Bab 7. Kita Putus!

1240 Kata
POV Keysha "Kita putus!!" tegasku yang membuat dia tersentak. Ia yang semula berjibaku dengan handphonenya, main game online, langsung beralih menatapku dengan pandangan penuh tanya. "Apa maksudmu, Key?" "Kamu gak dengar? Kita putus!!" "Tapi Key, tunggu...!" Ia masih mencegah langkahku dengan mencekal pergelangan tanganku. "Apa?" Aku masih bersikap ketus padanya. "Kenapa tiba-tiba kamu mengajakku putus? Apa salahku?" Aku tak menanggapinya dan berlalu begitu saja meninggalkannya. "Key, tunggu Key ...!" teriaknya mengejarku. "Kamu gak dengar? Kita putus! Mulai hari ini aku gak mau jadi pacarmu lagi!" "Tapi kenapa? Apa salahku?" "Introspeksi sendiri kenapa aku minta putus dari kamu!" Ia terpaku, mungkin dia tak menyangka aku akan mengakhiri hubungan ini. Aku segera menaiki mobil Om Rizki yang sudah menungguku di parkiran. Yup, Om Rizki sudah menungguku sedari tadi. "Mau jalan-jalan kemana?" tanya Om Rizki sesaat setelah aku naik ke mobilnya. "Terserah om saja, aku ikut," jawabku sambil terus menatap layar handphone. Segera kublokir nomor mantan pacarku agar dia tak lagi menghubungiku. Lagi pula dia pasti akan sibuk dengan game onlinenya dari pada memberi perhatian padaku. Ya, kegilaannya terhadap game online sampai dia lupa waktu membuatku muak. Aku tak dianggapnya sebagai pacar ataupun kekasihnya. Sekalinya mengajak jalan, dia hanya membawaku ke warnet, main game lagi bersama teman nongkrongnya dan aku dicueki. Aku menghela nafas dalam-dalam, menguburkan semua kenangan bersamanya. Sebenarnya beberapa kali dia bersikap manis padaku, hingga aku terbuai karenanya. Namun akhir-akhir ini dia begitu sibuk, dia bilang ada kompetisi game. Menyebalkan! "Kamu kenapa, Key?" tanya Om Rizki begitu perhatian. Aku memandang kearahnya, biarpun umurnya sudah kepala tiga tapi pesona wajahnya tidak luntur. Om Rizki masih terlihat tampan, ditambah pekerjaannya yang mapan, iapun menuruti semua permintaanku. Pastilah gajinya sebagai seorang manager sangat besar. Tetiba rasa ingin memiliki begitu besar. Tante Nadia pasti sangat beruntung memiliki suami seperti Om Rizki. "Key, ditanya kok malah bengong? Kamu kenapa?" "Emmh iya om, aku baik-baik saja," jawabku agak gugup. "Benar gak apa-apa?" "Iya, om," jawabku lagi dengan nada manja. Senyuman manis selalu terukir dari bibirku. Aku gak mau Om Rizki tahu kalau aku sudah punya pacar, untunglah sekarang aku sudah putus *** Perutku terasa mual akhir-akhir ini, rasanya seperti masuk angin, bahkan aku sudah sampai meminum tolak angin tapi tak ada bedanya, rasanya tidak kunjung sembuh. Aku ingat dari bulan lalu aku belum datang bulan. Badanku gemetar dengan jantung yang berdebar-debar tak tentu. Jangan-jangan, jangan-jangan aku hamil? tanyaku pada diriku sendiri. Kalau Tante Nadia tahu dia pasti bakal marah besar. "Om, Keysha telat datang bulan, gimana nih?" Mobil yang dikemudikan Om Rizki, direm mendadak. Dia menoleh kearahku dengan tatapan tak percaya. "Yang benar Key?" "Iya, Om," jawabku takut. Aku gak yakin ini anak siapa. Tapi dengan terpaksa kukatakan ini pada Om Rizki, dia calon yang terbaik untuk bapaknya anakku. Bila memang benar aku positif hamil. Kalau bersama Andhika, mana mungkin dia bisa jadi suami yang bertanggung jawab. Pekerjaannya hanyalah main game, game dan game. Pikiranku sudah berkelana tidak jelas. Kalut. "Kita mampir ke apotek, beli testpack," sergah Om Rizki mengagetkanku. Aku hanya mengangguk. Tak berapa lama, mobil dihentikan di depan Apotik Jaya Farma. "Kamu tunggu disini, biar om yang beli," ucap Om Rizki, kemudian turun. Tak lama dia pun kembali membawa alat tes kehamilan itu. "Om, kalau hasilnya positif gimana?" tanyaku dengan nada bergetar. "Bagus dong, om akan segera menikahi kamu," jawab Om Rizki dengan mantap. "Benar?" "Iya." "Lalu Tante Nadia gimana?" "Kita pikirkan nanti. Yang penting tahu hasilnya dulu. Apapun hasilnya kamu harus kasih tahu om, oke?" "Iya, om." "Kalau Tante Nadia tahu hubungan kita bagaimana, Om?" "Kita katakan yang sebenarnya, bahwa kita saling mencintai. Om juga gak tahan menyimpan rahasia ini lebih lama lagi. Lebih baik berterus terang, kan?" "Tante Nadia pasti akan marah!" sanggahku lagi. "Marahnya tidak akan lama, dia pasti akan mengerti dan menuruti permintaan om. Kalian tetap bisa hidup berdampingan, jadi kedua istriku. Aku akan menyayangi dan memberi nafkah kalian dengan adil. Jangan khawatir, kamu tidak akan kekurangan," terang Om Rizki meyakinkanku. Akan kuterima semua keputusan Om Rizki. Aku bingung harus bagaimana lagi. Lagi pula selama ini Om Rizki yang sudah membiayai kuliahku dan memenuhi semua kebutuhanku. Meskipun awal-awal tinggal bersama Tante dan om ku, aku merasa tidak enak, namun Tante Nadia selalu membujukku. Dia yang selalu meyakinkanku kalau aku akan baik-baik saja tinggal bersamanya. Ya, aku tak punya sanak saudara lain selain Tante Nadia sepeninggal ayah dan ibu. Beruntungnya aku, Tante Nadia begitu menyayangiku dengan tulus. *** Awal masuk kuliah, aku masih jadi anak teladan, tiap hari belajar, aku harus membuktikan pada tante, kalau aku gadis yang pintar, jadi tidak sia-sia mereka menguliahkan aku. Hingga menginjak semester ke empat, aku mulai terbawa pergaulan dengan teman-teman. Seringkali teman-teman mengajakku jalan-jalan atau kemping. Aku jadi ingin mencobanya. Dan disana aku berkenalan dengan seorang pemuda yang membuat hatiku berdesir aneh. Entah dari mana awalnya akupun bingung, semakin hari, pemuda itu mendekatiku. Dia memberiku perhatian penuh cinta. "I love you, Keysha. Mau kah kamu jadi pacarku?" dia menyatakan perasaan cintanya di depan teman-temanku. Rasanya sungguh malu, karena ini kali pertama aku merasakan jatuh cinta. "Ciee... Cieee..." sorak sorai teman-temanku memenuhi telinga, membuat wajahku tersipu. "Pilihlah bunga mawar merah ini kalau kamu menerima cintaku. Tapi kalau kamu menolaknya kamu bisa memilih bunga mawar kuning ini," ungkap Andhika sambil tersenyum lembut. Menurutku dia sangat romantis. Aku celingukan kesana kemari. "Terima! Terima! Terima!" teriak mereka kompak sambil bertepuk tangan. Aku dan Andhika sudah seperti pasangan romantis dalam drama, mereka mengelilingi kami hingga membentuk sebuah lingkaran. Jarakku dengan Andhika cukup dekat. Mendadak Andhika berlutut di depanku dan meraih tanganku. Aku gugup luar biasa, tanganku gemetaran. "Aku janji akan membuat hari-hariku lebih berwarna," ungkapnya lagi yang disambut tepuk tangan riuh teman-temanku. Ada yang bersiul bahkan berteriak histeris. "Cuiitt cuiitt..." "Terima! Terima! Terima!" teriak mereka kompak seperti paduan suara. Andhika masih menatapku penuh harap. Akhirnya kuambil bunga mawar warna merah itu sebagai tanda aku menerima pernyataan cintanya. Mereka bertepuk tangan dengan riuh, tanpa segan Andhika memelukku dengan erat, menambah keriuhan mereka. Jadi malu aku dibuatnya. "Uwuuuw, ada pasangan baru nih, traktir traktiiir ...!" ujar mereka riang gembira. Andhika, menurutku dia pemuda yang sangat tampan. Mungkin karena aku sedang terserang virus merah jambu, dalam pikiranku dan bayanganku hanya ada dia seorang. Hari-hariku bersamanya kami lewati begitu indah, menurutku dia pacar yang baik dan juga romantis. Awal-awal berpacaran aku diajak keliling jalan-jalan, aku benar-benar merasa diperhatikan. Andhika seorang pria yang sangat istimewa di hatiku. Sore itu, kami pulang berjalan-jalan dengan motornya. Kebiasaan dan hobi kami yang suka mendaki, seringkali aku diajak jalan-jalan ke bukit atau puncak yang jaraknya cukup jauh. Cuaca hari ini begitu mendung, tiba-tiba hujan ringan mulai menitik disertai gemuruh yang menggelegar. Andhika menepikan motornya di sebuah rumah. Kupikir rumah itu ada penghuninya, namun ternyata kosong dan dibiarkan gelap begitu saja sudah seperti difilm-film horor. Andhika memyalakan lampu senter di handphonenya untuk penerangan. "Kamu jangan takut," ujar Andhika meyakinkanku. Aku masih bergelayut di lengannya. Takut dan khawatir bercampur jadi satu. Menjelang malam, hujan bertambah deras, ditambah kilatan petir yang menyambar serta suara gemuruh guntur menggelegar memenuhi ruang malam. "Aku ingin pulang," desisku lirih. "Tunggulah sebentar lagi, paling tidak sampai hujan ini agak reda. Daerah ini jalanannya licin dan berkelok, aku justru takut kalau terjadi apa-apa di jalan," jawabnya. Aku mengangguk. Cukup lama kami terdiam dalam keheningan. Kurasakan tangan dan kakiku begitu kedinginan, meskipun tak kehujanan, namun air hujan itu menyemprot ke berbagai sisi, membuat bajuku sedikit basah. "Kamu dingin?" tanya Andhika. Dia melepaskan jaketnya dan memakaikannya padaku, lalu dia merangkulku membuatku sedikit hangat. Semakin lama kami semakin terhanyut dalam perasaan. Dan....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN