Uang 200 Juta

1312 Kata
Pagi ini Wulan sudah disibukkan untuk mempersiapkan pakaian yang akan dipakai model saat pemotretan siang ini. Ia sudah mondar-mandir mempersiapkan dari mulai baju, sepatu, hingga aksesoris sesuai dengan yang diperintahkan oleh Agni, fashion stylist--nya.   “Wulan, kamu sudah ambil sepatu dari desainer kemarin belum? Sepatu itu akan dipakai siang ini loh,” perintah Agni yang juga sibuk mempersiapkan hal lainnya. “Sudah kok Bu, ini barang terakhir yang harus diambil,” jawab Wulan masih terengah-engah setelah mempersiapkan semua hal untuk dipakai model siang ini. “Nanti kamu berangkat sama saya saja ya Lan, kita makan siangnya di luar saja biar tidak telat,” ujar Agni sambil melangkah menuju mobilnya diikuti Wulandari di belakang. “Baik Bu,” jawabnya singkat.   Wulandari Maheswari memang wanita pekerja keras. Di usianya yang baru 24 tahun ia sudah harus menjadi penopang hidup untuk keluarganya. Ayahnya sudah meninggal dua tahun yang lalu karena sakit, saat ini ia harus mencari uang sambil mengurus ibu nya yang sedang sakit jantung. Setelah lulus sekolah, Wulan sempat mengenyam Pendidikan kuliah jurusan fashion design, namun ia tidak sanggup menyelesaikan kuliahnya semenjak ayahnya sakit dan kemudian meninggal. Saat itu ia memutuskan untuk berhenti kuliah dan mencari pekerjaan. Sampai pada akhirnya ia bertemu dengan Agni, fashion stylist yang kemudian mempekerjakannya menjadi seorang asisten. Untunglah Wulandari sempat mengambil kuliah fashion design jadi ia tidak perlu kesulitan untuk bekerja dengan Agni. Wulan saat ini sedang memperhatikan model yang sedang lenggak-lenggok di depan kamera, mempertontonkan tubuh dan pakaiannya pada fotografer, namun pikirannya tidak disana. Wulan tiba-tiba merasakan hal yang tidak enak di hatinya, “sedang apa ya Ibu sekarang?” batin Wulan. Baru saja Wulan ingin mengambil ponselnya di dalam tas, fotografer memberi isyarat bahwa photoshoot untuk pakaian pertama sudah selesai, “ganti baju berikutnya ya!” perintah sang fotografer. Wulan bergegas mempersiapkan pakaian untuk model tersebut, memakaikannya di badan model tersebut sambil sesekali mengecek detail kecil yang terlewat.   Agni memperhatikan kinerja Wulan yang baik, diam-diam pergi keluar untuk membelikan makan siang untuknya dan asistennya tersebut. “Nih, kamu makan dulu Lan,” Agni duduk di sebelah Wulan sambil memberikan nasi kotak lengkap dengan minuman dingin. “Makasih banyak Bu, tahu saja saya sudah lapar hehehe,” Wulan yang dari tadi sudah merasakan perutnya keroncongan tanpa pikir panjang melahap makanan yang diberikan bosnya itu. “Wulan, gimana kabar Ibu kamu? Sudah sehat?” Agni membuka pembicaraan karena teringat beberapa hari yang lalu Wulandari sempat izin mengantar ibunya ke rumah sakit karena sakit jantungnya kambuh. “Sudah lebih baik, Bu. Sekarang sudah dirawat di rumah kok,” jawab Wulan. “Loh kalau kamu kerja, Ibu di rumah dengan siapa?” tanya Agni dengan nada sedikit khawatir. “Ada tetangga yang sudah saya anggap seperti Nenek saya sendiri Bu. Kalau saya lagi tidak ada di rumah, nNenek yang jaga ibu. Kalau saya sudah pulang, Nenek baru kembali ke rumahnya,” jelas Wulan. Setelah menjawab pertanyaan Agni ia tersadar harus menelepon ibu nya di rumah, beberapa kali ia coba telepon tidak diangkat. Wajah cantik Wulan mulai pucat. Melihat itu, Agni memberi saran, “kamu tahu nomor telepon Nenek?” tanya Agni. Wulan hanya menggeleng lemas, “Bu, bolehkah saya pulang ke rumah sebentar hanya untuk melihat keadaan ibu saya? Setelah itu saya akan kembali ke sini?” Wulan panik, ia harus melihat langsung keadaan ibunya saat ini juga. Agni langsung mengijinkan Wulan untuk pulang ke rumahnya.   Wulan sudah sampai di halaman rumahnya, berkali kali mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban. Wulan mencoba tidak panik, dan mengambil kunci cadangan dari dalam tasnya. Ceklek! Pintu berhasil terbuka, Wulan langsung bergegas mencari ibunya. “Ibu! Ibu!” tidak ada jawaban dari ibunya, Wulan panik dan langsung mencari ke dalam kamar. Betapa terkejutnya Wulan melihat ibunya sudah terkulai lemas di lantai sambil memegang gelas kosong. “Ibu kenapa? Kok bisa jatuh?” tanya Wulan panik. “Ibu haus Nak, mau ambil minum,” jawab Ibunya masih dengan lemas. “Nenek kemana? Kok Ibu ambil sendiri?” Wulan membombardir ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab rasa paniknya. “Nenek tadi izin sebentar jemput cucunya di sekolah nak, jadi Ibu sendirian di rumah,” jelas ibunya. Wulan bergegas mengambil minum di dapur, tiba-tiba terdengar suara aneh dari dalam kamar ibunya. Wulan berlari menghampiri sumber suara dan menemukan ibunya sesak napas, Wulan panik dan langsung menelpon tetangganya untuk mengantar ibunya ke rumah sakit.   Wulan sudah sampai di UGD rumah sakit dekat rumahnya. Setelah dokter memeriksa keadaan ibu, dokter bilang ibu tidak diijinkan untuk pulang ke rumah malam ini karena sesak napasnya bisa jadi berhubungan dengan kondisi jantung ibu. Langsung saja ia menuruti perkataan dokter. Ia akan melakukan apa saja untuk kesembuhan ibunya, karena hanya ibunya lah keluarga satu-satunya yang tersisa. Satu minggu ibunya dirawat di rumah sakit, Wulan diarahkan untuk mengurus administrasi ibunya. Saat itu Wulan merasa seperti dihantam palu godam, melihat tagihan rumah sakit yang harus dibayarkan, padahal saat itu ibunya belum juga diperbolehkan untuk pulang karena kondisinya yang memburuk.   Wulan terduduk di lorong rumah sakit sesekali ia memijat pelipisnya dengan pelan. Tabungan yang tersisa di rekening Wulan saat ini pun tidak mampu melunasi setengah dari tagihan ibu, ia juga sudah tidak bisa meminjam uang pada Agni karena minggu lalu ia sudah pernah pinjam uang dan belum juga ia kembalikan. Tiba-tiba ia terpikir untuk meminjam uang pada rentenir yang pernah menawarkan untuk meminjamkan uang padanya. Wulan mengeluarkan ponselnya untuk menelepon rentenir tersebut, namun tak lama kemudian mengurungkan niatnya karena memikirkan resiko yang harus ia hadapi. Wulan menutup phonebook ponselnya, dan muncul foto ia dan ibunya di ponselnya tersebut. Tak sadar air mata Wulan jatuh membasahi pipinya, “Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” tangis Wulan.   Wulan menenggelamkan wajahnya di telapak tangannya menangis sejadi-jadinya. Setelah menguatkan diri, Wulan menghapus air matanya dengan mantap dan mulai menelepon rentenir tersebut.   “Halo... Saya kira kamu tak akan telepon saya,” sapa laki-laki di ujung telepon menyambut telepon Wulan dengan senang hati. “Halo, bisa saya pinjam uang? Saya sedang butuh uang segera,” Wulan langsung menjelaskan maksudnya pada laki-laki tersebut.   Laki-laki bernama Juan itu tertawa lepas, “hahaha! Tentu saja boleh, sayang. Tapi kamu tahu bukan pinjam uang dengan saya sistemnya seperti apa?” Juan bertanya pada Wulan namun Wulan terdiam tak menjawab. Saat itu juga Juan menjelaskan tentang bunga dan tenggat waktu p********n pinjaman Wulan. “Jadi kamu ingin pinjam uang berapa?” tanya Juan santai. “Dua ratus juta,” jawab Wulan mantap.   Setelah itu telepon ditutup, dan tak lama kemudian uang senilai dua ratus juta terkirim ke rekening Wulan. Setelah itu Wulan bergegas ke kasir rumah sakit untuk melunasi tagihan-tagihan rumah sakit ibu, tak lupa memasukkan sedikit deposit untuk berjaga-jaga dengan tagihan selanjutnya mengingat ibunya belum juga diperbolehkan pulang ke rumah. Setelah selesai urusan p********n rumah sakit, Wulan kembali ke kamar dimana ibunya dirawat. Ibunya terlihat sedang tertidur pulas, saat itu Wulan langsung duduk di kursi di sebelah ranjang, dan meraih tangan ibunya ke dalam genggamannya. “Ibu ... Ibu harus sembuh, Wulan tidak bisa kalau tak ada Ibu. Wulan tidak bisa Bu,” Wulan menangis tersedu-sedu membasahi tangan ibunya.   Merasa ada sesuatu yang menangis di sebelahnya, membuat ibunya terbangun. “Nak, kamu kenapa?” tanya ibu. Wulan mengangkat kepalanya menatap mata ibu nya yang masih sayu, “tidak apa-apa kok, Bu. Wulan sedih lihat Ibu sakit. Ibu harus cepat sembuh ya Bu?” Wulan kembali menenggelamkan wajahnya di perut ibunya, diikuti dengan tangan ibunya yang mengelus puncak kepala Wulan dengan penuh sayang. “Maafkan Ibu ya Nak, Ibu membuat kamu susah.” Air mata ibu perlahan membasahi pipinya, dan langsung dihapus dengan punggung tangannya saat itu juga. “Ibu ngomong apa? Ibu tidak pernah menyusahkan Wulan. Ibu jangan berpikir aneh-aneh, yang penting sekarang Ibu harus sembuh dan menemani Wulan lagi.” Wulan menjawab tanpa mengangkat kepalanya, rasanya nyaman sekali seperti ini. “Terima kasih ya, Nak” jawab ibu. “Aku rela ambil resiko ini demi Ibu, Bu,” jawab Wulan dalam hati.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN