9. Pengakuan

1599 Kata
9. Pengakuan Rasa itu hadir, bukan karena seberapa lama kita saling mengenal. Dalam satu kedip mata saja, aku sadar hatiku sudah memilihmu. --- Bara melangkahkan kaki memasuki Kafe malam kemarin, di mana dia melihat Anna masuk ke dalamnya. Hanya ingin memastikan bahwa yang ibu-ibu bicarakan pagi tadi adalah bualan. Mana mungkin Anna seberani itu bekerja di kelab, yang menjual kebebasan tanpa batasan. Bara tak bisa membayangkan. Bagaimana jika Anna ...? Ya Tuhan, pikiran Bara kini dipenuhi banyak hal buruk yang hanya tertuju pada Anna seorang. Dia tidak boleh diam saja. Jika benar seperti itu, tanpa diminta pun, Bara akan dengan senang hati merentangkan tangan, untuk menjaga gadisnya. Hm, Gadisnya. Bara harus jujur pada dirinya sendiri. Terutama tentang perasaannya. Tak ingin lebih lama membiarkannya mengambang tanpa kepastian. "Permisi, apa kamu melihat Anna?" Bara bertanya pada seorang pelayan Kafe di balik meja. Setelah matanya lelah memindai Kafe, namun tak juga menemukan sosok Anna. Padahal, malam ini, Kafe itu tidak tampak seramai kemarin. "Anna?" laki-laki di balik meja itu mengulang. Bara mengangguk. "Iya, dia bekerja di sini." Sebelum Bara mendapat sahutan balasan, perhatian lelaki itu tertarik pada segerombolan orang yang masuk ke pintu lain di bagian belakang. Tepat di sebelah pintu toilet, hanya lebih lebar, dua kali lipat. Tanpa kata, Bara melangkahkan kaki mengikuti dari belakang. Kernyitan di dahinya tak kunjung memudar. Hingga akhirnya, dia membuka pintu itu, dan segera disambut riuh. Lampu menyala, bergerak acak menyorot segala penjuru ruangan. Bara tercekat. Bergeming di tempatnya berdiri memandang club, yang menyuguhkan kebebasan. Dia mengutuk bodoh, ketika tertipu dengan tampilan luar Kafe. Bara masuk ke dalam ruangan, menembus orang-orang yang memadati lantai. Bau alkohol, asap rokok dan bisingnya musik juga menjadi bagian yang menyambut kedatangannya. Dia memindai ruangan dengan penerangan temaram itu. Semua meja terisi penuh, bahkan ada beberapa orang, berpasangan -saling menempel, menghentak mengikuti alunan musik yang menggema di atas lantai. Semakin menajamkan penglihatannya, Bara meneliti satu persatu wanita dengan pakaian berseragam. Ada beberapa tengah berada dipangkuan seorang lelaki, menikmati sentuhan lelaki yang menyewanya. Ada juga yang terang-terangan saling cumbu. Bara melenguh. Bagaimana mungkin Anna bekerja di lingkungan malam seperti ini. Bara tidak ingin lebih khawatir dari ini. Semakin ke dalam, Bara tak kunjung menemukan seseorang yang dia cari. Hingga di sudut ruangan, ekor matanya menangkap sosok gadis yang memenuhi isi kepalanya. Teramat dia hafal sosoknya. Dengan sorot mata segarang singa, Bara mengepalkan kedua tangannya, rahangnya mengeras dengan gigi saling bergemelatuk. Langkahnya mantap menuju dua orang yang tampak saling tarik menarik. Seorang laki-laki tengah mencekal lengan Anna, berusaha memepet tubuh gadis itu ke dinding. Sedangkan Anna meronta, berkelit. Tidak ada seorang pun yang peduli, meski ada beberapa yang lewat di dekatnya. "Berengsek!" Bara mendekat, menarik bahu lelaki itu untuk mundur dan melepas cekalannya di lengan Anna. Lalu tanpa hitungan, kepalan tangannya langsung bersarang di tulang pipi lelaki itu. Menghentak tubuh lelaki itu hingga limbung ke belakang. Merasa belum cukup, Bara sekali lagi melempar tinjuan, kali ini pada perut si lelaki. Menulikan telinga ketika lawannya mengerang kesakitan. Berhubung suasana club yang ramai, sedikit keributan tak menarik perhatian pengunjung lainnya. Anna sendiri mematung di tempatnya, tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Bagaimana Bara bisa berada di tempat dia bekerja. Hingga kesadarannya belum sepenuhnya kembali, jemarinya sudah berada dalam genggaman Bara. Mengikuti langkah lebar lelaki itu menerobos kerumunan keluar club. "Kenapa Kak Bara di sini?!" sentak Anna, melepas cekalannya ketika sudah berada cukup jauh dari area club. "Aku harus kembali bekerja." imbuhnya, bersiap menjauh, sebelum jemarinya kembali direnggut Bara. Bara menggertak. "Nggak boleh." Anna tercengang. Bola matanya membulat. "Kenapa enggak? Jam kerjaku belum habis." Bara menatap lekat manik membulat Anna. Dia tahu, gadis itu pasti tengah bertanya-tanya bagaimana dirinya bisa sampai di sana tadi. Juga tentang apa yang baru dia perbuat. "Kamu lupa apa yang hampir menimpamu tadi. Di sana bukan tempat yang cocok untukmu." geram Bara. Masih tidak terima Anna bekerja di sebuah club, ditambah ada pria yang hampir menyentuh gadisnya. Sialan. Sampai di tahap ini, Bara semakin sadar dan yakin untuk memiliki. "Aku bisa menjaga diri. Itu bukan hal besar. Lagi pula, selama ini aku melewatinya dengan baik-baik saja." Anna tidak mau kalah, dia berusaha menarik kembali tangannya. Memang, dia sempat ketakutan tadi. Sebelumnya tidak ada yang berbuat sampai sejauh itu, apalagi hampir menciumnya. Jika tidak ada Bara, mungkin Anna sudah di pojokkan untuk menuruti semua kemauan lelaki bejad itu. Namun, dia juga masih butuh pekerjaan itu. Paling tidak, hingga dia menemukan pekerjaan lain dengan tawaran gaji dan kemudahan tak jauh beda. Dan sampai detik ini, dia sulit mendapatkan pekerjaan selain itu. "Kamu harus keluar dari sana." Bara menekan kalimatnya. Menahan luapan amarah yang membumbung di dadanya. Mengapa ada gadis polos yang dengan entengnya bekerja di dunia malam penuh huru hara seperti itu. Apa yang Bara lihat tadi, mungkin masih sebuah awalan. Lebih dari itu, Bara tak segan membuat jatuh semuanya. "Nggak ada alasan aku keluar dari sana. Memangnya siapa Kakak bisa mengaturku?" Bara memejamkan mata, harusnya kali ini dia jujur pada gadis manis di hadapannya. Untuk membungkam bibir yang gencar membantahnya itu. "Karena aku mencintaimu. Oleh karena itu, aku tidak ingin melihatmu kembali ke sana." kalimat itu, pada akhirnya terurai begitu mudah melewati celah bibir Bara. Membuat Anna menegang di tempatnya, bibirnya menganga dengan mata membundar. Dia tidak percaya. Tentu saja. "Jangan bercanda Kak." Bara menggeleng, tersenyum lembut dan memperbaiki genggaman tangannya. Semakin melekatkannya pada jemari kecil Anna. "Untuk masalah perasaan, aku tak pernah sebercanda itu ...." Anna mengibas tangannya. Emosinya menghentak tanpa permisi. "Aku nggak percaya cinta. Cinta itu omong kosong." teriaknya tertahan. Salah jika Bara sempat berpikir Anna akan menyambut cintanya dengan gegap gempita. Gemuruh d**a yang meletupkan bahagia. Karena ketika kalimat itu keluar dari bibir Anna, Bara justru mendecap lirih. Resiko jatuh cinta pada gadis belia saat dia sendiri sudah teramat dewasa. Ya seperti itulah. Dan mungkin, ke depannya bukan sekadar kalimat-kalimat seperti itu yang akan Anna teriakkan padanya. "Cinta itu indah Anna, cinta itu keajaiban," Bara melirih, lembut dan merdu. Tak gentar sedikitpun untuk sambutan penolakan yang Anna beri. Tidak percaya cinta itu sudah jelas membuktikan, jika gadis itu tak memiliki perasaan sedikitpun padanya. Anna menggeram. "Omong kosong." Sesaat, kobar amarah di mata Anna, membuat Bara ingin tertawa. Lucu sekali. Ingin menertawakan dirinya juga, sejujurnya. Kok bisa, jatuh cinta sedemikian rupa, dan tidak merasa sakit hati meski Anna melontarkan penolakan telak padanya. "Kamu hanya belum pernah merasakannya. Coba deh, sekali aja cinta menyambangi hatimu," sabar, Bara bersikap seolah tengah menggurui. Memberi penjelasan pada adiknya yang tak tahu pelajaran. Menggelengkan kepala, Anna mengukir senyuman getir. "Mungkin Kakak