Miko duduk berhadapan dengan laras di teras belakang. Posisi mereka terlihat dari jendela Bina yang memang letaknya tidak jauh di sana. “Apa lagi sih?” Dengus Miko kesal.
“Buka blokirnya dong kak? Jangan kaya gitu, kakak kejam banget loh sama aku. Aku nungguin kakak enam tahun loh kak. Kakak kayaknya nggak ada belas kasihnya sedikitpun.” Ucap Laras memelas.
“Yakin nunggu enam tahun? Beneran nunggu apa sambil jalan sama cowok lain?” Ucap Miko dalam hati. Tidak akan mengatakannya karena Miko memang seperti itu.
“Gue sama lo nggak ada kepentingan pekerjaan. Nggak ada kepentingan pribadi juga jadi buat apa? Udah deh Ras, lo mendingan ngapain kek jangan ganggu gue mulu!” Balas Miko kesal. Bina bisa menilai bahwa dua orang yang sedang duduk itu memiliki hubungan yang lebih dari teman. Wanita bernama Laras itu menurut Bina selalau menatap Miko dengan tatapan penuh cinta sementara Miko sendiri terlihat kesal tapi tidak dingin. Entah kenapa Bina sedikit merasa iri pada wanita itu, karena sekian lama akhirnya Bina bisa menemukan orang yang di takuti Arumi tapi Bina tidak mungkin memilikinya.
“Kak, emang aku ada salah sama kakak?”
“Nggak Ada.”
“Terus kenapa di blokir?”
“Pengen aja.”
“Cuma gara-gara pengen?” Laras tidak habis pikir.
“Suka-suka gue lah, mau gue blokir lo kek mau gue nggak peduli sama lo itu urusan gue. Lo sama gue itu gak ada hubungan, temen aja bukan jadi nggak usah ribet. Udah ah gue ada urusan, pulang sana lo!” Ucap Miko kemudian beranjak meninggalkan Laras dengan kekesalan. Yuli tersenyum tipis meliht interaksi keduanya. Mulai membandingkan dengan interaksi Miko dan Bina. Dengan Laras, sebenarnya Miko sudah sedikit luluh setelah sekian lama. Enam tahun. Tapi Miko seperti tidak bergerak lebih karena Laras terlalu agresif, terlalu mandiri, terlalu tangguh sehingga tidak muncul kekhawatiran dari Miko. Sementara Bina berbeda pertemuan pertama mereka saja, Miko sudah inisiatif mengganggu dengan memepet Bina ke tembok. Itu di luar kebiasaan Miko yang biasanya akan langsung membentak menyuruhnya keluar jika menemukan orang asing di ruangannya.
Lalu Yuli juga cukup kaget ketika Miko membawa Bina pulang ke rumah karena merasa kos Bina tidak aman. Ini pertama kalinya laki-laki itu bergerak sejauh ini pada orang asing.
Selain itu Laras juga tidak jelas, dia seperti menarik ulur Miko. Menurut Yuli, Miko juga jadi bingung dengan sikap Laras yang berubah-ubah dan bersikeras selalu ingin terlihat tidak membutuhkan bantuan. Miko adalah laki-laki tipe melindungi, dengan adiknya juga dia protektif, karena itu jika Laras terlalu mandiri Miko juga bingung harus berbuat apa.
“Tante, bantuin dong! Nomor Laras di blokir sama kak Miko.” Laras merengek pada Yuli setelah Miko pergi.
“Lagian kamu juga bikin Miko bingung sih Ras, katanya suka tapi waktu diajak ke acara perusahaan bareng kamu malah nolak katanya tidak datang eh malah dateng sama orang lain.” Yuli mengomentari kelakuan Laras baru-baru ini.
“Waktu itu Laras udah janji duluan sama temen tan, nggak enak kalau Laras batalin.” Laras membela diri. “Lagian kalau ke acara itu sama kak Miko nanti di kira Laras dapat jabatan sekarang karena di bantu kak Miko lagi. Tante kan tahu Laras baru aja naik jabatan.” Tambah Laras lagi. Sikap inilah yang menurut Yuli kurang pas. Tapi Yuli merasa tidak berhak ikut campur terlalu jauh terhadap hubungan pribadi putranya sekalipun dia tidak suka dengan sikap Laras.
