Malam semakin larut banyak sebagian orang sudah terlelap masuk ke dalam alam mimpi dan ada juga yang lebih senang menghabiskan malamnya di tempat ramai dengan suara musik jedag-jedug yang membuat geleng-geleng kepala. Musik disko mengalun keras hanyut bersama hawa panas yang menyeruak keluar. Banyak orang di tempat itu mengikuti alunan musik tersebut.
Namun, malam ini Nathan merasa galau sekali. Teman-temannya mengikuti irama musik bersama para gadis, sedangkan ia menatap sendu gelas tanggung yang berisi wine rasanya sedikit pekat, sesekali terasa manis di lidahnya.
Ia menghela napas berat, gara-gara pertemuan dengan Kanaya rapatnya tadi pagi kalah tak memenangkan proyek tersebut karena dirinya belum beruntung. Nathan menyalahkan Kanaya yang membuat awal paginya menjadi berantakan dan sial. Lelaki itu pun masih ingat betul dengan wajah Kanaya yang menurutnya sangat menyebalkan dan tampak wanita sombong.
“Kau seperti sedang banyak masalah, Pak? Ada apa?” tanya bartender sambil mengelap beberapa gelas. Ia merasa tertarik dengan pelanggan yang selalu datang di malam minggu. Hanya Nathan yang tak pernah membawa wanita atau tak pernah berbuat aneh-aneh di klub. Tak seperti teman-teman Nathan jika terlalu banyak minum ada yang sikapnya di luar kendali dan banyak berceloteh meracau.
“Hanya ada sedikit masalah yang ganjel,” jawab Nathan seraya meneguk winenya.
Di lain sisi. Teman-temannya sedang bersenang-senang. Tampak wajah mereka sumringah tak seperti wajah Nathan yang seperti cucian kotor yang belum dibilas.
Nathan menatap teman-temannya itu. Ia berpikir bahwa mereka sangat pintar bersandiwara karena dirinya yang dijadikan umpan. Iya, Nathan sebagai alasan para sahabatnya untuk izin kepada istri mereka masing-masing sebagai teman harus solidaritas, menemani Nathan di malam minggu supaya tak kesepian.
Pupil mata Nathan menangkap sosok yang tak asing. Familiar baginya, lantas lelaki itu beranjak dari tempatnya dan mendekati siluet tubuh remaja yang sedang asyik meliuk-liuk seperti cacing kepanasan.
“Gara-gara kamu aku kalah,” tegurnya sambil menarik tangan yang kerap kali disebut Kanaya.
Meski Kanaya memakai baju layaknya orang dewasa dengan rok mini di atas lutut dan baju atasan yang ketat menampilkan bukit kembar yang ukurannya besar. Nathan dapat mengenali remaja tersebut.
Kanaya memang berbeda dengan teman sebayanya, dari segi ukuran tinggi dan bentuk bukit kembar yang besar. Ia pantas disebut wanita dewasa karena Kanaya sudah matang sebelum waktunya. Hanya saja ia pecicilan dan masih polos.
“Argh ... Abang, ngapain di sini?” Kanaya terkejut dan ia membulatkan matanya. Dunia terasa sempit bisa bertemu lagi dengan Nathan.
“Jangan panggil aku Abang,” protes Nathan masih terus menyeret Kanaya menjauhi dari orang-orang yang sedang menikmati alunan musik dan sikap Nathan kepada Kanaya membuat Sera dan Qila mengerutkan dahi mereka masing-masing seraya menatap punggung Nathan.
"Harusnya kita tak di sini," keluh Qila.
"Kita sudah telanjur masuk ke dunia malam," pungkas Sera menatap lekat punggung Kanaya dan Nathan.
Dunia malam kejam. Ungkapan yang familiar banyak orang-orang. Bilang mengenai hidup di kota Metropolitan sangat keras dan sulitnya tinggal di kota besar itu.
Ada sebagian orang yang bekerja mencari penghidupan lebih baik lagi serta dengan diimbangi oleh sebuah hiburan salah satunya pergi ke klub malam. Banyak para pelajar SMA yang mencoba masuk menjadi bagian dari sebuah ekosistem di dalamnya dan mereka memilih gaya hidup salah.
Batasan usia bahkan tak lagi menjadi sesuatu yang diindahkan.
Hiburan malam sebenarnya adalah kegiatan yang pada umumnya identik sebagai opsi terbatas bagi mereka yang sudah cukup umur atau sudah dewasa, nampaknya tak lagi memegang peran yang semestinya. Cukup dengan melakukan beberapa trik tipuan, clubbing siap menjadi milik semua usia.
Iya, seperti itulah saat ini Kanaya dan teman-temannya bisa masuk karena ia memberi uang kepada para penjaga klub. Bagi Kanaya uang itu mudah didapatkan, para gadis itu mencari suasana berbeda saat berada di dalam club. Bagi seorang Kanaya itulah cara yang ampuh untuk kabur sesaat dari realita yang menjemukkan dan membosankan.
Kanaya memanfaatkan kegiatan clubbing sebagai sarana pelampiasan saja, ia biasa melakukan itu semua saat perasaan hatinya sedang kacau atau sedang mengalami masalah, apalagi menjadi anak broken home.
Ia selalu iri pada teman-temannya yang masih mempunyai keluarga utuh meski ekonomi mereka pas-pasan, tetapi masih mempunyai orang tua yang menyayangi mereka dan setiap hari ada di rumah, sedangkan Kanaya ia tak bisa merasakan hal itu lagi setelah orang tuanya bercerai. Begitulah cara Kanaya mencari hiburan tentunya tanpa terlepas dari minuman beralkohol.
“Kamu itu ... masih SMA, ngapain ada di sini?” Nathan melempar tanya. “Dasar bocah nakal.”
Mendengar rutukan Nathan membuat Kanaya mencebik dan ia melerai pegangan Nathan yang masih melingkar di tangannya. “Aku bukan bocah nakal. Aku sudah berusia tujuh belas tahun. So, aku juga bisa memuaskan Abang.”
Penuturan dari Kanaya terdengar oleh teman-temannya yang tiba-tiba datang setelah lelah bergoyang mengikuti irama musik. Mereka pun langsung menyambut hangat Kanaya yang ada di samping Nathan dan Arif merangkul Kanaya seraya menggiring remaja itu ke sebuah sofa tempat para lelaki matang itu menikmati malam yang panjang.
Sikap Arif membuat Kanaya tercengang dan raut wajahnya berubah merah. Ia pun marah seraya mengendikkan bahunya tak nyaman ada tangan orang asing yang menyentuhnya. Kedua tangannya mengepal.
“Lepas,” ucap Kanaya.
“Wah, Nathan udah punya daun muda yang jutek.”
“Arif, lepasin dia.” Nathan melerai tangan Arif yang bergelayut di bahu Kanaya.
“Dia pacarmu?” tanya Arif menyelisik memperhatikan.
“Iya,” balas Kanaya sambil bergelayut manja di lengan Nathan. Seperti meminta perlindungan.
Sera dan Qila yang berada di belakang Nathan tercengang mendengar pengakuan Kanaya. Mereka berdua tak tahu jika Kanaya sudah punya lelaki matang yang tampan dan rupawan padahal baru tadi sore Kanaya minta dicarikan pacar.
“Apakah gue nggak salah dengar?” gumam Sera.
“Kanaya beneran punya cowok matang. Waduh, gawat. Nanti yang disalahin kita sama Mommynya,” keluh Qila.
Sera dan Qila memang mereka sedang banyak maunya. Meskipun mereka mencari uang dengan cara menjadi gadis panggilan, tetapi mereka berdua tak mau jika Kanaya mengikuti jejak salah karena Kanaya sudah memiliki segalanya.
Teman-temannya Nathan bertepuk tangan dan mereka menyambut hangat kedatangan Kanaya. Lagipula ada enam gadis yang sepertinya usianya sama dengan Kanaya ikut duduk dengan para lelaki matang tersebut.
Nathan melepaskan tangan Kanaya yang menggelayut. “Maksudmu apa?”
“Bang, nggak mau ngenalin aku.” Kanaya mengedipkan mata sebelah kanan.
“Kenalan sendiri saja,” balas Nathan.
“Oke.” Kanaya membungkukkan badannya sedikit dan ia memperkenalkan diri sebagai teman kencan Nathan.
“Wah, namanya Kanaya. Cantik dan anggun, asetnya juga besar,” ejek Arif yang mulutnya selalu ceplas-ceplos.
“Iya, Om.” Kanaya tersenyum simpul.
“Hahahhahah dipanggil Om!” seru teman-teman Nathan.
Sera dan Qila mendekati Kanaya. Kini tiga gadis itu berdiri di hadapan para lelaki matang yang sudah duduk bersama para gadis lain yang cantik.
“Kami di sini semua menolak untuk tua.”
Begitulah lontaran dari salah satu temannya Nathan.
‘Dasar Om-om ganjen,’ batin Kanaya bergerutu.
Nathan melipat kedua tangannya. Ia menggeleng kasar. Tak menyangka bahwa kejadiannya seperti ini. Teman-temannya mendesak Kanaya untuk ikut bergabung bersama. Padahal lelaki itu hanya ingin memberikan pelajaran kepada Kanaya bukan untuk dijadikan teman kencan.
“Kanaya, kamu beneran sudah punya pacar?” tanya Sera.
“Iya.” Kanaya menjawab singkat.
“Mampus, gue!” pekik Sera membelalak.
“Tenang saja, Mommy nggak akan tahu,” bisik Kanaya lirih.
“Nathan, kau berdiri saja di sana. Sinilah duduk bawa cewek cantik itu ke sini gabung dengan kita!!” panggil Herman.
“Wah, sangat senang sekali bisa bertemu Abang-abang ini,” timpal Kanaya basa-basi.
“Hahahhaha ... kita dipanggil Abang. Usia kita jadi berasa dua puluh tahun, iya ‘kan, Bro!!” cetus Arif terkekeh.
Kanaya menarik lengan Nathan dan mengajak lelaki itu duduk. Lalu Sera dan Qila pun mengikuti jejak Kanaya menaruh b****g mereka di sofa bersama para lelaki matang yang wajahnya tampan semua.
“Ser, cowok di sini segar-segar kayak ikan kakap semua. Sempurna, nggak kayak cowok kita kepalanya rambutnya hilang separuh dan perutnya buncit,” bisik Qila yang mengagumi Arif dari segi gaya pakaiannya.
Namun sayang, Arif kini sedang menggandeng gadis yang sebaya dengannya.
“So, sekarang kita minum yang banyak!”
Kanaya terbelalak. Ia memang pernah minum alkohol, tetapi tak dalam jumlah yang banyak. Gelasnya diisi penuh oleh Herman.
“Bocah nakal, kamu harusnya minum jus,” ejek Nathan berbisik mendekatkan bibirnya ke telinga Kanaya. Menguar aroma parfum maskulin membuat Kanaya seperti tersihir.