Bab 11. Tegang

1266 Kata
"Ehem ... Ehem ...!" suara orang berdehem mengagetkan kami. Kami menoleh secara bersamaan. Mas Rizki? Dia berjalan mendekat ke arah kami. "Maaf pak, saya mau bicara sama istri saya," ujar Mas Rizki, ekspresi wajahnya terlihat tidak suka. "Istri? Bukankah kalian sudah berpisah?" sela Mas Hasbi. "Kami belum resmi bercerai, pak. Jadi kami masih sah suami istri," jawab Mas Rizki lagi penuh penekanan. Ia menarik tanganku menjauh dari Mas Hasbi. Mas Hasbi hanya terdiam dan memandang kami dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa sih kamu sering datang ke kantor?" tanyanya bersungut-sungut kesal. "Kamu gak lihat mas, aku sedang bekerja?" "Bekerja atau menggoda pria lain? Ingat ya, kamu ini masih istri sahku!" Deg! Mas Rizki setega itukah memfitnahku? "Astaghfirullah aku gak sepicik kamu, mas! Aku sedang bekerja, mengantarkan pesanan." "Berapa? Kamu butuh berapa? Apa kamu benar-benar sudah kekurangan uang sampai rela melakukan hal memalukan seperti ini?" tanyanya lagi. "Memalukan? Tidak, aku tidak malu, aku melakukan pekerjaan halal, untuk apa aku malu?" "Katakan berapa maumu? Akan kutransfer sesuai keinginanmu, tapi ingat, tidak usah bekerja seperti ini lagi!" "Tidak, aku tidak memerlukan uangmu! Aku bisa memenuhi kebutuhanku sendiri." "Oh, berarti benar dugaanku kau kesini karena ingin menggoda mantanmu lagi, iya kan? Kau tidak tahu mantanmu udah punya istri? Bisa-bisa kau dianggap sebagai perebut suami orang!" cerca Mas Rizki. Deg! Kenapa Mas Rizki menghinaku seburuk ini? Rasanya begitu sakit. Dan sisi lain hatiku ikut bertanya-tanya, benarkah sekarang Mas Hasbi sudah menikah? "Tidak! Aku tidak murahan seperti kamu, yang tega mengkhianatiku dibelakang." "Dasar wanita tidak tahu diri! Sudah berani kamu sekarang!" bentaknya kasar. Mas Rizki melayangkan tangannya hendak menamparku. Tapi tiba-tiba sebuah tangan menghalanginya. "Hei bung, jangan bersikap kasar pada wanita," tukasnya sambil menurunkan tangan Mas Rizki. "Tolong bapak jangan campuri urusan rumah tangga kami!" timpal Mas Rizki dengan nada memendam amarah. "Ini menjadi urusanku, karena terjadi di depan mataku. Bukankah dia istrimu? Kenapa kau mau menyakitinya? Punya istri itu seharusnya dilindungi bukan disakiti," jawab Mas Hasbi dengan tatapan tajam. Kenapa sih dengan dua lelaki ini? Tatapan mereka seakan terbakar cemburu. Segera kutinggalkan mereka yang sedang bersitegang tanpa pamit terlebih dahulu. "Nadia, tunggu Nadia!" suara teriakan Mas Rizki memanggilku. Kupacu sepeda motorku dengan cepat. Dadaku bergemuruh hebat. Sakit dan kecewa bercampur aduk jadi satu. Tega-teganya Mas Rizki menuduhku yang bukan-bukan. Aku benar-benar tidak tahu kalau Mas Hasbi juga bekerja disana. Memangnya aku punya mata batin? Sudah kukatakan kalau aku hanya mengantarkan pesanan, tapi dia tak percaya sampai menuduhku yang buruk. Seolah aku yang bersalah disini. Mas Rizki, sungguh aku benciiiii, kenapa ada lelaki seperti ini dalam hidupku. Semaunya sendiri dan ingin menang sendiri. Kenapa dia sangat berbeda, tidak seperti yang kukenal dulu, lembut dan penuh perhatian. Sejak hadirnya Keysha, dia telah mengubah suamiku. Mengubah segalanya hingga menghancurkan rumah tanggaku. *** Kuparkir sepeda motorku di depan rumah. Rasanya begitu lelah, mudah-mudahan suatu saat aku bisa merekrut orang lain sebagai kurir. Agar meringankan pekerjaanku lagi. "Mbak, kenapa matanya merah?" sapa Mbak Sarni yang memperhatikanku. "Tidak apa-apa mbak, tadi cuma kelilipan dijalan, kalian sudah makan?" "Belum, kami nunggu kamu pulang mbak." "Ya sudah, ayo ayo pada makan dulu. Mak Piah, Mbak Sarni, anak-anak ayo pada makan dulu," ajakku lagi. Mak Piah dan Mbak Sarni menyiapkan makanan, kami makan lesehan di lantai dengan menggelar tikar, lebih sedap kata mereka. Rumahku pun terlihat lebih hidup dengan suara berisik dua anak Mbak Sarni yang diajak ikut kesini. Membuat angan-anganku melayang, andai saja aku punya anak, pasti akupun tidak kesepian seperti ini. "Mbak, boleh gak kalau saya minta nasi dan lauknya untuk anak-anak yang di rumah?" tanya Mbak Sarni menghenyakkanku. "Iya tentu saja boleh, ambil saja mbak, kasihan ya anak-anak belum pada makan." "Terima kasih banyak ya mbak, terima kasih banyak," sahut Mbak Sarni. Seusai makan dan membereskan semuanya, Mbak Sarni izin pulang untuk mengantarkan makanan itu pada anak-anaknya. Aku hanya bisa tersenyum getir, hatiku begitu teriris, dia berjuang sendirian