lupa, kita baru kenal tidak sampai satu bulan." "Jangankan satu bulan. Malam di mana kamu membawaku ke rumahmu saja, aku sudah jatuh cinta." kekeh Bara, hilang sudah segala amarahnya. "Oh, bahkan dalam satu kali kedip mata, aku sadar hatiku memilihmu." Anna mendelik. Kehilangan kata ketika kalimat itu bergulir begitu mudahnya. Sejak malam itu, dan Bara menyimpannya begitu cerdas. Bersikap sederhana, seperti seorang kakak pada adik perempuannya. Bersikap seolah tidak menyimpan perasaan apa pun. Dada Anna bergemuruh tidak beraturan. Tidak mempercayai segala pernyataan yang Bara ungkapkan. Masih belum masuk di akalnya. Anna menarik napas panjang, sebelum memuntahkan kalimat nyelekit berikutnya. "Umurku 19 tahun, dan Kakak dua puluh delapa--" "Dua puluh sembilan." potong Bara cepat, tersenyum geli. "Ya ...! Dua puluh sembilan. Tidakkah rentang jarak itu, membuat cinta mustahil." Anna menjerit. Maniknya menghujam mata Bara yang selalu menyorot teduh padanya. Anna sungguh tidak ingin seperti ini. Tidak ada cinta di tengah-tengah kehidupannya justru akan membuat hidupnya lebih tenang. "Dalam cinta, perbedaan usia bukan halangan." Bara menyanggah, tidak lembut, tidak juga datar. Berusaha santai namun juga serius. "Cinta datang tanpa alasan Anna. Rasa itu hadir dengan sendirinya, menumbuhkan secercah harap dalam luasnya angan." Menghadapi Anna yang belum pernah merasakan cinta, Bara haruslah luar biasa melonggarkan d**a. Dia pengertian, sangat memahami bagaimana Anna. Sejujurnya, dia pun ingin membiarkan keadaan mengalir biasa saja. Namun, melihat Anna yang dipojokkan. Hampir dijamah secara paksa dan dilecehkan sedemikian rupa. Amarah Bara menggelegak. Tidak terima jika gadis tercintanya diperlakukan seperti itu. Dan, berakhirlah dia yang menyatakan cinta dalam keadaan tak terduga. Menggeleng dalam keterpanaan. Anna tidak mempunyai kalimat balasan. Cinta seperti apa yang Bara suguhkan. Menyerah, Anna membalikkan tubuh dan berjalan menjauh. Pulang. Dia tidak mungkin kembali ke club. Tak peduli juga, dengan tasnya yang ditinggal. Dengan langkah lebar, dan rahang terkatup, Anna terus saja melangkah. Meninggalkan Bara yang berada beberapa langkah di belakangnya. Anna tidak ingin membicarakan cinta, untuk malam ini, atau pun seterusnya. Kata cinta sendiri baginya hanyalah pembodohan. Dia sudah berulang kali dicekoki kata cinta itu oleh kedua orang tuanya. Namun, apa hasilnya. Kedua orang tua yang katanya mencintai dirinya tetap saja meninggalkannya. "Anna, aku serius dengan ucapanku." Bara mencekal lengan Anna. Membalik paksa tubuh gadis itu untuk menghadap dirinya. Bara hanya ingin meyakinkan, jika apa yang dia rasakan tidaklah main-main. Dia sudah siap untuk ditolak, namun tak akan pernah menyerah untuk melepaskan. Dia lelaki dewasa, yang tampak mudah mengumbar cinta. Namun, lebih dari apa pun, cinta untuknya adalah sepotong rasa dengan jutaan makna yang tidak semudah mereka dengar. Bara memiliki banyak pertimbangan. Karena cintanya pula, tidak semurahan itu. Anna geram. Matanya kembali nyalang, siap meledak. "Sebaiknya Kak Bara cari tempat lain, jika masih membicarakan cinta denganku." Bara tercekat. Melepas cekalan dan membiarkan Anna melangkah melewati pagar rumah. Gadis itu menghentikan langkahnya dan meminta kunci rumah darinya. Bara menyerahkannya tanpa kata, dan melepas Anna untuk menghilang di balik pintu. Beberapa detik lalu, Bara melihat mata Anna yang menyiratkan amarah dan kesedihan secara bersamaan. Itu bukanlah hal yang Bara perkirakan. Dia tidak ingin membebani Anna, dan menyakiti gadis itu. Bara baru merasakannya. Baru menggenggam apa itu cinta di dalam hatinya. Dan bertekad ingin membuat Anna merasakan yang sama dengannya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN