Audrey

1005 Kata
Vanessa memijit kepalanya yang terasa sakit, barusan ia mendengar kabar dari Lisa sedang berada di rumah sakit karena penyakitnya kembali kambuh dan bertambah parah. Ia baru bekerja sehari disini, tak mungkin Vanessa meninggalkan pekerjaannya begitu saja dan lagi ia tidak memiliki cukup uang untuk kembali berpergian jauh. Vanessa duduk di atas lantai seraya bersandar di samping ranjang menatap ke luar jendela di dalam kamarnya. Kamar berukuran kecil yang diisi dengan sebuah ranjang kecil, satu buah lemari dan meja tersebut telah menjadi kamar pribadinya tanpa harus membayar ke Uncle Clark. Vanessa merasa sangat beruntung dan malah bersyukur meskipun keadaannya sekarang tidak senyaman dulu. Masalahnya sekarang adalah ia harus memutar otak agar dapat membiayai rumah sakit Lisa, Vanessa mengacak rambutnya frustasi. Tubuhnya masih lelah karena bekerja seharian, ditambah lagi dengan kabar buruk yang ia terima barusan makin membuat tubuhnya seperti mati rasa. Kemana lagi ia harus pergi? Ia tidak mungkin lagi merepotkan Uncle Clark setelah semua kebaikan yang diberikan oleh pria itu. Rasanya Vanessa ingin menangis, menumpahkan segala kesedihannya namun sepertinya sudah tak guna lagi. Tangisan tidak akan membuat Lisa sembuh dan memperbaiki keadaan, malah akan membuat masalah baru jika ia juga sakit karena beban pikiran yang ia tanggung. Jadi, Vanessa hanya bisa terdiam, memandang awan di luar sana yang mulai gelap saat malam tiba. Namun Vanessa mengernyitkan kening begitu menyadari seseorang bersandar di pintu kamarnya yang baru ia sadari terbuka sedari tadi. "Jadi dari tadi disitu?" Tanya Vanessa, sementara gadis itu hanya tersenyum jahil seraya mengunyah permen karet mengamati Vanessa. "Kau baik-baik saja?" Tanya Audrey yang masih mengenakan seragam kerjanya. Vanessa hanya bisa menggeleng lemah. "Boleh aku masuk?" Tanyanya lagi, Vanessa mengangguk. Audrey lalu turut duduk bersama Vanessa di lantai memandangi awan gelap dari jendela mungil itu. "Pemandangan di kota tidak terlalu bagus ya?" Ujar Audrey memecah keheningan di antara mereka berdua, Audrey mengerti jika Vanessa memiliki sebuah masalah. Ia hanya mencoba menghibur, padahal rencana awalnya hanya untuk mendekatkan Vanessa dengan Mr. Watson. Tapi melihat kondisi gadis itu sekarang, Audrey menjadi prihatin dan mengurungkan niatnya. Mungkin akan ia lakukan lain kali, jika Vanessa benar-benar merasa lebih baik. "Ya, dan aku kira hidup di kota akan lebih mudah." racau Vanessa, pandangannya kosong hanya tertuju pada tembok kayu yang sudah usang di hadapannya. "Maksudmu?" Tanya Audrey, Vanessa kembali menghembuskan nafas kasar. Perlahan ia mulai menceritakan masalah yang ia hadapi, berbagai macam musibah hingga ia harus terdampar meminta pertolongan kepada Uncle Clark. Audrey mendengarkan dengan seksama, ternyata bukan hidupnya saja yang kurang beruntung. Ternyata di luar sana masih banyak gadis yang kehidupannya sangat tidak beruntung, seperti Vanessa contohnya. Dari kisah yang diceritakan, kisah Vanessa terbilang tragis. Kehilangan kedua orang tua dan sekarang ia harus mengurus bibinya seorang diri yang sedang sakit-sakitan. Well, setidaknya Vanessa masih sedikit beruntung pernah merasakan kasih sayang orang tua. Tidak seperti dirinya yang tidak pernah melihat Ayah kandungnya sendiri sejak lahir, hanya Ibunya yang membesarkan dirinya seorang diri. Meski sekarang ia dan Ibunya tak lagi tinggal bersama dengan alasan Ibunya menikah lagi dan memiliki seorang anak lagi. Sehingga Audrey memutuskan untuk hidup sendiri tanpa merepotkan Ibunya. "Hm... aku bisa membantu kalau kau mau." tawar Audrey. "Audrey, aku tak ingin membebankan dirimu." "Tidak, kau tidak akan membebaniku." Potong Audrey, sebenarnya ia sedikit sungkan untuk berbicara hal ini kepada Vanessa. Melihat Vanessa yang terbilang gadis baik-baik, tapi setidaknya ia hanya menawarkan bantuan. Benar atau tidaknya Vanessa sendiri yang nantinya akan menilai. "Jadi?" Tanya Vanessa lagi. "Kau tahu Mr. Watson? Teman Mr. Clark yang setiap hari kemari?" Vanessa berpikir sejenak, ia baru bekerja sehari disini. Tentu saja ia tidak tahu, tapi setelah ia ingat kembali. Hanya ada satu orang yang sudah dua kali ia lihat semenjak kedatangannya kemarin di kafe ini. Pemilik bahu besar itu... Batin Vanessa dalam hati, ia kemudian mengangguk. Audrey hanya tersenyum simpul, ternyata Vanessa juga sering memperhatikan Mr. Watson diam-diam. Audrey lalu menjelaskan secara perlahan, siapa itu Mr. Watson dan apa hubungannya dengan Vanessa yang sedang memiliki masalah finansial. Gadis cantik berambut pirang itu mendengarkan dengan seksama, tidak heran jika pria yang memiliki bahu besar itu tergolong p****************g. Dia memiliki paras tampan bak Dewa Yunani dan juga harta berlimpah, dan hal yang wajar selagi dia berstatus duda. Tapi Vanessa kembali bingung dengan arah pembicaraan Audrey, apa gadis itu mencoba menjadikan dirinya seorang... "Wait! Maksudmu?" Vanessa mengubah posisi duduknya menghadap Audrey, penasaran dengan topik pembicaraan yang sedikit aneh bagi gadis seperti Vanessa. "Well, kau tahu maksudku bukan? Ia menyukaimu... maksudku, menyukaimu dalam tanda kutip." kata Audrey seraya memainkan sebelah matanya. "What? Big no! Audrey, aku tidak akan melakukan hal tersebut meski apapun yang terjadi." Kata Vanessa, mengalihkan pandangannya dari Audrey. Namun ia kembali melirik gadis di sebelahnya itu dengan sedikit rasa penasaran. "Apa kau pernah melakukannya?" Tanya Vanessa dengan suara pelan. "Tentu saja, kau tahu? Aku bukan gadis yang bergelimang harta, terkadang aku harus membantu Ibuku." Audrey tertunduk lesu, Vanessa sangat mengerti keadaan Audrey. Dan sekarang pun ia turut merasakan kepahitan hidup tatkala gadis seusia mereka tengah sibuk menimba ilmu. "Dengan Mr. Watson?" Tanyanya lagi makin penasaran. "Apa? Tidak, aku tidak pernah berhubungan dengan Mr. Watson. Dia tidak tertarik padaku, tapi sepertinya ia tertarik padamu Ness..." "Sepertinya..." ulang Vanessa. "Tapi Ness... ini jalan keluar untukmu." bujuk Audrey lagi, Vanessa terlihat berpikir keras. Seumur hidupnya, ia tidak pernah melakukan itu. Meski pernah berpacaran, ia belum sampai sejauh itu dalam berhubungan. Sungguh, ia ingin mempersembahkan mahkotanya tersebut kepada suaminya kelak. Tapi kembali lagi, ia teringat akan Lisa. Vanessa mengacak rambutnya frustasi, Audrey yang melihatnya hanya bisa mengelus pelan bahu mungil Vanessa mencoba menenangkan gadis itu. Hidup memang tidak seindah seperti di n****+ atau film, ketika gadis seusia mereka memakai barang-barang branded dan memamerkannya di sosial media. Mereka berdua menyandarkan kepala di tepi ranjang, menatap langit-langit kamar dengan warna yang telah lusuh. Sementara Vanessa terus memikirkan tawaran Audrey barusan, ia harus berpikir secara matang terlebih dahulu sebelum ia terlanjur jatuh lebih dalam lagi. Namun, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Ada sedikit rasa ketertarikan penasaran yang tinggi terhadap pria berbahu besar tersebut. "when your best friend offers you a job to spreads your legs"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN