"Bagaimana aku tidak syok kalau istriku ternyata sudah tidak perawan?"
"Hahahahaha. Apes banget nasibmu, Can. Kamu bilang pada kami bahwa dia sangat santun juga soleha."
"Hahahaha." Terdengar kompak gelak tawa.
"Dia di pesantren. Siapa yang menyangka ternyata dia sudah tak perawan? Aku dibohongi!" Suara Mas Candra yang sepertinya bersumber dari teras terdengar keras.
Aku yang masih merebah dalam pelukan ibu mertuaku di kamar, perlahan beranjak bangun, menyelimuti ibu yang tidur menyandar di dinding lantas menyambar handuk dan menuju kamar mandi di sudut kamar.
"Jangan-jangan, dulu istrimu cewek nakal."
"Hust, jangan sangka buruk, tak boleh!"
Aku hafal betul, yang barusan berkata itu pasti Yanto. Teman Mas Candra yang sempat iseng memberi kerlingan menggoda saat berkenalan denganku beberapa minggu lalu.
"Wajar dia curiga, Broo, istrinya sudah tak perawan! Tak perawan! Bayangkan saja!" timpal Arman.
"Hahahaha!"
Kompak, Arman dan Rudi tertawa.
Sambil terisak, aku menyalakan shower, mengguyur tubuh untuk mandi suci setelah percintaan kami semalam.
"Kalian ini, jangan terus mengipas-ngipasi! Perawan janda tak ada bedanya," kata Yanto.
"Hahahahaha!"
"Tak perawan tak masalah, kan, ya, Can, kan, shalihah. Hahahaha!" kekeh Rudi.
"Hahahaha." Arman dan Rudi lagi-lagi tertawa bersamaan.
"Hahahahaha!"
"Kalian bisa diam, gak?"
Hanya dengan mendengar suara Mas Candra barusan, aku langsung tahu bahwa Mas Candra sedang sangat kecewa. Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan. Andai waktu bisa diputar mundur ... ah, sepertinya walau bisa diputar mundur, tekadku tetap takkan goyah. Aku tetap tidak akan jujur mengenai status kegadisanku. Bukankah aib tak boleh diumbar?
Aku terus terisak. Hatiku seperti diremas kuat. Mas Candra tidak bersalah. Mungkin, memang selayaknya sebelum menikah, tak seharusnya ada yang ditutup-tutupi kepada calon pendamping hidup. Apa pun yang terjadi di masa lalu, harusnya diungkap.
Tapi, bagaimana jika calon pasangan kecewa lalu memilih mundur? Bukankah itu berarti salah satu pihak dirugikan? Dan sudah jelas bakal aku yang dirugikan. Lalu, bagaimana dengan makna yang terkandung dalam surat Al Hujarat tentang menyimpan aib serapat mungkin?
Aku menarik napas panjang. Beberapa hari sebelum menikah, sebenarnya, terbesit keinginanku untuk berterus-terang. Namun setiap hendak membuka mulut, peristiwa menyesakkan itu langsung terpampang jelas di pelupuk mata, membuat prasaan sakit, pedih, menyesal, benci, juga hasrat ingin membunuh berdesakkan menjadi satu di dadaku, terasa penuh berdenyut-denyut seakan hendak meledak.
Aku sama sekali tidak punya firasat buruk saat Zain yang biasanya bersikap menyebalkan, hari itu, ia datang meminta maaf padaku dan memohon agar aku berkenan melantunkan doa untuk adiknya yang sedang ulang tahun.
Tentu saja kusanggupi, lalu tanpa secuil pun prasangka, aku mendatangi rumah Zain yang telah ramai oleh suara tepuk tangan dan nyanyian riang gadis seusiaku. Usai acara, aku yang sudah berniat pulang, akhirnya mengurungkan niat karena Nana terus merengek agar aku tinggal lebih lama. Akhirnya, aku, Nana dan Zain bercakap-cakap di teras sementara ibunya entah ke mana.
Sebelum peristiwa buruk itu, sebenarnya pandanganku tentang Zain tak begitu buruk walau sebagian tetangga sering mendesiskan hal-hal jelek tentangnya. Lelaki yang tinggal beberapa rumah dari pesantren bapak itu amat menyayangi keluarganya, pengganti sosok ayahnya yang telah lama meninggal. Tapi karena kejadian sekejap, orang-orang langsung mendesis kan hal jelek tentang Zain. Ia menusuk temannya saat berebut wilayah kekuasaan. Sejak saat itu, u*****n-u*****n pedas selalu mengiringi langkah Zain. Tak jarang, orang-orang selalu bergidik ngeri bila berpapasan dengan Zain. Tak terkecuali aku.
Ketakutanku pada Zain kian menjadi saat tiba-tiba ia menghadangku dari sekolah, tanpa basa-basi menciumku, lalu meminta dijadikan pacar. Gila! Sungguh tak bermoral! Bagaimana bisa ia melecehkan perempuan berhijab? Yang rambutnya tertutup rapat dan lekuk tubuh tak kentara? Tanpa pikir panjang, tanganku mendarat keras di pipinya.
Penolakanku, ternyata tak membuat Zain putusasa. Saban hari, ia menunggu di tengah jalan sekadar untuk menyapa, tak jarang mengganggu. Sampai akhirnya, terjadi peristiwa di hari ulang tahun itu. Tahu-tahu, aku sudah terbangun di sisinya dalam keadaan seperti bayi baru lahir.
Pelan, kuusap mata. Usaha yang sia-sia karena dalam sekejap, air yang terus meleleh dari mataku segera membaur dengan air, lenyap tak berbekas, kemudian kembali timbul. Sementara isakan-isakan yang mulanya pelan, kini semakin kencang. Air dingin yang sedari tadi jatuh memerciki tubuh, sama sekali tak memberi rasa nyaman. Perasaanku tetap sama; sedih, marah, merasa hina, menyesal.
Mengapa ini terjadi padaku, Allah ...? Aku meratap. Tersengal. Bahuku berguncang hebat.
Aku terus menangis tak peduli terkadang air yang mengucur dari shower tertelan lalu membuatku tersedak-sedak, mencipta rasa panas dan sakit di tenggorokan. Membuat kepalaku pening berputar seakan hendak terserang flu.
Kumatikan shower lalu menarik jubah mandi.
"Hahahahaha!"
"Jangan dengerin setan-setan ini, Can! Kalian, berhenti mengipas-ngipasi!" kata Yanto.
"Candra yang menyesal, bukannya gadis sok suci berjilbab panjang itu! Sok suci, tapi tak perawan!"
"Hahahaha!" Rudi dan Arman terbahak.
"Diam, kalian!"
Mendengar suara Mas Candra barusan, air mataku kembali luruh. Tanganku perlahan mengusap perut, yang dulu pernah dirawat sangat hati-hati agar tak menyesal. Bapak yang berpengalaman, selalu mewanti-wanti agar aku jangan sampai menggaruk perut, biar tetap mulus, katanya.
Jadi, walau rasa gatal kian menyiksa seiring bertumbuhnya si jabang bayi, tetap kutahan agar tak terbuai. Namun, jika sudah sangat tak tahan menghadapi gatal, maka aku akan menyisirinya agak keras, terkadang memberi asam jawa yang dicampur beras, kencur, lalu ditumbuk kasar. Ketelatenan pun menuai hasil, perutku tetap putih mulus. Hanya ada segaris stretch mark tak jelas.
Usai mandi, aku segera salat tahajud. Lalu membaca Alquran, mencoba mengusir kesedihan dengan mendalami makna yang terkandung. Namun, pada akhirnya aku malah terbawa suasana dan membaca sambil terisak.
"Hahahahaha!"
"Hahahahaha!"
"Lagi! Lagi! Sekali lagi! Cepat!"
Itu suara Mas Candra. Apa yang mereka lakukan di luar sana? Aku menghela napas.
"Ar-rahmaan. Allamal-kur'aan." Aku mulai membaca.
Di ranjang, ibu menggeliat. Aku terus membaca Alquran. Membaca sambil menangis. Ibu bergerak mendekat ke arahku. "Ta," katanya.
"Iya, Bu?" sahutku, menahan isak agar tak terdengar.
"Sudah jangan menangis lagi. Ibu sudah pikirkan solusi agar Candra tak kecewa padamu lagi," ucap Ibu dengan mata masih sangat mengantuk.
"Apa, Bu?" tanyaku ingin tahu.
"Bapaknya Candra pasti akan malu kalau sampai kalian berpisah. Ibu sudah pikirkan ini agar rumah tangga kalian tetap harmonis. Ibu akan beli darah perawan. Atau kalau tidak, kamu operasi selaput dara. Dan kamu harus bilang sama Candra, kalau tidak semua perempuan akan mengeluarkan darah di malam pertama. Dengar, Ta?"
Kutatap Ibu dengan pandangan tak percaya. Itu artinya aku akan semakin membohongi Mas Candra. Ibu menatapku menyakinkan. Lalu seolah mengerti pikiranku, ia berkata, "Hanya kamu dan Ibu yang tahu mengenai ini. Ini demi keutuhan rumah tanggamu. Ibu percaya padamu, Ta. Kamu bukan perempuan nakal."
Braak!!
Aku dan Ibu refleks menatap ke arah pintu. Di ambang pintu, Mas Candra menatapku dengan mata merah dan wajah pucat, nampak sekali kurang tidur. Aku mendekatinya dengan langkah ragu.
"Maaas," panggilku, berusaha bersikap tenang saat tatapan Mas Candra yang dingin menusuk tepat di ulu hatiku. Aroma yang pernah tercium dari mulut Si Preman pasar yang merenggut kegadisanku, kini menguar kuat dari mulut Mas Candra. Aku hafal betul, ini bau alkohol.
Mas Candra menatapku kecewa. Sungguh aku tak bisa melihatnya seperti ini. Haruskah aku membohonginya, mengatakan bahwa aku masih perawan lalu mendengar ucapan Ibu demi keutuhan rumah tangga kami? Sungguh, aku bingung.