Ali membuka hendel pintu, ia menatap wanita itu meringkuk di tempat tidur. Kejadian semalam memang membuat hati dan pikirannya lelah. Pertengkaran hebat antara dirinya dan Ela. Ia hanya tidak ingin wanita itu sakit karena dirinya.
Ali melangkah mendekati Ela. Ali duduk di sisi ranjang menatap penuh prihatin, sungguh ia tidak ingin melihat wanita itu seperti ini, wanita itu terlihat rapuh. Ia lebih suka melihat deretan gigi putihnya tersenyum dan tertawa bersamanya.
Lihatlah sekarang, Ela malah membenci atas tindakkanya. Ali melihat ponsel yang tergeletak di samping wanita itu. Ia lalu meraih ponsel itu, dan disimpannya di nakas. Ali menyingkirkan rambut Ela yang menutupi sebagian wajahnya.
Ali memperhatikan pecahan kaca di lantai, pecahan kaca itu masih ada, sisa pertengkaran semalam. Hari ini ia putuskan untuk pindah dari hotel ini, sesuai rencananya dari awal. Ia ingin membawa Ela bersamanya. Ia sama sekali tidak berniat, melepaskannya begitu saja. Ia tidak ingin wanita itu sendiri seperti ini.
Ali menduga, bahwa Ela baru saja tidur beberapa jam yang lalu, terlihat jelas tv itu menyala, dan gorden tertutup rapat. Wanita itu tidak sadar, ketika ia mengelus rambutnya seperti ini.
"Mari kita pergi dari sini" gumam Ali. Ia mengelus rambut lurus itu.
Ali tahu apa yang akan ia lakukan. Pagi ini ia dan Ela harus pindah. Ia tidak ingin wartawan terus mengejarnya, dan mengetahui keberadaanya. Ia harus membawa Ela bersamanya. Ali menegakkan tubuhnya mengambil tas kecil milik Ela.
Tas kulit inilah yang selalu dibawa wanita itu. Ali membuka tas itu mengambil, paspor, dan visa Ela. Ia selipkan di jaketnya, karena kedua berkas inilah yang sangat berharga bagi wanita itu. Ali memperhatikan dompet berwarna coklat itu, memperhatikan satu persatu ATM, Id Card, Sim, dan beberapa uang didalamnya. Uang itu tidak terlalu banyak, mungkin ia akan menambahkan lagi uang di dalam dompet itu.
Ali merogoh dompetnya dan ia mengambil beberapa lembar uang disana, dan ia tambahkan ke dalam dompet itu. Ia tahu sewaktu-waktu wanita itu memerlukannya.
Ali beralih menatap Ela, wanita itu masih meringkuk seperti bayi, dan memperhatikan pergelangan tangan wanita itu. Ia masih mengenakan jam tangan dan cincin pemberiannya. Ali tenang, karena wanita itu masih memakai pemberiannya.
Ali kembali duduk disisi ranjang. Ali mengusap wajah Ela. "Ela, bangunlah" Ali mencoba membangunkan wanita itu.
"Ela bangunlah, kita harus pergi dari sini" ucapnya sekali lagi, ia menggoyang bahu Ela dengan pelan. Ia harus membangunkan wanita itu dengan perlahan-lahan.
Walau dengan cara apapun wanita itu harus bersamanya. Ia harus membela wanita ini. Wanita ini tidak tahu apa-apa tentang dirinya, dirinya memang bersalah telah memasukan Ela kedalam permasalahan hidupnya.
Ela mengerjapkan matanya secara perlahan. Suara berat itu membangunkannya. Ia memfokuskan matanya secara perlahan. Ia terdiam, menatap Ali disampingnya. Ia menjauhkan jemari Ali dari wajahnya dan menepis tangan itu. Tubuhnya otomatis menjauh, menepi di sisi tempat tidur.
"Kenapa kamu ada disini" ucap Ela.
Ali menarik nafas, ia mencoba menenangkan wanita itu, "Ela...".
"Saya tidak ingin melihat kamu. Pergi kamu dari hadapan saya".
Ali meraih tangan lembut itu, "Ela, tenanglah. Ayo kita pindah dari sini".
Ela memberontak, ia menepis tangan Ali sekali lagi. Ali mengeraskan cekalannya, walau sang pemilik tangan memberontak.
"Saya ingin kita pindah !"
"Saya tidak ingin pindah, saya tidak ingin bersama kamu lagi" teriak Ela.
Ali menarik tangan Ela, agar mendekat kearahnya, Tubuh Ela otomatis sudah berada didekapannya. Wanita itu masih keras kepala, tidak mau mendengar perintahnya.
Ali menarik nafas, menatap wajah itu yang masih emosi "Dengarkan saya, kita harus pindah dari sini !" Ali mengeraskan suaranya.
Ela seketika terdiam, ketika laki-laki itu berucap. Rahangnya mengeras, dan menatap iris matanya lekat-lekat. Ali menahan amarahnya.
"Saya tidak ingin pindah, kamu saja pindah, jangan bawa bawa saya dalam masalah hidup kamu" Ela kembali menyulut emosi.
"Semua orang sudah tahu keberadaan kita" Ali menyudutkan Ela disisi tempat tidur.
Ela memberontak, ia berusaha melepaskan cekalan tangan Ali. "Kamu bukan siapa-siapa saya, kamu tidak berhak mengatur-ngatur saya. Saya tidak ingin bersama kamu. Tinggalkan saya sendiri, pergi kamu dari hadapan saya !".
"Diluar sana banyak yang mengetahui keberadaan kita disini Ela".
"Saya tidak peduli, itu urusan kamu. Sekarang urusan kita selesai. Jangan harap saya mengikuti mau kamu" Ela menegakkan tubuhnya, menjauhi Ali.
"Keluar kamu dari kamar saya !" Teriak Ela.
Ali melipat tangannya didada, wanita itu masih tidak bisa di ajak bekerja sama. Terlihat matanya masih penuh dengan kebencian.
"kamu membenci saya" tanya Ali.
"Kamu masih bisa berkata seperti itu, jelas saja saya sangat membenci kamu. Rasa benci saya sudah di ujung kepala".
Semalam Ela memperhatikan satu persatu i********:, f*******:, dan sosial media lainnya. Semua akun sosial miliknya berubah menjadi puluhan ribu follower. Ia tidak habis pikir, ia baru saja mengetahui semuanya semalam. Disana bukanlah penggemarnya, melainkan hater menjelek-jelekkan dirinya.
"Keluarlah, saya sedang tidak ingin berdebat dengan kamu lagi. Saya sudah muak melihat wajah kamu" ucap Ela, ia lalu berjalan menuju pintu utama, dan dibukanya pintu itu untuk Ali.
"Keluar, jangan pernah muncul dari hadapan saya".
Ali memperhatikan Ela, wanita itu mengusirnya begitu saja. Ali memandang Ela disana, ucapan Ela ia abaikan begitu saja. Baginya ucapan wanita itu, ia anggap emosi belaka. Ia pasti akan meluluhkan wanita itu kembali, bagaimanapun caranya. Ia harus membawa wanita itu bersamanya. Ia akan menunggu emosi wanita itu reda.
Ali melangkah mendekati pintu, langkahnya terhenti tepat di hadapan wanita itu. Ditatapnya wajah cantik itu, Ali dengan cepat meraih tengkuk Ela. Dikecupnya bibir tipis itu, sebelum memutuskan keluar dari kamar. Ali melepaskan kecupannya, dan ia menatap Ela.
"Tenangkan emosi kamu. Saya akan kembali lagi"
Sementara Ela mengatur nafasnya dan ia memandang punggung Ali dari belakang.
*********