(Masih Flashback)
Sepeninggal Alvin, Retta merasakan pedih di mata seperti ada benda yang mencolok, diapun mengusap matanya. Alvin yang datang dengan membawa dua gelas es sirop segera duduk disamping Retta.
"Kenapa?"
"Mata gue kayaknya kemasukan bulu mata deh sakit banget." Hidung Retta memerah karena ikut merasakan pedih.
"Jangan dikucek, coba sini gue liat." Alvin membuka mata Retta dan meniupnya, diapun mengambil cotton bud di meja dan berniat mengambil bulu mata yang jatuh di dalam mata Retta.
"Mau diapain? Jangan di colok!"
"Udah liat ke atas aja sih!" Dengan perlahan Alvin mengambil bulu mata itu menggunakan cotton bud, setelah benda itu keluar, diapun menunjukkan pada Retta. Kelopak mata Retta menjadi hitam karena dia menguceknya padahal dia masih mengenakan maskara tadi, membuat maskara itu meleber kemana-mana. Retta mengambil tissue dari tasnya dan mengelap dengan kasar sisa Maskara itu, namun tampaknya tidak terlalu berhasil karena sepertinya sangat menempel.
"Sini gue bantuin," Alvin mengambil tissue dari tangan Retta dan mengelap mata Retta yang beleberan warna hitam, wajah mereka sangat dekat saat itu, bahhan Retta bisa merasakan nafas Alvin menerpa kulit wajahnya. Harum tubuh Alvin menyeruak diantara mereka. Alvin melihat Retta yang menatapnya lekat, diapun memegang pipi Retta, mengusap pipinya pelan. Dan tanpa dikomando Retta memajukan wajahnya mengecup bibir Alvin sekilas.
Alvin membeku dengan mata yang membelalak, hanya beberapa detik bibir mereka tertempel karena suara Mira terdengar dari luar.
Retta menjauhkan wajahnya dari wajah Alvin, pipi mereka berdua bersemu dan Retta membuang pandangan ke arah lain. Tak ada kata-kata yang dapat mereka ucapkan. Hingga Retta pergi meninggalkan Alvin yang masih membeku seperti patung.
Keesokannya mereka selalu membuang muka ketika bertemu, rasa malu bercampur menjadi satu. Ditambah degupan jantung mereka yang berpacu semakin cepat membuat keduanya terkadang lebih memilih saling menjauh daripada tersakiti oleh ritme jantung mereka masing-masing. Menjauh meskipun jauh di lubuk hati mereka saling merindu.
Setelah kejadian itu pertama kalinya Retta menyapa ketika meminta Alvin mengajarinya gitar, dan hubungan mereka mulai membaik bisa dibilang seperti orang yang berpacaran, bahkan Alvin kerapkali menjemput Retta ke sekolah, dan bermain dirumah Retta. Mengajari gitar tentunya hingga Retta bisa memainkan satu dua lagu.
Dan hubungan mereka menjauh kembali setelah Retta melihat kontak namanya di handphone Alvin. Sejak itu Retta sama sekali tidak ingin menyapa Alvin. Dan setelah Retta pikir-pikir selama ini selalu saja Retta yang memulai duluan hubungan mereka, maka dari itu semenjak insiden kontak nama itu, Retta sama sekali tidak berniat menghubungi Alvin duluan. Kecuali pada beberapa hal yang menurutnya cukup penting.
(Flashback End)
"Jangan begini Vin," ucapan Retta membuyarkan lamunan Alvin tentang masa-masa SMA ketika mereka melakukan ciuman pertama itu. Wajah Retta sudah memerah sekarang dan dia tentu tak bisa menyembunyikannya.
Alvin tersenyum dan mengusap kepala Retta dengan lembut.
"Kenapa? Takut pengen cium gue lagi?" Alvin meledek Retta untuk mencairkan suasana, meskipun dia juga sangat tegang sekarang. Bukan berarti dia tak pernah berciuman dengan wanita lain. Setelah mendengar kabar Retta kuliah di Surabaya dan memutuskan tinggal disana apalagi dia juga tahu kalau Retta sudah punya pacar. Membuat Alvin memutuskan untuk melanjutkan kembali hidupnya dengan mempacari perempuan lain.