untuk anak-anaknya. Insyaallah aku akan mengikuti semangatnya yang tidak gampang menyerah. Tak berselang lama, Mbak Sarni datang. Kami kembali bergelut dengan pesanan kue serta nasi box. Beruntung anak-anak Mbak Sarni bisa main sendiri, mereka pun seakan mengerti ibunya sedang sibuk bekerja. Karena konsentrasi kami, tak terasa waktu sudah menunjukkan angka lima sore. Alhamdulillah semua kelar tepat waktu. Pesanan itu diambil oleh anak pemilik hajat. Akupun segera membayar Mak Piah dan Mbak Sarni serta memberikan kelebihan makanan tadi untuk mereka bawa pulang. "Mbak, besok-besok kalau ada pekerjaan jangan lupa hubungi saya ya mbak," ujar Mbak Sarni dengan senyum mengembang. "Iya nduk, jangan lupa emak juga ya nduk," sahut Mak Piah. "Iya, iya Mak, mbak, insyaallah ya, doakan saja biar banyak pesanan lagi," sahutku. Mereka mengangguk sambil tersenyum lalu berpamitan pulang. Kondisi dapur sudah rapi dan bersih seperti semula. Begitupun dengan lantai rumah, tadi Mbak Sarni sempat mengepel lantai. Aku duduk di sofa dengan badan menyender, sekedar untuk meluruskan pinggang dan kaki. Suara deru mobil terdengar memasuki halaman. Ah siapa yang datang? Batinku bertanya sendiri. Tok ... Tok ... Tok ... Suara ketukan pintu terdengar keras. Dengan langkah malas aku segera membuka pintu. Mas Rizki yang ada di depan pintu tiba-tiba masuk dan langsung memelukku dengan erat. "Dek, mas kangen padamu. Tolong maafin mas, dek. Mas khilaf, mas punya banyak salah padamu. Tidak seharusnya mas bersikap seperti itu," ungkapnya dengan nada bergetar. Netranya nampak berkaca-kaca. Entahlah dia pura-pura atau sungguh-sungguh, aku tak bisa membedakannya. Rasa sakit ini yang membuatku tak gampang percaya padanya lagi. Dia masih mendekapku dengan erat hingga tidak menyisakan ruang untuk aku bergerak. Kenapa dia tiba-tiba seperti ini? Tadi siang saja dia masih terlihat angkuh? Apa ada hubungannya dengan Mas Hasbi? "Tolong lepaskan aku, mas," jawabku. "Tidak, sebelum kamu maafkan mas." "Mas, nafasku sesak, apa kamu ingin membuatku mati?" Mas Rizki perlahan merenggangkan pelukannya. Namun tangannya masih melingkar di pinggangku. Seolah-olah aku tidak boleh pergi. "Dek, tolong maafin mas, berikan mas satu kesempatan lagi, mas janji akan bersikap lembut dan baik padamu," ungkapnya lagi. Dia membelai lembut pipiku. Lidahku terasa kelu, rasanya tak mampu bersuara. Haruskah aku memaafkan lelaki pengkhianat? "Kamu mau kan maafin mas lagi? Mas akan kembali padamu. Mas akan memperlakukanmu dengan baik," ujarnya lagi. Kini kedua tangannya membingkai wajahku. "Kenapa kau seenaknya bilang seperti itu, mas? Lalu Keysha, bagaimana dengan Keysha?" "Mas akan melepaskannya, dan kembali padamu." "Jadi kamu akan lepas tanggung jawab setelah Keysha hamil?" tanyaku. Tapi memang aku belum yakin siapa ayah yang dikandung Keysha apakah Mas Rizki? Atau pemuda itu? Dia melepaskan tangannya dari wajahku. Lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Kau tahu dari mana Keysha hamil?" "Aku menemukan bungkus testpack di kamar Keysha. Jadi benar bukan, Keysha hamil?" tanyaku dengan hati teriris perih. "Kita akan merawat anaknya, okey. Aku tidak bisa kehilanganmu, dek!" "Mas, kami seorang wanita, bukan boneka yang seenaknya saja diperlakukan tidak adil tanpa perlawanan. Kau sudah menodai keponakanku, mengkhianati kepercayaanku. Lalu seenaknya saja minta kembali padaku? Apa kamu masih waras?" Dia terdiam. "Lalu setelah Keysha hamil, kau akan meninggalkannya begitu saja? Hatiku benar-benar sakit, mas. Kalian sudah berhubungan sejauh itu! Tolong ceraikan aku mas." "Tidak, dek. Mas tidak akan menceraikan kamu. Mas tidak ingin berpisah denganmu." Aku menyeringai getir. Laki-laki gak ada akhlak, rakus dan serakah. Tidak mau hidup hanya dengan seorang wanita. Keputusanku tidak salah, sudah melayangkan gugatan ke pengadilan. Semoga saja prosesnya cepat agar aku bisa lepas darinya. Braaakk...! Pintu didorong dengan paksa. "Jadi benar, om ada disini?!" teriaknya dengan kesal. Gadis itu memanyunkan bibirnya. Dia menggamit lengan Mas Rizki lalu membawanya keluar. Keysha sempat melirik ke arahku dengan tatapan tidak suka. Hah, dasar gila! Dia tidak punya sopan-santun padaku. Tanpa perlawanan, Mas Rizki mengikuti Keysha seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. "Keysha gak suka ya, om datang lagi ke tempat Tante Nadia. Ingat om, kita akan segera menikah!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN