segera menyembunyikan ponsel ke belakang.
Akan tetapi, Rangga juga tak kalah cepat dari istrinya. Dia berhasil merebut ponsel tersebut dari Nadira.
“Oh, jadi ini orangnya?” Tampak wajah tak suka dari Rangga melihat pria di seberang sana.
“Apa kau Rangga? Rangga ini aku sedang ....”
Hampir saja orang di seberang sana menunjukkan ruangan tempat anak Nadira berbaring, tapi saat itu juga Nadira berusaha menarik ponselnya.
Namun Rangga juga tak ingin kalah, dia masih meremas dengan erat ponsel yang dapat dilipat tersebut. Perebutan terjadi dengan sengit, hingga akhirnya ....
‘Plung!’
Ponsel itu pun terjatuh ke toilet.
Nadira hanya tak ingin Rangga sampai tahu mengenai keberadaan anak mereka. Karena selama ini, pernikahan mereka hanya di atas kertas dan anak ini dilahirkan tanpa persetujuan ayahnya.
Rangga yang dibalut kesalahpahaman semakin mencibir istrinya. “Rupanya kau sudah punya suku cadang, pantas saja kau setuju bercerai denganku? Bagaimana pria itu? Dia konglomerat dari mana? Apa yang akan didapat olehmu jika bersamanya nanti? Dia menjanjikanmu saham? Properti? Atau apa?”
Sambil menahan tangis dan berusaha untuk tegar, Nadira hanya menunduk dan melihat pada ponselnya yang kini tengah terendam air kloset. Gelembung-gelembung tercipta di sekitar ponsel itu, sementara layarnya telah padam.
“Sebaiknya kau hubungi pacarmu itu agar dia tidak salah paham atas teleponnya malam ini,” ujar pria itu sambil tersenyum miring. Setelah berkata demikian, Rangga langsung pergi lagi dan meninggalkan istrinya.
Di situ Nadira menatap punggung sang suami yang kembali pergi. Dengan hati yang penuh kepedihan, dia bergumam, “Tidakkah dia tahu, jika selama ini aku tak pernah menatap pria lain selain dirinya?”
**
Seakan malam tadi tak terjadi apa-apa yang melukai hatinya, Nadira kembali beraktivitas seperti biasa. Dia bangun sejak pagi dan bersiap untuk pergi ke rumah sakit dan menemui dokter fertilitasnya. Akan tetapi, mata yang sembap dan wajah yang sayu tak dapat menutupi kabut-kabut kesedihan dalam hatinya.
Hanya satu yang ada dalam benak Nadira, dia harus segera memastikan kehamilannya.
Dia berada dalam perjalanan menuju rumah sakit, tapi sejak tadi ponselnya terus berdering.
Berulang kali Nadira melihat ke arah ponsel dan nama yang sama masih tertera di sana.
‘Rangga is calling ....’
Kembali dia menolak panggilan tersebut dengan menekan logo telepon berwarna merah di sebelah kiri.
Namun akhirnya dia mendapat pesan dari sang suami.
[Kau sedang dimana? Aku harap kau menepati janjimu!] ~ Rangga.
Nadira menunggu perawat untuk menemuinya, dia tak ingin Rangga mengganggu untuk saat ini.
“Aku mohon, aku mohon, kumohon ...!” pintanya dalam hati. Setidaknya, Nadira harus hamil untuk mendapatkan sel punca agar anaknya bisa sembuh, sebelum ia bercerai dengan sang suami. Dan yang paling penting, sebelum penyakitnya semakin parah.
Tapi sepertinya, apa yang dia ingin masih belum bisa didapat begitu sang perawat mendekat dan memberitahu sesuatu untuknya. “Maaf, Bu Nadira. Kami masih belum bisa memastikan kehamilan Anda. Terjadinya pembuahan dan kehamilan baru bisa dideteksi paling satu minggu setelah penyuntikan. Maka dari itu, kami menyarankan agar Anda meningkatkan frekuensi hubungan suami-istri dalam kurun waktu tersebut.”
Nadira kembali keluar dari rumah sakit, dia berjalan dengan lesu. Tapi telepon dari Rangga masih tidak mau berhenti berdering dari ponselnya.
Saat ini, tak ada pilihan lain, dia pun mengangkatnya. Lalu hal pertama yang ia dengar dari seberang adalah kalimat kekesalan dari Rangga.
“Apa kau sengaja? Aku sudah menunggumu sejak tadi! Sidang kita ditunda karena kau tidak berkenan hadir!”
Nadira terdiam sambil menelan ludah begitu mendengar ucapan tersebut.
“Aku tidak mau tahu! Sidang selanjutnya akan diadakan tiga hari lagi! Kau harus datang ....”
“Rangga ...,” panggil Nadira dengan lirih. “Aku tidak bisa bercerai denganmu sekarang!”
“Apa kaubilang?” gusar Rangga dari seberang telepon.
“Kita bercerai setelah aku hamil! Aku yang akan mengurusnya!!”
Saat itu juga, Nadira memutuskan panggilan dan langsung menonaktifkan ponselnya juga.
**
Dia kembali ke rumah dengan tangan kosong. Nadira tak mendapatkan hasil positif dari kehamilannya, dia bahkan telah membuat Rangga kesal padanya karena tak menghadiri sidang dan mengundur perceraian mereka.
Walau rencana hari ini tak berjalan dengan baik, tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu sampai tes kehamilan menyatakan dirinya positif.
Akan tetapi, sepertinya hari buruk tak berhenti di situ saja. Perempuan dengan rambut panjang yang tergerai itu melihat seseorang yang sedang menunggunya dengan wajah angkuh di depan rumah.
“Hei, akhirnya kau datang juga!” hardik perempuan tersebut sambil menarik tas bahu yang dibawa oleh Nadira.
“Eh, apa yang kaulakukan?” Nadira berusaha mempertahankan tasnya, hal itu membuat dia terjerembap dan jatuh tersungkur di dekat pot depan rumah.
“Apa maksudmu membatalkan perceraian dengan Rangga tadi? Kau masih belum puas mengeruk hartanya?”
Perempuan yang tak lain merupakan sekretaris Rangga itu melabrak Nadira karena batalnya perceraian tadi.
“Kau sudah membuang waktunya! Selama ini kau menyakitinya dengan berselingkuh bersama pria lain, lalu keluargamu mengeduk hartanya bahkan sampai membuat Rangga kehilangan kedua orang tuanya! Apa kau masih belum puas memberi kesialan di hidupnya?” lanjut perempuan itu lagi.
Kali ini, Nadira berusaha untuk bangun. Dia menatap pada perempuan di depannya sejenak tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
“Kau dengar aku? Apa alasan konyolmu untuk membatalkan perceraian dengan Rangga, hah? Aku dengar kau minta ditiduri olehnya semalam sebelum kalian bercerai!” umpat perempuan itu lagi.
Nadira menatap dengan tajam pada sang sekretaris, kali ini dia sudah mulai geram akan ucapan dari sekretaris suaminya ini. “Hellena! Kau harus punya sopan santun! Tidak baik memanggilmu bosmu hanya dengan nama saja! Dan seharusnya kautahu kalau aku masih menjadi ‘istri sah’ dari Rangga! Sudah sepatutnya jika kau menghargai dan menghormatiku layaknya bawahan pada atasan!”
Wanita yang dipanggil dengan nama Hellena itu merasa geram dengan reaksi Nadira. “Kau ...!” Tangannya mengepal karena sangat geram dan saat itu juga dia mengambil sebuah pot kecil yang berada di sampingnya.
Dengan sigap dia langsung melempar pot itu dengan sasaran tepat di kepala Nadira.
Nadira yang tak sempat menghindar, hanya bisa merunduk sambil menutup mata.
‘Brak!’
Hantaman itu terdengar dengan jelas, tapi dia tidak merasakan apa-apa. Nadira membuka mata dan melihat seseorang yang menghalangi pot tersebut agar tidak mengenainya. “Rang ... ga ...?”