Trump International Hotel
Tower New York
Gadis cantik itu berdiri tepat di depan bangunan mewah, tubuhnya terasa kikuk mengenakan dress super ketat serta heels yang lama-kelamaan menyakiti tumit kakinya. Dress pinjaman dari Audrey itu terlihat sangat kuno, namun Vanessa sama sekali tidak memiliki banyak pilihan mengingat sahabatnya itu bernasib sama dengannya.
Sapuan make-up minimalis hasil karya Audrey memang membuat tampilan Vanessa terlihat sangat cantik, meski apapun yang dikenakan gadis itu. Nyatanya wajah cantik natural yang dimiliki Vanessa berhasil membuat beberapa orang melirik kagum kepadanya, ditambah dengan tubuh proporsional yang tak kalah dengan model internasional.
Vanessa berjalan menuju resepsionis, tertunduk malu ketika beberapa kerumunan pria bersiul jahil kepadanya. Ketika semua mata tertuju kepada b****g sintal yang tertutup sempurna oleh dress berwarna anggur tersebut, belum lagi bagian dadanya yang sangat terbuka. Vanessa benar-benar memiliki tubuh sempurna yang selalu di-idamkan para lelaki, terutama lelaki hidung belang seperti Mr. Watson.
Seorang pelayan langsung mengantarkan dirinya begitu nama Mr. Watson disebutkan, Vanessa sadar akan pengaruh besar pria itu di kota ini. Itulah yang membuat dirinya sedikit sungkan karena harus melakukan hal ini, Mr. Watson memiliki segalanya. Dengan uang, segalanya bisa ia dapatkan termasuk wanita mana pun. Tapi mengapa gadis ingusan seperti dirinya?
Kedua netra kebiruan itu menatap takjub, saat melihat seorang pria yang begitu tampannya duduk disana. Vanessa berusaha menghilangkan kekagumannya kepada pria itu, namun lagi-lagi ia merasa kikuk. Vanessa menelan salivanya sendiri, ini adalah makan malam yang sangat mewah. Dikelilingi oleh orang-orang yang juga sangat terpandang.
Dan dirinya berkencan dengan seorang miliyuner hanya mengenakan dress lusuh serta heels yang hampir copot diujung tumitnya, ini bukan hari keberuntungan Vanessa meskipun ini hanyalah bisnis baginya. Hanya wajah cantik dan tubuh indah Vanessa yang menolongnya malam ini, setidaknya hanya itu aset terbaik yang ia miliki.
"Duduk!" Kata pria itu dingin, Vanessa kembali ke dunia nyatanya setelah berperang dengan batinnya sendiri yang mengatakan bahwa dirinya hanyalah itik buruk rupa yang berkencan dengan pangeran tampan malam ini.
Kencan?
Vanessa tidak dapat menyebutkan ini sebuah kencan, anggap saja bisnis. Bisnis ketika engkau membutuhkan uang dan ia membutuhkan selangkanganmu, bukankah itu adil?
Gadis itu duduk berseberangan dengan Mr. Watson, pria itu nampak tenang menyantap supnya. Meski berbagai hidangan terlihat menggugah selera, nyatanya Vanessa tidak dapat mengeyahkan fokusnya kepada pria itu yang seribu kali lipat lebih tampan dari biasanya. Sangat rapi dan juga formal, beginikah ala kencan seorang pria dewasa?
"Makanlah! Aku tidak mau kau kelaparan setelah ini." ujar Mr. Watson, Vanessa mengangguk kikuk. Otaknya lalu berpikir akan perkataan Mr. Watson di akhir kalimatnya tadi.
Setelah ini...
Pikiran Vanessa jadi melayang karena dua kata itu, debaran jantungnya jadi lebih cepat. Memikirkan hal yang tidak-tidak, yang akan dilakukan Mr. Watson kepadanya.
Setelah ini, Vanessa akan kehilangan sebagian dari dirinya. Dan juga merelakan sesuatu yang sangat berharga satu-satunya ia miliki dan banggakan, Vanessa menghirup udara lalu menghembuskannya perlahan. Meminum minuman berakohol yang tersedia di meja karena saran dari Audrey itu dapat sedikit merilekskan dirinya.
Leonard sangat mengagumi gadis yang tengah asik menyantap makanannya itu, mungkin wajahnya bersikap acuh sedari tadi. Namun semenjak kedatangan Vanessa, ia jadi tidak dapat mengontrol dirinya sendiri. Apalagi ketika melihat tubuh super seksi yang dibalut dengan dress super ketat tersebut. Jemari Leonard ingin sekali menjamah dan menghancurkannya saat ini juga, menerkam tubuh yang terlihat sangat empuk itu untuk diremas dengan kuat.
Sial...
Leonard berdeham, membenarkan dasinya yang terasa mencekik lehernya sendiri. Atau mungkin menahan hasrat liarnya yang sudah sangat menggebu melihat gadis cantik nan polos itu yang sedang asik memakan-makanannya.
Such a pretty little girl...
Ingin sekali Leonard menganggap Vanessa sebagai anaknya sendiri.
Well, anak dalam arti lain.
"Apa kau sudah selesai?" Tanya Leonard. Vanessa tiba-tiba menghentikan kegiatannya ketika mendengar pertanyaan dingin dari Mr. Watson, ia baru saja menghabiskan sup yang terasa sangat lezat itu. Dan Mr. Watson sepertinya sudah tak sabar lagi ingin melakukan 'setelah ini', membuat Vanessa kembali gugup.
"Ah, i-iya.. aku sudah selesai..." jawab gadis itu polos dengan wajah lugu, Leonard kian frustasi ketika melihat wajah itu. Sangat cantik dan polos, bagaimana nantinya wajah itu akan mendesah dan nenjerit di bawah tubuhnya. Pasti akan sangat menyenangkan.
"Ikut aku!" Kata Leonard, pria itu lalu berdiri dari duduknya seraya membenarkan pakaiannya tanpa menatap Vanessa sedikit pun.
Sementara Vanessa hanya bisa mengekor pria itu dari belakang sambil tertunduk, ia benar-benar menjual harga dirinya kepada p****************g. Dan betapa beruntungnya Vanessa p****************g yang satu ini sangat sempurna, mungkin hal itulah yang membuat dirinya merasa berkecil hati. Mr. Watson adalah sesuatu yang sangat sempurna.
Tiba-tiba Vanessa membentur bahu besar milik pria itu, tak menyadari jika dirinya kini ada di sebuah kamar dengan lagi-lagi fasilitas mewah. Vanessa berdiri di depan pintu ketika pria itu berhenti, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah ini.
Vanessa bukan wanita penghibur pada umumnya, haruskah ia menari striptis dan membuka seluruh pakaiannya 'setelah ini'? Vanessa malah berdiri layaknya patung, yang sialnya terlihat sangat cantik dan sempurna di mata Leonard.
Kedua insan itu saling mengagumi satu sama lain, namun keduanya selalu membantah hal tersebut dan menganggap semua ini hanyalah bisnis. Ketika satu orang membutuhkan kepuasan semata dan yang lainnya membutuhkan uang, lagi-lagi timbal balik itulah yang berhasil menjauhkan sisi romansa setiap orang.
Leonard yang sudah menunggu terlalu lama untuk hal ini akhirnya menarik lengan gadis itu dan menimbulkan pekikan kecil dari bibir Vanessa, menutup pintu dengan keras dan menghimpit tubuh Vanessa.
Mengecup bibir itu dengan rakus, Leonard sangat menyukai rasanya. Sangat manis, belum lagi aroma memabukan yang berasal dari leher jenjang gadis itu. Berhasil membuat geraman dari bibir Leonard dan entah mengapa hal itu terdengar sangat seksi di telinga Vanessa.
"Kau tidak tahu caranya berciuman dengan baik?" Tanya Leonard di sela ciuman seraya membuka jasnya.
"Sejujurnya, aku tidak pernah melakukan ini." balas Vanessa dengan nafas beratnya.
"What the-" Leonard mengumpat lalu segera menghentikan aksinya, Vanessa hanya bisa terdiam. Apa ia baru saja mengacaukan suasana?
Leonard menaikan sebelah alisnya bingung, menatap Vanessa dari ujung kaki hingga kepala.
"Apa kau tidak melakukannya sebelumnya?" Tanya Leonard, Vanessa mengangguk.
"Sama sekali?" Gadis itu kembali mengangguk meng-iyakan.
"Apa kau masih perawan?" Pertanyaan Leonard barusan berhasil membuat Vanessa kembali terdiam kayaknya patung, lagi-lagi ia mengangguk pelan dan hal itu berhasil membuat Leonard mengusap wajahnya frustasi. Leonard sempat berpikir, gadis seusia Vanessa pernah melakukan hal itu dengan lelaki seusianya. Entahlah mungkin saat di high school, tapi kenyataannya gadis itu benar-benar masih suci.
"Apa Audrey tidak memberitahumu?" Akhirnya Vanessa memberanikan diri bertanya.
"Audrey hanya berkata bahwa kau sudah siap." Balasnya, kedua orang itu hanya bisa terdiam. Vanessa hanya bisa menyandarkan tubuhnya di daun pintu sementara Leonard mengacak rambutnya frustasi. Gadis itu menggigit bibirnya, ia benar-benar mengacaukan malam ini.
Leonard menghembuskan nafas kasar lalu beralih ke nakas mengambil sesuatu, "aku punya sebuah kontrak untukmu, pulanglah dan baca baik-baik. Jika kau setuju kembalikan padaku beserta dengan tanda-tanganmu disana, jika tidak. Kau tidak perlu mendatangiku..."
Vanessa sedikit terkejut mendengarnya, ini tidak seperti yang Audrey katakan.
"Aku pikir hanya satu malam ini saja." kata Vanessa dengan nada lemah.
"Kau bercanda? Tentu tidak." Balas pria itu, Vanessa menerima sebuah amplop besar yang berisikan beberapa lembar kertas. Ia tidak mengerti, namun Mr. Watson memintanya untuk pulang dan membacanya baik-baik. Gadis itu menggenggam amplop tersebut dengan kuat, masih banyak hal yang sama sekali tidak mengerti di dunia ini. Ia ingin mundur setelah Mr. Watson melakukan hal ini padanya.
Namun sepertinya dirinya sudah terlanjur basah, dan Mr. Watson mengetahui bahwa diriya juga ingin. Dan lagi, ia tidak mungkin menarik kembali ucapannya dan membuat Lisa menunggu terlalu lama.