Bab 9. Merintis Usaha Baru

1321 Kata
Aku tak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Kini, saatnya aku bangkit. Balas dendam? Tidak, bukan itu yang akan kulakukan. Untuk apa aku mengotori tanganku dengan balas dendam. Aku yakin semua akan terbalaskan suatu saat nanti. Yang akan aku lakukan hanya membuktikan pada suamiku, bahwa aku bukan perempuan lemah, yang merengek meminta bantuan untuk dikasihani. Oh, tidak. Akan kubuat suamiku menyesal dengan cara yang elegan. Ya, caranya aku harus menjadi wanita sukses, justru lebih sukses dari dia. Meskipun awal-awal pasti akan ada banyak halangan dan rintangan, tidak, sekali lagi aku tidak akan menyerah. Air mata ini terlalu mahal untuk menangisi lelaki pengkhianat seperti dia. Saat itu tatapannya yang penuh ejekan, serta memandang rendah aku yang seorang ibu rumah tangga. Seolah aku tidak bisa hidup tanpa nafkah darinya, itu yang membuatku semakin sakit. Baiklah mas, ayo kita buktikan, hidup siapa yang akan lebih bahagia. Aku atau kamu? Aku sudah mengurus sertifikat tanah dan surat-surat motor untuk balik nama atas namaku. Ya, sebenarnya kami punya motor, tapi jarang dipakai karena Mas Rizki lebih suka naik mobil. Sedangkan aku jarang keluar. Dan Keysha lebih sering diantar jemput oleh suamiku, maksudnya calon mantan suami. Aku juga sudah melayangkan gugatan cerai ke pengadilan. Beruntung, Mirna membantuku mengarahkannya. Diapun bersedia menjadi saksi. Aku tinggal menunggu panggilan sidang, aku yakin Mas Rizki tidak mungkin datang saat panggilan itu datang. Justru itu akan mempercepat proses pengadilan, bukan? Oh iya, waktu itu ada seorang pemuda mencari Keysha, aku sangat yakin itu pacarnya karena dia terlihat gugup saat menjawab pertanyaanku. Ah tapi aku sudah tak peduli dengan mereka, aku tak ingin mencampuri urusan mereka lebih dalam lagi. Kubilang saja Keysha tinggal bersama calon suaminya. Kekecewaan terlihat jelas pada wajahnya. Terserahlah itu urusan mereka bukan urusanku. *** Hari ini aku memulai usaha baru, berjualan makanan, dan bisa Delivery Order, serta aku juga menerima pesanan catering. Untuk awal usaha aku hanya membuat beberapa porsi. Menu masakanpun belum banyak, ayam geprek sambal penyet. Sementara pemasaran dilakukan secara online dulu, karena aku belum punya tempat sewa. Kuiklankan usahaku lewat f*******:, aku yakin Allah pasti akan memberiku jalan rezeki dari arah yang tidak terduga. Masakan sudah selesai tepat jam setengah sebelas siang, ya, sedari pagi aku sudah berjibaku dengan aktivitas memasak. Setelah tadi membuat satu sample untuk difoto dan dipromosikan ke sosial media. Tetiba ada sebuah pesan masuk lewat messenger. [Apakah ini masih ada?] tulisnya dalam pesan itu. Tertera nama Andin disana. Biarpun baru bertanya seperti ini, sudah membuat senyumku mengembang. [Masih] [Berapa satu porsi? Bisa DO?] [Murah mbak, harga promo hanya dua puluh ribu saja dapat nasi box dan teh p*cuk. Bisa DO mbak, asal masih dalam jangkauan kami] [Baik, bisa antarkan ke PT Mekar Jaya Abadi? Buat makan siang nanti?" PT Mekar Jaya Abadi? Bukankah itu tempat kerja Mas Rizki? Ah biarlah, kenapa aku merisaukan hal ini! Aku harus bersikap profesional. [Bisa mbak, mau berapa porsi?] [Tunggu sebentar ya, saya tanya teman-teman lain barangkali mau ikut pesan] [Baik, mbak] Tak berselang lama, mbak Andin itu kembali mengirim pesan di messenger. [Mbak, pesan ayam gepreknya 10 porsi untuk makan siang nanti. Alhamdulillah ini teman-teman pada mau termasuk si bos. Nanti hubungi saya di nomor ini ya mbak 081xxxxx kalau sudah sampai di loby, atau tanyakan saja sama CS yang ada disana. Biar dia yang hubungi aku. Bilang saja Andin, begitu ya] [Siap, mbak] [Oke] Rasanya bahagia, mendapatkan orderan pertamaku. Segera kukemas nasi beserta lauk itu ke dalam kotak. Lalu menyertakan kartu nama yang menjelaskan bahwa kami menerima pesanan catering makanan dan juga snack box. Akupun mengantarkan pesanan itu sendiri menggunakan motor, memakai keranjang seperti seorang kurir yang mengantarkan paket. Kali ini semuanya kukerjakan semuanya sendiri, biarpun merepotkan tapi aku bahagia. Dan aku yakin suatu saat aku bisa memperkerjakan orang-orang. Doakan saja agar banyak pesanan yang masuk. Aamiin. *** Pukul 11.50 WIB, aku sudah sampai di tempat parkir PT Mekar, segera kukeluarkan nasi box itu dan menentengnya menuju ke kantor. Aku berjalan dengan sangat hati-hati karena takut nasi-nasi ini tumpah meskipun sudah kuikat pakai tali rafia dan juga pakai kresek besar untuk membungkusnya. Dug! Seseorang menyenggolku hingga aku terhuyung mundur. Beruntung nasi box ini tidak tumpah dan tidak lepas dari genggamanku. "Kalau jalan lihat-lihat dong!" Deg, suara yang sangat kukenali. Dia bersungut-sungut kesal sambil menepuk nepuk pundaknya seperti ada kotoran yang menempel. Dia menoleh dan menatapku tajam. "Oh, ternyata kau, Nadia?" Dia memandangku dari atas ke bawah lalu beralih melihat tentengan yang kubawa. Dia tersenyum masam. "Kau sudah kekurangan uang sekarang? Sampai-sampai jualan seperti ini?" ejeknya dengan sinis. Aku terdiam, ingin sekali kubungkam mulutnya dengan sambal yang aku buat, tapi ini tempat umum, aku tidak ingin mempermalukan diriku sendiri. Aku berlalu begitu saja lalu menuju ke loby. Beruntung Mbak Andin ternyata sudah menungguku disana. Kuserahkan semua pesanan kepadanya, dia membayarku dua lembar uang seratus ribuan dan selembar uang dua puluh ribu, katanya untuk ongkos kirim. Mbak Andin meminta bantuan office boy untuk membawa pesanannya ke atas. "Terima kasih ya mbak," ucapku. "Iya, sama-sama mbak. Insyaallah ini kalau rasanya enak, kami pasti bakal pesan lagi," ujar Mbak Andin. "Alhamdulillah, baik mbak, saya permisi." Kulangkahkan kaki keluar dari gedung perkantoran itu. Tapi rupanya, lelaki itu masih berdiri di tempat kami bersinggungan tadi. Aku melewatinya begitu saja, tapi dia menarik lenganku. "Tunggu, dek," cegatnya. Dia berdiri tepat di hadapanku. "Kau yakin tidak mau kembali denganku? Kamu tidak perlu bersusah payah seperti ini lho!" ujarnya lagi terkesan mengejek. Aku tersenyum kecut. "Aku sangat yakin, apa kamu belum move on dari aku?" balasku menyindir. Kutinggalkan dia begitu saja. *** "Dengan Nadia Catering?" sapa suara dari seberang telepon. "Ya benar, saya sendiri," sahutku. "Bisakah pesan catering untuk acara keluarga? Tidak banyak sih, hanya 25 pcs box saja." "Bisa mbak, untuk kapan?" "Besok sore, bisa? Biar bisa untuk makan malam keluarga." "Insyaallah, bisa mbak." "Ayam bakar saja ya, mbak. Sambalnya dipisah." "Baik, mbak." "Oke, nanti saya kirim alamatnya lewat pesan. Jam lima sore atau paling lambat jam setengah enam sore ya, soalnya buat buka puasa adikku biar kita bisa makan bersama-sama," ucapnya lagi. "Baik, mbak." "Oke, terima kasih. Assalamualaikum." "Waalaikum salam." Tut ... Tut ... Panggilan telepon itupun terputus. Tak berselang lama nomor itu mengirimkan sebuah alamat yang harus kuantarkan besok. *** Pagi-pagi sekali sebelum subuh aku berangkat ke pasar untuk berbelanja ayam dan sayuran untuk lalapan serta cabai dan bumbu-bumbu yang lain. Selain mendapatkan pesanan 20 box untuk sore nanti, aku juga mendapat pesanan dari Mbak Andin. Dia kembali memesan 10 box untuk istirahat siang nanti. Senyumku mengembang sempurna. Aku merasa bahagia, akhirnya kesibukanku membuat aku tak berlarut-larut dalam kesedihan. Sedari pagi aku sudah sibuk memasak di dapur. Di rumah sendirian, tidak ada yang mengganggu rasanya begitu nyaman, tidak ada yang menegur kalau rumah berantakan dan lain sebagainya. Siang itu seperti kemarin, aku mengirimkan nasi box pesanan Mbak Andin, dia memujiku kalau masakanku enak jadi pada pesan lagi. Beruntung aku tidak bertemu dengan lelaki pengkhianat itu. Ya, aku tidak mau terus-menerus bertemu dengannya. Rasanya sudah sangat muak. *** Sore harinya, setelah masakanku selesai segera aku mengantarkan pesanan itu ke alamat tujuan. Meskipun sedikit kerepotan karena pesanan ini cukup banyak buatku. Untungnya bisa sekali angkut dengan motorku. Sepanjang perjalanan aku selalu berdoa agar selamat sampai tujuan. Merintis usaha baru, tidaklah mudah, memang butuh perjuangan. Kompleks Griya Harum Residence Blok C no. 59. Alamat yang dikirimkan yang pesan, bukankah itu sebuah komplek perumahan elit? Jalanan menuju kompleks perumahan terlihat sepi. Namun tanaman bunga di sisi kanan dan kiri berwarna warni sungguh memanjakan mata. Selain bunga, ada juga tanaman hijau lain. Sedangkan di tengah-tengah jalan dibatasi taman yang ditumbuhi tanaman pucuk merah. Semuanya terlihat sejuk. Akhirnya sampai juga di rumah tujuan. Dua mobil mewah terparkir disana. Aku segera memencet bel, takutnya mereka menunggu lebih lama. Karena waktu sudah lewat dari jam lima sore. Selang beberapa menit, pintu itu mengayun terbuka. Aku segera meraih kertas nota yang tadi kusimpan di saku jaketku. "Silahkan ini pesanannya," ujarku sambil sibuk mendekatkan nasi box ke depan pintu. Aku mendongak, namun rasanya diriku menjadi beku, terkejut sekaligus tertegun melihatnya berdiri di hadapanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN