Bab 12. Menyesal dan Bingung

1151 Kata
"Mutia?" panggil kakek pada Mutiara. Membuat Mutiara terkejut dan langsung menoleh ke arah kakek. "Iya, Kek?" jawab Mutiara yang setengah linglung. "Kamu kenapa tidak makan? Dari tadi Kakek perhatikan kamu hanya melamun dan mengaduk-aduk makananmu saja?" "I ... iya, Kek. Saya tidak nafsu makan," jawab Mutiara dengan senyum canggung. Kakek memperhatikan Mutiara. "Tidak nafsu makan? Apa kamu mau makan yang lain?" "Tidak, Kek. Ini sangat enak, kok," jawab Mutiara sembari tersenyum canggung. Sang kakek kembali memperhatikan Mutiara. "Kamu kelihatan pucat? Apa kamu sakit?" tanya kakeknya khawatir. "Tidak, Kek! Aku hanya sedikit lelah," jawab Mutiara yang senyumnya nampak dipaksakan. Setelah itu, Mutiara kembali melihat makanannya. Sang kakek cemas melihat cucu mantunya itu. Kakek sadar kalau pandangan Mutiara dari tadi nampak kosong. Kakek pun melihat kearah Elfan. Seperti biasa, Elfan hanya fokus pada ponsel selagi sarapan di meja makan. Kakek pun hanya menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Elfan?!" panggil kakeknya. Membuat Elfan menoleh ke arah kakeknya. "Kenapa kau cuek sekali? Apa kau tidak dengar kalau istrimu bilang dia lelah?" Mutiara pun terkejut. Ia mengangkat kepala melihat Elfan. Elfan juga melirik membalas tatapan Mutiara. Mereka saling tatap sebentar. Terdapat siratan pandang kekesalan yang amat dalam dari mata Mutiara. Setelah itu, Mutiara segera membuang muka kembali menunduk dan fokus pada makanannya. Elfan pun menoleh ke arah kakeknya lagi. "Lelah? Memangnya lelah kenapa? Dia seharian hanya di rumah, kan?" ujar Elfan. Mutiara pun mendengkus kasar. "Dasar br*ngsek! Aku bilang lelah karena aku lelah ada di sampingmu! Pria dingin, egois dan tidak tahu diri!" umpat Mutiara dalam hati semakin kesal. Mutiara tidak sadar memotong makanannya dengan kasar karena emosi yang menumpuk. Elfan bisa melihatnya. Namun, ia mengabaikannya. Tadi malam setelah terjadi perdebatan batin dan mulut antara Mutiara dan Elfan, Mutiara kesal dan menangis lama sekali di halaman. Sedangkan Elfan yang salah paham, tetap tidak mau menyusulnya. Elfan mementingkan gengsinya dan terus berada di kamar. Sejujurnya, Elfan tidak bisa tidur karena merasa bersalah. Namun, sikapnya tetap dingin dan bingung harus berbuat apa?Sampai Mutiara kembali masuk pun, Elfan langsung pura-pura tidur. Pada akhirnya, mereka berdua melewati malam dan saling diam sampai pagi ini dihadapkan sarapan bersama. "Elfan, apa yang akan kau lakukan hari ini?" tanya kakeknya lagi. "Apa lagi? Tentu saja aku akan bekerja, Kek!" jawab Elfan dengan nada normal. "Kenapa harus bekerja? Bukankah hari ini produksi libur? Kemarin, kan open-nya meledak. Masih harus diperbaiki." "Justru karena itu, Kek. Aku harus melihatnya langsung di lapangan." "Hm ...." Kakeknya mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali pelan. "Kalau begitu, kau bisa pulang lebih awal hari ini, kan?" "Ya! Karena memang tidak ada produksi hari ini. Sore aku pasti sudah pulang." "Baguslah! Kalau begitu setelah pulang kerja, ajaklah Mutia untuk keluar jalan-jalan," kata kakeknya. "Tidak perlu, Kek!" sanggah Mutiara dengan refleks. Membuat kakeknya terhenyak dan menoleh ke arah Mutiara. Elfan pun jadi melihat Mutiara yang langsung menolak tanpa ragu-ragu itu. "Kenapa tidak?" tanya kakeknya lagi. "Saya tidak ingin jalan-jalan hari ini." "Kenapa? Kamu kelihatannya sedang bersusah hati. Bukankah bagus kalau kalian bisa jalan-jalan. Elfan bisa mengajakmu untuk menghilangkan suntuk," tawar sang kakek lagi. Elfan pun jadi melihat ke arah Mutiara dengan tatapan datar. Sama sekali tidak ber-ekpspresi. Mutiara membalasnya dengan tatapan sebal. Elfan tahu Mutiara pasti akan menolak. Mutiara lalu mengalihkan pandangan dari Elfan dan menoleh kembali ke arah kakek. "Maaf, Kek. Hari ini aku lelah. Aku ingin istirahat saja di kamar," jawab Mutiara. "Kakek dengar sendiri, kan? Dia yang tidak mau," ujar Elfan pada kakeknya. Mutiara pun menautkan kedua alis melihat Elfan. "Mutia," panggil kakeknya lagi. Membuat Mutiara jadi menoleh ke arah sang kakek lagi. "Mungkin kamu bisa menyegarkan pikiran dengan pergi jalan-jalan," ujar sang kakek. Elfan pun ikut menengok ke arah kakeknya. "Benar!" ucap Elfan pada Mutiara. Mutiara jadi menatap Elfan lagi. "Kebetulan hari ini aku memang tidak sibuk. Kalau kamu mau aku bisa—" "Tidak!" potong Mutiara cepat. Membuat Elfan berhenti berbicara. "Aku akan jauh lebih baik di rumah saja!" lanjut Mutiara yang berbicara dengan menggertakkan giginya. Nadanya penuh penekanan. Lagi pula, Mutiara tahu kalau Elfan sendiri pasti akan muak mengajaknya jalan. "Baiklah!" ujar Elfan yang menganggukkan kepala beberapa kali pelan. "Terserahmu saja," tambahnya. "Cih! Siapa juga yang mau jalan-jalan dengan laki-laki egois seperti dia! Bisa-bisa aku mati kesal dibuatnya!" gerutu Mutiara dalam hati kesal. "Kalau begitu aku pergi kerja dulu ya, Kek!" kata Elfan yang meninggalkan makannya dan segera berdiri. Kakeknya pun mengkerutkan kening melihat sikap cucunya itu. "Elfan!" panggil kakeknya. Namun, Elfan nampak mengabaikannya dan terus melanjutkan langkahnya menjauh. Sang kakek hanya menggelengkan kepala beberapa kali. Sedangkan Mutiara, menatap Elfan yang menjauh dengan tatapan kebencian. "Dia benar-benar laki-laki ter-br*ngsek yang pernah aku temui!" umpat Mutiara dalam hati lagi. *** "Permisi, Tuan?" sapa Samuel yang baru saja masuk ke kantor Elfan. Elfan yang tadinya memperhatikan laptop itu, jadi menoleh ke arah Samuel. "Kau sudah kembali?" "Sudah, Tuan." "Jadi bagaimana? Apa kau dapat sesuatu?" "Sebenernya, kemarin Nona Mutiara memberikan kartu identitas-nya pada om dan tantenya, Tuan." "Kartu identitas?" ulang Elfan tidak mengerti. "Saya sudah menyelidiki kalau kartu identitas itu sebagai jaminan, Tuan." "Jaminan?! Jaminan untuk apa?" "Supaya nona Mutiara tidak bisa kabur. Om dan tante nona Mutiara sudah meminta uang sejak pernikahan nona dan Tuan waktu itu. Tapi nona Mutiara masih belum bisa memberikan uang pada mereka sampai sekarang. Jadi, mereka berdua meminta jaminan kartu identitas nona Mutiara, supaya nona Mutiara tidak bisa kabur dari mereka," jelas Samuel. Mendengarnya, ada rasa marah yang mendadak muncul dari hati Elfan. Entah karena apa? Yang jelas Elfan tidak terima kalau Mutiara diperlakukan seperti itu. Elfan tidak sadar kalau ia sedang mengepalkan tangan kuat-kuat dan menahan emosinya. "Tuan?" panggil Samuel kembali. Begitu panggilan Samuel terdengar, Elfan langsung terhenyak. Ia baru sadar kalau amarahnya sedikit tidak terkontrol. Elfan kembali menoleh ke arah Samuel yang baru memanggilnya itu. "Ada apa?" "Saya dengar tadi, nona Mutiara sudah mengembalikan kartu kredit pemberian Tuan besar pada tuan besar lagi, Tuan," tambah Samuel memberikan satu informasi yang sedikit tertinggal. Elfan menautkan kedua alis mendengar keterangan Samuel itu. "Kau tahu dari mana?" tanya Elfan lagi. "Sebenarnya, saya tadi secara tidak sengaja sempat mendengar percakapan antara Tuan besar dengan nona Mutiara. Tentu saja tuan besar menolak kalau nona Mutiara mengembalikan kartu kredit darinya. Tapi, yang saya lihat Tuan besar menerima kartu kreditnya kembali," jelas Samuel. Elfan pun terdiam berpikir. Jadi, tadi malam itu Elfan benar-benar salah sudah memarahi Mutiara. Bahkan ia juga tidak mau mendengar penjelasan Mutiara sama sekali. Mutiara dari awal memang adalah gadis lugu yang diperalat oleh kedua orang jahat itu. Elfan menghela nafas beratnya. Ia memejamkan kedua mata dan memijat pelipisnya pelan. Elfan tidak pernah merasa bersalah seperti ini sebelumnya. "Tuan? Apa ada yang bisa saya lakukan?" tanya Samuel yang melihat Elfan bertingkah cukup aneh hari ini. Elfan membuka kedua matanya. Ia perlahan mengangkat kepala. Tatapannya nampak menerawang, namun sebenarnya ia tengah berpikir serius. "Sam?" "Iya, Tuan?" jawab Samuel. Elfan kemudian menegakkan duduknya perlahan dan ia berdehem beberapa kali. "Apa ... kau tahu bagaimana caranya minta maaf pada perempuan?" tanya Elfan yang terdengar ragu-ragu. "Haaah?!" Samuel mengkerutkan kening heran mendengarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN