Pov Rani
Malam pun berganti pagi, sayup-sayup terdengar kumandang adzan. Aku yang terlelap dari tidurku kini mulai terjaga, kubuka mata lalu turun dari ranjang dan bergegas mengambil wudu. Kemudian melaksanakan kawajibanku sebagai seorang muslim.
Selesai sholat seperti biasa kupanjatkan doa untuk Ayah yang sudah tenang disisi Allah, dan tidak lupa doa terbaik untuk Ibuku. Agar Allah senantiasa memberikan kesehatan, serta umur yang panjang pada Ibu.
Doa yang tidak pernah putus juga, semoga aku bisa di pertemukan dengan jodohku.
Belahan hatiku, yang nantinya bisa mencintai diriku apa adanya dan menerima segala kekurangan yang aku punya.
Selesai merapikan peralatan salat, aku pun beranjak ke arah dapur. Menyapu dan mengepel lantai, agar Ibu tidak terlalu capek jika aku tinggal bekerja nanti.
***
Di tempat lain, Juan juga sedang melaksanakan salat subuh di dalam kamar mewahnya. Ia begitu sangat khusuk, saat melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Selesai melaksanakan sholat Juan membaca surah yasin untuk kedua orang tuanya, yang sudah lama tiada. Ia tidak akan pernah lupa selalu mengirimkan doa untuk almarhum orang tuanya.
Saat Juan menghadap sang pemilik hidup, ia akan menanggalkan semua yang dimilikinya. Kekayaan, nama besar dan segala sifat arogansinya semua lenyap saat ia bersujud menghadap sang pemilik hidup.
Pagi ini Juan berdoa semoga di pertemukan dengan seseorang yang tulus mencintainya, dan menerima semua sifat jelek, dingin yang selama ini melekat dalam dirinya.
Di waktu subuh itu ada dua insan muslim yang memanjatkan doa yang sama, tanpa mereka tahu jika keduanya telah menjalin benang merah tanpa keduanya ketahui.
***
Rumah Rani
Aku sudah bersiap sedari tadi tinggal sarapan lalu berangkat bekerja, setelah memastikan penampilanku sudah rapi dan tidak ada barang yang tertinggal.
Aku pun bergegas keluar kamar lalu menghapiri Ibu yang berada di dapur, terlihat beliau tengah membuatkan nasi goreng kesukaanku.
"Selamat pagi, Ibuku Sayang," sapaku seraya mencium pipi yang menjadi rutinitas setiap pagi jika aku tengah menyapa Ibu.
"Selamat pagi juga, Sayang. Kamu sudah siap, berangkat kerja?" jawab Ibu, dengan nada lembut.
"Iya, Bu," jawabku seraya duduk di kursi di meja makan.
"Memangnya kamu sudah beneran sehat, Nak?" tanya Ibu masih dengan rasa khawatirnya.
"Sudah sehatan kok, Bu" jawabku menenangkan beliau.
"Ya sudah, kalau begitu kita sarapan dulu, Sayang," ajak Ibu seraya mengambilkan nasi goreng ke dalam piring, lalu menaruh di depan mejaku.
"Iya, Bu. Tapi Ibu juga harus ikut sarapan," ajakku seraya merangkul beliau dan mendudukan Ibu tepat di sampingku.
Selesai sarapan aku pun berpamitan dengan Ibu. "Bu, Rani sudah selesai sarapan. Rani berangkat dulu, ya," pamit Rani, seraya mencium takzim tangan Ibu.
"Hati-hati di jalan, ya, Sayang. Jangan lupa sweater kamu, Nak," nasehat beliau penuh sayang.
"Sudah Rani taruh dalam tas, Bu," jawabku menenangkan.
Setelah naik angkutan umum, dalam perjalanan ke restoran tempatku bekerja. Dalam hati ini aku merasa sangat khawatir, sekaligus takut. Karena kecerobohanku selama tiga hari ini saat sakit, aku tidak izin dahulu ke manager.
Hatiku terus was-was, takut akan di marahi oleh manager dan lebih takut lagi jika nanti aku di pecat. Tidak hentinya kurapalkan doa, semoga manager tidak marah padaku dan semua yang kulakukan berjalan lancar.
Saat telah sampai di restoran, aku pun langsung menuju ruang pegawai dimana tempat menaruh tas dan juga saat berganti pakaian kerja. Setelah mengganti pakaian kerja, tiba-tiba aku di kejutkan oleh suara sahabatku.
