Bahu mungil itu tertunduk lesu saat memasuki sebuah kafe yang telah sunyi, gelap gulita saat ia membuka kenop pintu dan melihat kursi serta meja kafe telah rapi dan kosong. Hanya sinar lampu jalanan dari luar yang sedikit menerangi tempat itu, ia meletakan heels dan barang-barangnya yang ia tenteng sedari tadi.
Berjalan menuju bar bertelanjang kaki guna menuangkan secangkir kopi, ia butuh sedikit kafein guna merilekskan otak dan pikirannya. Vanessa menarik sebuah kursi, menimbulkan decitan nyaring di tempat yang telah sunyi tersebut. Duduk dalam diam seraya menegak kopinya, ia menghembuskan nafas kasar. Ia pikir malam ini akan terasa sangat menegangkan, namun ternyata semua di luar dugaannya.
Ia pikir malam ini selangkangannya akan sedikit terasa ngilu karena darah yang keluar dari bawah sana setelah kegiatan panas itu terjadi seperti yang diajarkan Audrey. Tapi ternyata tidak, Vanessa sangat yakin jika pria itu kecewa padanya. Ia bukan gadis penghibur yang profesional, Vanessa akui itu. Ia bahkan tak pernah melakukannya, sesuatu hal yang bodoh bagi wanita di jaman seperti ini tidak pernah melakukan seks. Entahlah, Vanessa bukan gadis suci. Hanya saja ia hanya ingin melakukan hal tersebut dengan orang yang ia cintai.
Dan sekarang ia harus melakukannya demi uang, demi orang yang ia cintai. Itu akan menjadi sesuatu yang berharga, batinnya membenarkan.
Vanessa duduk termanggu dengan kedua tangan menopang dagu, masih terbayang adegan ciuman tadi. Bibir pria itu sangat manis, Vanessa bahkan masih bisa merasakan rasa manis yang tersisa di bibirnya. Ia meraba bibirnya sendiri...
Tiba-tiba kedua mata indahnya tertuju pada sebuah amplop besar yang tergeletak di atas meja, Vanessa segera menyambar amplop berwarna cokelat tersebut dan membuka isinya. Terdapat tiga lembar kertas di dalamnya dan lembaran terakhir berisikan sebuah tanda tangan kosong di bagian bawahnya. Membuat Vanessa sedikit gugup untuk menorehkan tinta disana.
Semua lembaran kertas tersebut tertulis oleh sebuah tinta, mungkin Mr. Watson sendiri yang menulisnya. Mengapa pria kaya raya itu mau repot-repot menulis hal yang tidak terlalu penting seperti ini?
Ia langsung beralih ke lembaran pertama, tertulis bahwa perjanjian tersebut berlaku selama yang Mr. Watson inginkan. Itu artinya hanya pria tersebut yang dapat mengakhiri perjanjian tanpa ada bantahan dari Vanessa, dan tentunya semua itu akan ada timbal baliknya. Semua kebutuhan Vanessa akan tercukupi tanpa ia harus repot-repot bekerja.
Vanessa menghela nafas kasar, bagaimana pun ia tidak akan berhenti bekerja pada Uncle Clark. Pria tua itu sudah terlalu baik padanya.
Vanessa hanya ingin ini terjadi satu kali dalam hidupnya, setelah selesai ia akan kembali ke kehidupannya yang sederhana sebagai pegawai kafe dan melupakan kejadian yang mungkin akan terjadi dengan Mr. Watson, tapi sepertinya Mr. Watson bukan tipe pria one night stand yang seperti Audrey katakan.
Bukan, atau memang hanya ini khusus untuk dirinya?
Beralih ke lembaran kedua, Vanessa mengernyitkan kening.