Meskipun begitu tetap saja ingatan tentang Retta tak bisa pudar begitu saja, apalagi banyak para pria yang tak bisa melupakan setiap moment pertama dalam hidupnya. Begitupula dengan Alvin yang tak pernah bisa melupakan ciuman pertamanya dengan Retta.
Terkadang dia menyesal mengapa dulu sempat dengan bodohnya menamai Retta dengan sebutan Naughty di handphone, membuat Retta menjauh darinya. Membuat pandangan Retta terhadapnya tak lagi sama.
Retta masih terdiam dan menunduk membuat Alvin mengangkat dagunya.
"Kenapa? Cerita sama gue."
"Theo ngajak gue nikah.." luruhlah airmata Retta yang sedari kemarin ditahannya, bersamaan dengan sakitnya jantung Alvin mendengar kabar itu, pria itu bahkan sempat berfikir kalau mereka sudah putus. Tapi ucapan Retta barusan menyiratkan hal yang sebaliknya.
Alvin menarik bibirnya agar tersenyum, dilepaskan tangannya dari dagu Retta yang kini mulai terisak. Sejujurnya Alvin bingung alasan Retta menangis seperti ini. Dan dia memang tidak tahu bagaimana menenangkan wanita yang menangis. Apalagi selama ini hubungan dengan wanita-wanita yang pernah menjadi kekasihnya pun tak pernah terlalu dekat.
Dia yang hanya butuh status agar tidak diledekkin teman-temannya dengan kata-kata jomblo akut. Dia yang sangat cuek pada mahkluk bernama wanita. Ya terkecuali Retta, karena sedari dulu Alvin menyadari bahwa Retta mungkin telah mencuri hatinya secara utuh sehingga sampai saat ini tak ada tempat tersisa sedikitpun untuk wanita lain.
"Bagus dong, kalian kan udah sama-sama dewasa. Terus kenapa nangis?" akhirnya Alvin mengusap punggung Retta yang naik turun karena menangis.
"Tapi gue gak mau nikah sama dia." Alvin mengernyitkan dahinya, yang dia tahu Retta sudah lama menjalin hubungan dengan kekasihnya dan dia tak tahu kenapa Retta tak ingin menikah, dan itulah yang perlu dia cari tahu.
"Kenapa?"
"Gue gak mau dia jadi suami gue.. soalnya gue.. gue.. gue gak bisa cerita sekarang." Retta semakin terisak membuat Alvin mendekapnya agar Retta dapat menyalurkan segala luapan emosinya.
Retta menumpahkan seluruh airmata di baju Alvin hingga baju pria itu basah. Alvin tak mau memaksa Retta cerita yang dia tahu pasti ada alasan kuat kenapa Retta tak ingin menikah dengan Theo.
"Ta, denger gue." Untuk pertama kalinya Alvin memanggil nama Retta dengan benar. Retta melepaskan pelukan di tubuh Alvin dan mengangkat wajahnya yang sudah basah. Alvin mengusap air mata Retta dengan ibu jarinya. Kedua tangannya menangkup wajah Retta.
"Pernikahan itu sakral, bukan buat permainan. Daripada nanti lo nikah sama dia dan menyesal. Lebih baik lo ikutin kata hati lo, kalau merasa gak cocok, gak nyaman dengan dia lebih baik kalian putusin hubungan itu." Alvin merasa takjub dengan ucapannya, seharusnya dia membicarakan kata-kata ini depan Aryo yang hobi mengarang lagu, pasti ucapannya akan dijadikan lirik lagu band mereka.
"Gue takut Vin."
"Takut apa?" Retta menggigit bibir bawahnya, tak mungkin dia meluncurkan kata-kata itu dari mulutnya. Dia hanya ingin menyimpan sendiri masalah ini. Sekuat apapun dia akan menahannya.
"Sekarang gue Cuma bisa hindarin dia dulu Vin, sambil mantapin hati gue lagi, apa akan lanjut sama dia atau cukup sampai disini." Alvin menarik nafas panjang dan membuangnya. Diusap kembali kepala Retta, wanita yang lahir di tahun yang sama dengannya itupun hanya bisa tersenyum getir.
Ingin Alvin membawanya keliling kota Jakarta melihat pemandangan malam seperti waktu itu, namun dia tak bisa, tangannya masih terasa sakit jika harus mengendarai motor.
Sedangkan keliling kota Jakarta dengan mobil hanya akan membuang waktu karena macet, bukannya senang yang ada malah bad mood lihat keruwetan jalanan ibu kota.
Dia menyayangkan Retta yang sudah berdandan rapih malam ini, tapi hanya menghabiskan waktu di kamarnya. Alvin pun mengajak Retta jalan di sekitaran komplek sambil mengenang masa lalu mereka.
Alvin dan Retta sedari kecil tumbuh bersama, di sekitaran komplek saja anak yang sepantaran mereka bisa dihitung dengan jari, yang kebanyakan justru anak laki-laki. Di sana anak perempuannya berjarak tiga tahun di atas Retta ada pula yang dua tahun dibawah Retta sehingga dia kurang nyaman main bersama mereka.
Jadilah Retta wanita satu-satunya yang ikut serta bermain bersama para anak lelaki.
Mereka biasa bermain petak umpet di taman, kebetulan di komplek sini ada taman bermain yang cukup terawat, di dekat taman itupun ada lapangan basket yang bisa dipergunakan.
Ketika mereka beranjak remaja, permainan mereka berubah dan lebih sering bermain basket atau sepak bola. Namun jika ingin bermain sepak bola mereka harus berjalan cukup jauh karena terletak di sebuah perkampungan. Dan Retta seperti biasa selalu ikut. Bahkan terkadang dia menjadi kiper.
Namun hal itu tak lantas membuatnya menjadi tomboy seutuhnya karena ada beberapa masa tertentu dia tetap bermain layaknya wanita.
Terkadang teman laki-lakinya itu justru ikut bermain rumah-rumahan dengannya dan seperti biasanya Retta akan selalu menjadi ibu. Sementara teman lelaki yang lain akan bergantian menjadi ayah, anak atau tukang sayur. Yang pasti pada masanya mereka belum mengenal gadget seperti sekarang ini sehingga masa bermain selalu punya kenangan yang indah.
(Flashback)
Alvin ingat saat itu mereka baru kelas dua SMP, Alvin, Retta dan empat teman lelakinya memutuskan bermain basket di lapangan yang berada di taman.
Setelah melakukan hom pim pa, akhirnya Retta ternyata menjadi lawan Alvin. Alvin yang mulai puber merasa ingin menunjukkan kelebihannya di depan para wanita dan berhubung Retta satu-satunya wanita yang dekat dengannya membuat Alvin ingin unjuk gigi di depan Retta dan melihat responnya.
Tapi unjuk gigi yang dimaksud Alvin berbuah fatal, sepanjang permainan tak pernah sekalipun dia mengalah pada Retta, beda dengan teman yang lainnya yang sering menghindari Retta dan tidak ingin bersinggungan tubuh dengan wanita itu.
Alvin justru merebut bola basket dari tangan Retta dengan cara biasa seperti dia merebut dari tangan lawan laki-lakinya. Tak jarang Alvin mem-body Retta, membuat Retta tersisih ke pinggir lapangan. Terkadan Retta hampir terjatuh. Dan malam itu Retta mengirimkan aura mendendam pada Alvin.
Karena diapun bermain secara totalitas. Tak mau kalah pada laki-laki yang sedari kecil tumbuh besar bersama dengannya.
Retta bahkan tak segan-segan menyelengkat kaki Alvin atau menarik tangannya yang penting dia bisa mengambil bola.
Hingga pada suatu kesempatan, teman tim Retta mengoper bola basket pada Retta dari jarak jauh, Retta sudah berancang-ancang ingin mengambilnya, dia melompat tinggi sekali. Adegan seperti slow motion saat itu. Karena Retta yang tidak melihat pergerakan Alvin yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya dan mendorong Retta dengan bahunya, hingga Retta tersungkur dengan posisi lutut terlebih dahulu. Lutut Retta berdarah, dia bahkan menangis karena sakit.
Teman-teman mereka menyalahkan Alvin bukannya langsung menolong Retta. Alvin yang merasa salah dan merasa bodoh karena mengakibatkan Retta seperti ini, langsung meminta temannya untuk membantu Retta naik ke punggungnya.
Sepanjang perjalanan pulang Retta di gendong belakang oleh Alvin, sementara teman lainnya dengan tidak tahu etika malah melanjutkan bermain basket. Membiarkan Alvin dan Retta pulang berdua.
Di perjalanan Alvin merasakan tubuh Retta yang menempel padanya, Retta yang tubuhnya dalam masa pertumbuhan pun tak menyadari kalau Alvin merasakan benda asing menempel di punggungnya. Wajah Alvin memerah menahan malu, dia menutupinya dengan menunduk.
Retta tak peka karena dia lebih memikirkan kesakitan kakinya, bahkan Retta masih tak juga mau berhenti mengeluarkan air mata. Beruntung hari mulai malam saat itu jadi tak banyak warga diluar rumah, mau dikemanakan muka Alvin jika mereka melihat dirinya menggendong Retta yang sedang menangis seperti itu.
"Udah dong nangisnya." Ucap Alvin dengan pandangan masih ke bawah, jalannya sangat pelan. Retta sebenarnya tidak sabar karena Alvin melangkah sangat pelan antara malu dan kesal! Merasa kalau dirinya sangat berat sehingga Alvin kesusahan menggendongnya. Tapi dia tak berniat untuk turun dari gendongan Alvin karena ingin menghukum lelaki itu atas perbuatannya tadi.
"Sakit tau, lo gak tau kan rasanya lagi lompat tinggi di seruduk kayak gitu!" Retta menambahkan pukulan pada bahu Alvin diakhir kalimatnya.
"Iya maaf,"
"Lagian gue kan cewek, lo dari tadi mainnya kasar banget sih sama cewek!"
"Ck!" Alvin hanya berdecih sebal, "Pegangan ntar jatoh tambah sakit!" Alvin membetulkan posisi gendongan Retta yang agak melorot, membuat Retta memeluk lehernya dari belakang.
Wajah Alvin sudah benar-benar merah sekarang, ditambah dia bahkan bisa merasakan hembusan nafas Retta di telinganya. Degup jantung Alvin terasa sangat cepat. Untuk pertama kalinya dia merasa seperti orang yang ingin berlari marathon karena tidak tahu harus apa?
Dia bahkan hanya terdiam saat menggendong Retta di punggung seperti ini. Jakunnya yang baru mulai muncul turun naik. Dia harus menelan salivanya dengan kasar karena rasa tercekat yang berada di tenggorokan.
Alvin bahkan tidak sadar kalau keringat sudah membasahi pelipisnya. Dan ketika dia sudah sampai di rumah Retta, lelaki itu menurut saja ketika Retta memintanya diturunkan di kamar, dia tak protes ketika Retta meminta lututnya dibersihkan dan diberikan betadin. Dan masih terdiam ketika dengan kurang ajarnya Retta memerintahkan dia untuk membuat segelas minuman.
Dan ketika Retta menanyai Alvin yang tiba-tiba lebih banyak diam itu, Alvin menjadi gagap dan memutuskan untuk pulang dari sana.
Hal yang aneh bagi Alvin ketika dia belum tahu rasa tentang cinta. Dan hari itu adalah hari yang paling diingat Alvin seumur hidupnya, hari dimana untuk pertama kalinya dia merasa jatuh cinta, cinta pertama pada Retta, sahabatnya sedari kecil.
***