"Hai, Rani. Gimana kabar kamu, apa sudah baikkan? Selama kamu tidak masuk, restoran sepi tidak ada kamu," tanya Talita dengan nada cerewetnya.
"Alhamdulillah, sudah baikkan. Ini buktinya aku masuk kerja" jawabku seraya tersenyum seperti biasa.
"Ahh ... aku kangen sekali sama kamu, tiga hari tidak lihat wajah chubby kamu membuatku kangen, tau," rajuk Talita, seraya memelukku dengan pelukan hangat.
"Sama aku pun merindukanmu, Ta," jawabku seraya membalas pelukan Talita.
Aku pun tidak bisa berhenti terkekeh, ketika melihat kelakuan sahabatku itu. Bersyukur karena masih ada yang mengkhawatirkan keadaanku, tentu saja selain Ibuku tentunya.
Saat aku dan sahabatku tengah asik berbicara, tiba-tiba ada temen sesama pekerja datang menghampiriku.
"Hai, Ran. Kamu sudah masuk kerja lagi, nih?"
"Hai, juga. Alhamdulillah, iya."
"Ohh, iya. Kamu di cariin Manager, Ran. Sekarang beliau ada di depan, mendingan kamu cepat temui keburu beliau marah, lho," ucap temanku.
"Iya, makasih. Sebentar aku akan ke depan," jawabku, mulai merasa takut. Semoga saja manager tidak marah padaku.
"Ta ... gimana, nih, aku takut kalau manager marah padaku," ucapku dengan nada takut.
"Semangat jangan takut, sudah cepat sana pergi temui sang manager dulu," jawab Talita menenangkan, seraya mengangkat tangan dan memberi semangat padaku.
***
Kantor Juan
Suasana kantor Alexander Corp saat ini mencekam, karena sang bos besar tenga marah. Entah mengapa suasana hati sang pemilik perusahaan begitu kacau, hingga kesalahan sedikit saja bisa menyulut emosinya.
Sudah beberapa hari ini suasana hati sang bos memang tidak baik, setiap kesalahan kecil, yang di lakukan pegawainya akan mendapatkan teguran bahkan kemarahan.
Seperti sekarang, saat dalam rapat direksi para pegawai ada yang belum mengerjakan laporan bulanan. Mendapatkan kemarahan dari Juan Alexander.
"Apa yang kalian kerjakan selama di kantor, hah! Kenapa laporan bulanan seharusnya kalian kerjakan tidak kalian kerjakan, apa kalian ingin makan gaji buta begitu!!" bentak Juan, seraya melemparkan semua dokumen yang ada di depannya ke tengah meja dalam rapat.
Semua pegawai yang berada dalam ruangan rapat itu, hanya bisa terdiam sekaligus menunduk. Mereka tidak ada yang berani mengangkat kepala, atau pun berbicara.
"Selesaikan semua laporan itu, jika tidak kalian semua aku pecat! Keluar kalian semua, dari ruangan ini! ucap Juan dengan nada dingin, seraya menggebrak meja.
Semua pegawai dalam ruangan rapat itu ketakutan, lalu dengan terburu keluar dari ruangan rapat secepat mungkin. Mereka tidak ingin mendapakan kemarahan dari bosnya lagi, maka dengan patuh tanpa membantah mereka semua mengikuti kemauan Juan.
Setelah melampiaskan kemarahannya, Juan memijit pilipisnya serta menghela nafas berulang kali, agar ia merasa lebih tenang.
Setelah di rasa kemarahannya mulai mereda, ia bergegas keluar lalu kembali ke dalam ruangan kantornya.
Saat Juan baru saja duduk di kursi kebesarannya, pandangannya jatuh pada papper bag yang ada di samping meja kerjanya. Ia sesaat terpaku ketika melihat isi dalam papper bag itu, ia ingat dan belum sempat memberikan kepada gadis gendutnya.
'Apakah hari ini kamu sudah masuk kerja? Apakah kamu sudah sembuh?' gumam Juan, seraya menyentuh jaket merah maron itu.
'Dari pada aku berdiam diri, dan tidak fokus kerja. Lebih baik aku ke restoran saja, dan melihat apakah dia sudah mulai masuk bekerja,' gumam Juan, lalu ia bergegas keluar tidak lupa ia membawa papper bag besar keluar dari kantornya.
Saat di lobby kantor Robert sudah setia menunggu, ketika melihat sang tuannya datang ia langsung membukakan pintu mobil.
"Kita ke restoran sekarang," perintah Juan pada Robert.
"Baik, Tuan," Robert sopan seperti biasa.
***
Author Pov
Begitu sampai di depan, tepatnya di dalam restoran mewah Rani tengah mencari keberatan sang managernya. Yang katanya tadi ingin berbicara dengan nya.
"Selamat pagi, Pak. Kata teman saya Bapak sedang mencari saya?" tanya Rani dengan nada sesopan mungkin.
'Kenapa wajah Pak Manager begitu, dia terlihat marah,' batin Rani.
"Ada apa kamu bilang?! Kamu kemana saja selama 3 hari ini tidak masuk kerja, dan tidak memberikan kabar padaku, maupun teman kamu?!" bentak manager restoran Juan dengan nada kasar.
Saat Rani baru saja ingin melihat wajah sang manager, ia pun belum sempat menjawab pertanyaannya yang di tanyakan tadi.
Tiba-tiba Rani mendengar suara tamparan yang begitu keras, tidak lama ia pun merasakan sakit di pipi kirinya. Ia hanya bisa terdiam, karena ia begitu shock ketika mendapatkan tamparan tiba-tiba seketika itu membuat matanya mulai berembun dan tidak lama air matanya jatuh membasahi pipi chubby-nya.
"Kenapa kamu menatapku begitu, sana lanjutkan pekerjaanmu!" usir manager masih dengan nada marah.
Rani yang masih terlalu shock karena tamparan tadi, ia mulai tersadar setelah mendengar suara perintah dari managernya dengan nada keras. Ia pun langsung bergegas, melakukan apa yang di perintahkan sang manager padanya tanpa membantah atau membela dirinya.
'Hikz ... Sakit sekali, kenapa manager tega menamparku begitu keras. Hingga aku menjadi tontonan teman-temanku,' batinnya pilu, ia begitu sedih ketika sesekali memegang pipinya yang terasa nyeri.
Setelah Rani ke belakang, sang mananger tersenyum sinis seraya melihat Rani berjalan tergesa ke belakang.
'Gara-gara kamu, aku harus mengantarkan minuman teh jahe panas pada malam itu, dan karena kamu juga selama tiga hari ini, aku harus di marahi Bos Besar terus? Bos selalu bertanya tentang keberadaanmu, tapi sayangnya aku tidak tahu.'
'Akhirnya aku mendapatkan kemarahan lagi, dan hadiah tamparan tadi adalah balasan karena aku merasa kesal sekali denganmu gadis gendut jelek,' batinnya Manager.
***
Pov Juan
Disisi lain tepatnya di depan pintu masuk restoran, ada seseorang yang mendengar dan menyaksikan semua adegan kekerasan yang dilakukan manager terhadap Rani.
Dengan kedua tangan yang mengepal, rahang yang mengeras, dan jangan lupakan mata serta wajahnya yang memerah. Menandakan kalau sang pria yang menyaksikan adegan tadi, berusaha mati-matian menahan kemarahannya.
Agar pria itu tidak mengeluarkan pistol, yang ia sembunyikan di balik jas mahalnya. Siapa lagi kalau bukan Juan Alexander, sang pemilik restoran mewah tersebut.
Setelah melihat gadisnya ke belakang restoran, Juan langsung berbicara pada tangan kanannya.
"Bawa dia ke ruanganku sekarang!!" ucapku penuh kemarahan.
" Baik, Tuan," Jawab Robert patuh.
Setelah memberikan perintah, Juan berjalan cepat menuju kantornya. Sedangkan Robert yang merasa Tuannya kali ini tengah marah besar, ia pun dengan cepat menghampiri manager restoran.
Sesampai di dalam ruangan kantornya Juan masih menahan emosinya, dan jangan lupakan tangannya yang sedari tadi masih saja terkepal.
Srak!
Prang!
Juan melampiaskan kemarahannya dengan membanting barang dan juga dokumen yang ada di atas meja kerjanya. Tidak berapa lama, ketika amarahnya juga belum mereda. Ia mendengar ketukan pintu.
Tok! Tok!
"Masuk!!" ucap juan dingin, dan penuh nada kemarahan, seraya menghadap kaca besar di hadapannya.
Robert sang tangan kanan masuk, seraya mengampit lengan manager dengan kasar ke dalam kantor Juan.
"Ini, Tuan," ucap Robert dengan nada hati-hati.
Dan tanpa kata Juan berbalik sambil menatap tajam sang manager, manager yang mendapat tatapan Bosnya yang tidak biasa mulai ketakutan.
'Kenapa Bos Besar melihatku seperti itu, dan mengapa aku di panggil kemari?' batin manager mulai ketakutan.
"Apa Bos memanggil saya, adakah yang bisa saya kerjakan?" tanya manager dengan sesopan mungkin.
"Apa yang sudah kamu lakukan pada gadisku, hah?!" bentak juan penuh kemarahan, seraya mencengkeram kerah kemeja managernya.
Setelah itu Juan langsung menampar sang manager, bahkan berulang kali. Baik di pipi kakan maupun pipi kirinya, ia lalu menendang perut serta kaki, darah segar mulai keluar dari mulut sang manager.
"Am--ampun, Tuan. Ampuni saya, Tuan."
"Tolong ampuni saya, saya minta maaf , Tuan" mohon sang manager berulang kali, tapi Juan sama sekali tidak mau mendengarnya.
" Cuiihh! Laki-laki b*****h sepertimu, tidak dapat kuberi maaf!" desis Juan menghadiahi sang manager dengan tendangan di perutnya.
"Akhh ...," rintih manager pilu dalam ruangan kantor Juan.
Saat ini Juan sudah menjadi sosok lain, yang tidak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun. Bahkan sang tangan kanan Robert yang selalu bersamanya tidak mengetahui sisi gelap itu.
Robert tidak percaya, sang tuannya bisa berubah hanya dalam beberapa menit saja sifatnya, ia pun melihatnya dengan pandangan tidak percaya. Tuannya yang selama ini biasanya tenang, menjadi sosok yang tidak di kenalnya.
Biasanya saat tuannya marah akan langsung menembak mati, tapi kali ini saat melihat gadis gendut itu di tampar manager dan membuat tuannya murka.
Juan terus menendang serta memukuli manager berulang kali, perut dan wajahnya sudah membiru bercampur darah segar, dan manager itu hanya mengerang kesakitan.
Juan berjongkok menghadap managar dengan pandangan sinis, ia pun mengambil tangan kanan manager. Yang dia gunakan untuk menampar gadisnya tadi.
"Tangan ini 'kan, yang kamu buat untuk menampar gadisku tadi?!" ucap Juan rendah namun tajam, terselip kemarahan.
Kretek!
" Aaaaa ... sakit, ampuni saya, Tuan. Tolong ampuni saya Tuan," teriakan penuh kesakitan, dan terus memohon pengampunan Juan.
Jangankan menyahut atau mendengarkan omongan manager, yang ada ia malah terus menyiksa manager. Bukan hanya tangan yang patah, tapi ada giginya yang patah.
''Untuk mulut yang sudah berkata kasar, dan tidak tahu tempat. Rasakan, semua ini adalah balasan yang setimpal karena kamu telah menyakiti gadisku," marah Juan seraya merobek sisi kanan mulut manager, darah segar pun mulai.mengalir dari mulut sang manager.
"Itu belum seberapa? Aku bisa saja dengan mudah membunuhmu, saat ini juga. Namun, aku ingin kamu merasakan rasa sakit yang jauh lebih sakit, di bandingkan saat kau menampar gadisku tadi. Ini adalah balasan yang setimpal karena kamu telah melukai milikku!" bentak Juan masih dengan kemarahannya.
"Mulai sekarang kamu kupecat!!" bentak Juan lagi
Manager yang mendengar dia di pecat Bos besarnya hanya bisa pasrah, karena ia sadar diri karena telah membuat kesalahan besar dan membuat Bosnya murka. Kini ia hanya bisa mengerang kesakitan di sekujur tubuhnya.
"Baik, Tuan. Saya terima, tolong Maafkan saya" ucap manager dengan sisa kekuatan dalam tubuhnya, ia bersyukur karena tidak di bunuh Bosnya.
"Buang sampah ini sekarang, jangan sampai dia terlihat di sekitaran restoranku lagi," titah Juan dingin.
"Baik, Tuan," jawab Robert, seraya memapah manager keluar ruangan kantor tuannya.
Setelah Robert keluar Juan berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan dan wajahnya, ia berusaha mendinginkan dirinya dengan membilas wajahnya. Berharap cepat redakan rasa marah dalam dirinya.
Setelah mencuci muka Juan mengelap wajahnya, dengan handuk kecil yang selalu tersedia dalam lemari kecil dalam ruang kamar mandi.
Setelah selesai Juan merapikan penampilannya, baik wajah maupun jasnya ia benahi sebelum menemui gadisnya.
Bersambung