Ia berhenti membacanya dan meletakannya di atas meja seraya berpikir keras, pria itu sakit jiwa. Pikirnya seraya memijit kepalanya, sepertinya Vanessa butuh istirahat, mengabaikan perjanjian aneh yang di tawarkan oleh pria itu. Mungkin besok ia akan bertemu dengan Audrey dan meminta pendapatnya, atau mungkin mengabaikan perjanjian dengan Mr. Watson dan mencari p****************g yang lain.
Entahlah, Vanessa sendiri tidak berminat dengan hubungan abusive yang pria itu tawarkan meski ia akan diberikan segala kemewahan.
Vanessa menaiki tangga, lorong itu terlihat sangat gelap hingga ia berhenti tepat di depan kamarnya. Vanessa melirik sekilas, kamar Audrey telah tertutup rapat. Menandakan pemiliknya telah tertidur pulas dan Vanessa berpikir untuk membicarakan hal ini besok saja dengan Audrey, ia pun merasa sangat lelah saat ini. Bekerja seharian tanpa jeda dan malam ini ia harus menemui pria itu.
Vanessa membuka dress milik Audrey, menyisakan bra dan celana dalam dan ia merebahkan tubuhnya di atas kasur kecil. Heels yang sedari tadi ia tenteng pun berserakan di lantai kamar, Vanessa memejamkan kedua matanya sebelum akhirnya terlelap dalam mimpi. Dengan nafas teratur membiarkan tubuhnya setengah telanjang seperti itu, wajahnya terlihat sangat cantik di bawah sinar rembulan yang masuk melalui jendela.
Bagai putri tidur, kecantikan yang dimiliki gadis itu begitu alami. Seorang gadis akan terlihat auranya ketika ia tertidur pulas, kecantikan sejati yang terpancar dari dalam tubuh. Bukan karena polesan make-up tebal yang akan luntur ketika dibasuh.
Garis wajah sempurna menyiratkan kebaikan, alis mata tajam dan bulu mata lentiknya melambangkan kecantikan alami dan kebijaksanaan. Ditambah dengan bibir seksi dan hidung mancung menjadi daya tarik tersendiri bagi gadis itu, sangat sempurna. Layaknya Dewi Yunani yang tertidur pulas, tak salah jika Mr. Watson melirik Vanessa. Hanya saja pria itu kurang mengerti gadis belia.
Begitu pun dengan Vanessa yang sama sekali tidak mengerti soal pria, entah bagaimana hubungan gila ini akan berlangsung ketika keduanya dilanda rasa bimbang dan ketidaktahuan. Meskipun satu sama lain memiliki gairah yang sama serta kebutuhan mendesak, mungkinkah kontrak tersebut akan mempersatukan keduanya? Atau mungkin akan malah menjadi petaka bagi mereka yang menganggap ini sebuah affair gila.
Namun dari hati Vanessa yang paling dalam, entah mengapa ada rasa ketertarikan yang besar terhadap pria itu. Tidak hanya dilandasi oleh materi semata, ia mengakui dari dalam Vanessa mengingingkan Mr. Watson juga. Entah dalam hal apa, seks mungkin. Gadis seusianya masih sangat tidak mengerti hal seperti ini.
Pria itu bagai magnet bagi Vanessa, menyadari bagimana caranya menatap dan memerhatikan bahu besar itu semenjak melihatnya malam ini. Dan rasa itu mulai tumbuh ketika pria itu meraup bibirnya dengan ganas, rasa keingintahuan untuk mengeskplor ruam kulit Mr. Watson. Tapi jemari mungilnya belum berani melakukan itu apalagi menyentuh kulit kecoklatannya.
Mengapa Vanessa bisa tertarik dengan pria setua itu? Rasa ketertarikannya membuatnya melangkahkan kaki ke dalam jurang yang curam, dan hal itu diperburuk dengan keadaannya serta sahabat barunya itu. Vanessa hanya berharap, jika hatinya kuat menerima segala sesuatu yang nantinya akan terjadi, meski itu menyakiti dirinya karena kedua hal itu sangat ia butuhkan saat ini.
Sex and money...