“Ya kan kamu udah tahu gimana keras kepalanya Miko, kamu udah kenal bertahun-tahun kan? Dia emang kaya gitu. Mungkin Miko butuh waktu kali Ras buat berpikir, tahan aja dulu cuma di blokir kan? Kamu juga masih bisa ketemu kan? Perusahaan kalian menjalin kerjasama kan?” Balas Yuli lagi. Laras mengangguk dan mendesah. Memang tidak ada yang bisa memaksakan sikap Miko. Laki-laki itu memang sedingin itu, seperti menciptakan tembok tinggi untuk semua orang. Tembok yang menyebalkan bagi Laras.
“Oh iya wanita yang tadi yang waktu itu di kantor Miko kan tan? Kok tante akrab sekarang?” Laras bertanya. Dia penarasan sekaligus merasa sedikit terusik dengan kehadirannya.
“Ohh Bina, iya tante udah minta maaf karena salah paham. Ternyata waktu itu yang salah Miko bukan Bina. Bina salah masuk ruangan Miko karena resepsionisnya salah kasih informasi tempat wawancara. Anaknya baik kok, dan dia lagi sedikit ada masalah gitu makanya diajak ke sini sama Miko.” Yuli bercerita dan perasaan Laras semakin terusik mendengar cerita Yuli.
“Ohh gitu, yasudah kalau gitu Laras pamit aja deh tan, sore ini ada acara.” Ucap Laras diangguki Yuli kemudian mencium punggung tangan Yuli dan beranjak pergi. Padahal sebenarnya mulutnya gatal ingin mengomentari kedekatan Miko dengan Bina yang seperti tidak di cegah oleh Yuli sedikitpun. Tapi tidak berani, takut Yuli marah dan dia malah jadi sulit mendekati Miko.
Sepeninggalan Laras, Bina keluar dari kamar pelan-pelan. Jalannya sedikit pincang. Yuli langsung menghampiri. “Bina mau kemana? Mau minum? Ibu ambilin aja.” Ucap Yuli ramah.
“Nggak usah ibu, Bina bisa kok, Bina masih bisa jalan. Bina minta minum yah buk!” Ucap Bina sopan. Yuli tersenyum lebar kemudian mengangguk. Miko keluar dari kamar diikuti oleh Bobbi.
“Kunci kosan lo mana?” Laki-laki itu bertanya pada Bina yang sedang minum kemudian gadis itu menoleh dengan bodoh. Tidak menjawab. Miko kesal. “Gue nanya sama lo! Sekarang telinga lo juga nggak berfungsi?” Ujar Miko frustasi. Bobi sudah cekikikan sendiri.
“Buat apa?”
“Ambil barang-barang lo lah! Lo pindah!” Putus Miko seenaknya.
“Enggak, aku udah bayar sebulan. Nanti aku bisa pindah sendiri kok.” Ucap Bina keras kepala. Yuli sudah melipir ke ruang tengah sejak tadi dan senyum-senyum sendiri melihat Miko tampak perhatian.
“Ampun banget deh yah! Bisa nggak lo kurangi dikit aja sikap ngeyel lo itu? Sumpah dari kemarin kerjaan lo itu bikin gue emosi mulu.” Miko mengomel. Bina seperti biasa langsung mengatupkan bibirnya. Sikap yang membuat Miko kesal karena secara bersamaan dia terlihat polos dan seksi. Tapi mana mau Miko mengakui. Harga dirinya setinggi harapan orang tua.
“Ya tapi aku nggak mau ngerepotin.”
“Siapa bilang gratis! Lo bayar pakai gaji lo nanti.”
“Aku di terima kerja? Langsung?” Wajah Bina berbinar. Miko diam saja membuat senyum Bina pudar kemudian mengerucutkan bibirnya. “Jangan PHP pak! Dosa tahu nggak!” Protesnya.
“Gue bilang gaji lo kan bisa dari mana aja. Emang lo kerja nggak di gaji? Emang kerjaan di perusahaan gue doang? Yang lain banyak!” Miko mengulangi ucapan Bina tadi ketika di mobil untuk menyindir. Bina kembali mengerucutkan bibirnya sebal. Rupanya Miko jenis laki-laki pendendam. Bina harus mulai berbicara dengan hati-hati atau jika laki-laki marah ucapan Bina bisa berubah menjadi sindirian.
Bobi duduk di sofa sambil memakan cemilan bersama Yuli, menyaksikkan perdebatan romantis itu.
“Yang satu gengsinya sekebon, yang satu polosnya mendekati bodoh. Yaudah begitu aja sampai kiamat.” Bobi berkomentar. Mengundang kikikkan geli dari Yuli.
“Padahal aslinya peduli banget itu boss kamu Bob, bisa-bisanya minta kunci kosan dan mau gotong barang-barang Bina padahal kan itu privasi. Udah keluar jalur dia.” Yuli terkekeh.
“Biarin aja Tan, kita nonton aja mau sampai kapan mereka kaya begitu.” Balas Bobi lagi.
“Mana kunci kosan lo? Buru! Gue banyak kerjaan nggak cuma ngurusin lo doang.” Ujar Miko lagi. Bina menggerutu dalam hati kemudian merogoh kantong celananya dan menyerahkan kunci kamar kosnya begitu saja. Yuli melongo, Bobi juga.
“Benar-benar si bodoh dan si kaku ini.” Ucap Bobbi setelah beberapa detik diam.
“Kok di kasih sih?” Yuli bertanya heran.
“Bina bodohnya nggak tertolong emang tan.”
“Ayo Bob!” Ajak Miko tanpa menoleh setelah mendapatkan kunci kamar Bina.
“Barang aku cuma yang di tas hitam doang, selebihnya punya ibu kos. Barang yang lain masih tertinggal di kos lama.” Cicit Bina membuat Miko menoleh dan kembali mendekat dengan sebal.
“Kos lama dimana?” Dengusnya jengkel. Bina menyebutkan sebuah alamat kemudian memberikan sebuah kunci lagi.
“Lo ribet emang yah! Ribet hidup lo!” Kesalnya lalu pergi begitu saja membuat Bina cemberut. Yuli tersenyum Lebar melihat kepedulian berlebihan putranya pada Bina.
“Udah tahu ribet masih di bantuin, udah gitu bantunya maksa pula. Dasar Miko nggak romantis.” Gumam Yuli seorang diri sambil mengulum senyum.
“Nggak ada barang-barang pribadi banget emang? Kok main kasih aja kuncinya sama Miko?” Yuli akhirnya bertanya.
“Nggak ada kok buk lagian Bina emang kebiasaan selalu packing setiap hari soalnya hidup Bina berpindah-pindah. Dan pak Miko serem buk kalau nggak di turutin, tadi aja di mobil Bina di katain bodoh.” Adu gadis itu membuat Yuli tertawa.
“Dia emang kaya gitu.” Kekehnya. “Kamu yang harus sabar banget Bin.” Tambah Yuli lagi. Bina mengangguk pasrah. Mau bagaimana lagi, tidak bisa di pungkiri bahwa Bina memang akan membutuhkan pengaruh Miko untuk melindunginya dari Arumi. Sekalipun Miko menyebalkan, Bina akan berusaha untuk bertahan.
“Loh ada Bina?” Haryo pulang. Yuli langsung menghampiri suaminya itu dan mencium tangannya sopan. Bina juga demikian, gadis itu menghampiri mantan dosennya itu dan menyalaminya dengan sopan.
“Iya yah, bolehkan sementara Bina tinggal di sini dulu?” Ucap Yuli. Haryo tersenyum lebar, rupanya istrinya yang penurut itu sudah berdamai dengan Bina dan sekarang malah terlihat sudah sayang dengan gadis itu. Haryo tidak perlu menebak alasannya karena dia tahu. Bina sedikit mirip Nana, jenis wanita yang mudah di sayang. Selain itu dimata Haryo Bina baik, pekerja keras, tangguh dengan caranya dan yang paling penting wanita baik-baik.
“Boleh dong, malah bagus kan jadi rame. Lagian lumayan bapak bisa minta bantuan Bina koreksi soal yah?” Jawab Haryo dengan nada bercanda. Bina tersenyum kemudian mengangguk.
“Ayah ih!”
“Bina dulu lulusan terbaik di kampus loh bund, semua nilainya tinggi. Hebat pokoknya. Sebelas dua belas sama Miko lah.” Ujar Haryo membuat mata Yuli berbinar. Tambah satu lagi nilai plus Bina di matanya sebagai kandidat calon mantu.
“Wahhh hebat dong, pantesan Miko nggak pakai protes pas bunda minta kesempatan wawancara sekali lagi buat Bina. Ternyata pinter.” Puji Yuli tulus. Wajah Bina memerah.
“Pak Haryo terlalu memuji saya saja buk.” Ucap Bina pelan. Sedikit malu-malu. Menggemaskan dimata Yuli.
“Kenapa luka-luka? Ibu tiri kamu lagi?” Haryo bertanya.
“Loh Ayah tahu?”
“Tahu dong, dulu jaman kuliah aja beberapa kali dia berusaha buat keluarin Bina dari kampus. Beberapa kali Bina mau di culik juga bund.” Jawaban Haryo membuat Yuli cukup takjub dengan perjuangan Bina menempuh pendidikan. Rupanya Bina tangguh juga sama seperti Laras, tapi tangguh dalam artian yang berbeda.
***
Miko diam saja sepanjang perjalanan menuju tempat kos Bina. Bobi sudah gatal ingin meledek tapi melihat Miko sepertinya sedang berpikir serius, Bobi tidak jadi meledek. “Lo udah mulai cari tahu soal ibu tirinya Bina kan Bob? Gue nggak mau lama yah! Gue udah kasih tahu deadlinenya.” Ujar Miko mengundang senyuman di wajah Bobi. Laki-laki itu tidak tuli dan dia mendengar ketika Miko mengatakan Bina adalah wanitanya di depan ibu tirinya tadi.
“Iya Boss udah, tenang aja gue juga minta mereka mencari tahu lebih jauh tentang wanitanya boss.” Jawab Bobbi dengan senyuman geli. Ingin tertawa tapi di tahan. Apalagi melihat ada sedikit semburat merah di wajah Miko. Sungguh itu lucu sekali. Bossnya terlihat malu-malu.
“Gue bilang gitu buat nakut-nakutin wanita itu aja. Jangan salah paham.” Ucap Miko berusaha menjelaskan padahal biasanya mau di katai seperti apa Miko tidak akan peduli dan diam saja. Tapi kali ini melakukan pembelaan? Seolah takut Bobbi salah paham. Padahal dengan dia bersikap seperti ini Bobbi justru sudah salah paham.
“Ohh gitu.” Bobi terkekeh geli. Miko menoleh.
“Gue harus punya alasan lindungi Bina, kalau si wanita itu tahu gue orang asing bagi Bina dia nggak akan takut Bob.” Miko kembali menjelaskan. Sungguh senyuman geli Bobi semakin lebar.
“Nggak usah di jelasin segitunya juga gue paham boss, lo diem aja gak jawab juga biasanya gue paham kan boss?” Ujar Bobi geli. Miko terlihat salah tingkah tapi tetap berusaha mempertahankan raut wajah dinginnya. Bobi tidak kuat menahan tawa tapi dia harus melakukannya atau Miko akan menurunkannya di tengah jalan karena jengkel.
Mereka sampai di kosan Bina dan Miko meminta ijin untuk mengambil barang-barang milik Bina. Bu Fajar yang sudah mendengar tentang kejadian yang terjadi pada Bina menatap Miko prihatin. “Jadi masnya ini pacarnya neng Bina yah?”
“Iya buk.” Bobi yang menjawab karena Miko masih diam. Lagipula Miko tidak membantah dengan klaim yang di sebutkan oleh Bobi tadi.
“Syukurlah kalau neng Bina ada yang ngelindungin, kasihan banget loh waktu pertama kali datang juga cuma bawa tas kecil dan peralatan makan aja nggak punya. Tapi anaknya tetep ceria dan ramah padahal ibu tahu hidupnya sulit.” Bu Fajar bercerita. “Waktu itu juga ayahnya datang ke sini, hampir aja melecehkan Bina kalau ibu nggak lewat depan kamarnya dan mendengar suara Bina memohon dengan ketakutan.” Ucap Bu Fajar lagi. Mata Miko membulat. Bina memang menceritakan kisah hidupnya yang berat tapi tidak menceritakan perihal ayahnya yang ternyata pernah hendak melecehkannya. Pantas saja dia ketakutan sampai seperti itu ketika melihat Miko tidak pakai baju dan mendekat ke arahnya. Tiba-tiba Miko merasa bersalah sudah sekejam itu pada Bina. Pasti dia trauma.
Bobi yang mendengar itu ikut menggertakkan giginya marah. Bagaimanapun seharusnya sudah kodratnya orang tua melindungi anak bukan malah sebaliknya.
“Terimakasih sudah memberitahu buk, kami permisi.” Pamit Miko sopan setelah mengambil barang milik Bina yang ternyata memang sudah rapih di dalam tasnya. Sepanjang perjalanan Miko di landa rasa bersalah.
“Pantesan aja waktu itu dia nangis sampai kaya gitu pas liat lo nggak pakai baju boss, dia trauma kayaknya.” Ucap Bobi. Miko diam saja, terlihat sedang berpikir berat. Bobi menebak boss sekaligus sahabatnya itu sedang merasa bersalah. Bobi mengulum senyum.
Ketika sampai di tempat kos pertama Bina juga Miko dan Bobbi kembali mendengar cerita yang sama. Bahkan lebih menyebalkan. Ayahnya sudah sampai memaksa Bina membuka baju dan kepergok ibu kos. Demi apapun kepala Miko mendidih mendengarnya. Percampuran antara marah dan rasa bersalah. Mana tadi dia beberapa kali mengatai Bina cengeng.
“Jadi ketemu Gevan setelah ini boss?” Bobbi bertanya setelah mereka sampai di rumah Miko.
“Jadi tapi agak malam aja yah Bob, lo bawa aja mobil gue.” Ucap Miko setelah menurunkan barang-barang milik Bina dan melipir masuk begitu saja tidak mengajak Bobi. Laki-laki itu tersenyum geli.
Ketika Miko masuk, Bina terlihat sedang duduk di kursi dapur benar-benar mengupas bawang membantu Yuli memasak makan malamnya. Lukanya terlihat sakit dan mengganggu, untuk beberapa detik Miko menatapnya dengan prihatin.
“Barang lo nih, gue taruh kamar.” Ucap Miko tanpa menoleh dan langsung melipir ke kamar yang di tempati Bina. Yuli tersenyum geli, Haryo yang sedang duduk di ruang makan sambil membaca buku menaikkan sebelah alisnya. Melihat putranya yang cuek bebek itu terlihat peduli.
“Makasih pak Miko.” Cicit Bina pelan ketika Miko keluar dari kamarnya dan hendak mengambil minum di kulkas.
“Pak, pak mulu! Gue belum jadi atasan lo.” Laki-laki itu berucap ketus. Padahal Yuli dan Haryo paham betul, Miko hanya ingin di panggil dengan lebih akrab saja oleh Bina.
“Panggil mas Miko aja kalau di rumah Bin.” Yuli memberi saran. Bina mengangguk.
“Iya, makasih banyak mas Miko.” Ucap Bina pelan dan Miko tersedak minumannya membuat Yuli tertawa lantang. Laki-laki itu langsung cepat-cepat menuju kamarnya karena malu. Kenapa panggilan Bina yang tidak menggunakan embel-embel ‘pak’ terdengar begitu seksi? Apalagi suara Bina memang terdengar manja dan polos. Miko bisa gila rasanya karena selain berubah menjadi lebih banyak bicara Miko juga mulai berubah menjadi monster m***m sejak bertemu Bina.
“Bina sialan!” Umpatnya melihat sesuatu di balik celananya bangkit hanya karena di panggil mas oleh Bina dengan suara pelan yang terdengar seksi di telinga Miko itu. Padahal di telinga Haryo dan Yuli biasa saja.
Miko masuk ke dalam kamar mandi, membanting pintunya keras dan mengumpat lagi di dalam sambil meraih sabun. “Kemarin paha sama bibir, sekarang di panggil mas?” Gerutunya kesal sambil menahan gairahnya yang mulai bangkit karena kembali teringat lembutnya bibir Bina yang menempel di bibirnya kemarin. Rasa-rasanya lama-lama Miko bisa gila berdekatan dengan Bina.
***