Satu tahun kemudian.
Di sebuah rumah besar berlantai dua dengan arsitektur gaya Eropa. Di ruangan bar yang sudah tersedia di rumah tersebut berbagai minuman anggur harganya selangit.
Lampunya kelap-kelip dan sedikit remang. Tiga lelaki matang sedang berpesta merayakan pesta ulang tahun sang empu rumah yang tak lain adalah Nathan Wijayanto yang kini genap berusia tiga puluh lima tahun. Dia tampan dengan rahang yang kokoh tampak tegas dan maskulin dengan jas biru dongker yang dipakainya saat ini.
Aroma alkohol menguar dari mulut mereka. Pembicaraan para lelaki matang itu yang kebanyakan sudah memiliki keluarga dan anak adalah membicarakan wanita lain.
Masing-masing mempunyai gadis simpanan agar membuat mereka awet muda, kecuali Nathan yang paling bungsu di antara teman-temannya yang lainnya sudah berusia tiga puluh sembilan tahun dan ada juga yang sudah empat puluh tahun. Nathan tipe setia.
Mereka memang sudah berteman saat kuliah dulu dan dipertemukan oleh satu hobi yaitu main futsal.
Obrolan para lelaki matang dan kaya raya itu mengalahkan bibir emak-emak kompleks yang sedang bergosip. Ternyata mereka semua sedang pamer wanita cantik dan imut seperti bidadari turun dari pohon jengkol.
Hingga ada lontaran kata-kata yang membuat Nathan sampai tersedak. Dia pun mengatur posisi duduknya seperti semula setelah mencerna ucapan para sahabatnya tersebut, tangannya masih meremas gelas.
“Nathan, mendingan cobain, dech. Kamu cari wanita muda. bikin kita kayak muda lagi, semangat menjalani hari-hari, dan hidup berwarna. Gimana para Daddy setuju ‘kan ucapanku ini?” cetus Arif yang namanya tak sesuai dengan akhlaknya. Mulutnya memang jarang disaring selalu ceplas-ceplos dan dari segi penampilan ia yang paling seperti remaja ingin menyesuaikan diri dengan wanita muda yang sedang dikencani, sampai lupa umur. Lebih hobi memakai kaus dan celana pendek kalau ke mana-mana.
“Kita pakai cara mode ganteng. Biar anak dan bini kagak tahu kalau kita punya cem-ceman. Asyik banget, dah. Jika punya yang muda buat gairah ranjang kita meningkat atau nanti aku kenalin teman kekasihku buat kamu,” lanjutnya yang ucapannya kalah sama emak-emak berdaster.
“Nggak ah,” jawab Nathan yang memang tak tertarik oleh penawaran Arif yang ingin memperkenalkannya pada dunia nafsu semata dan kesenangan.
“Ayolah, Nathan. Punya bini mikirin karir mulu. Ets dah … lakinya dianggurin, anggur mendingan dimakan manis, bisa-bisa jadi berkarat itu tornadonya, kamu itu banyak ditinggalin. Dia kira kita ini cowok bisa setia jika pasangannya kagak pernah kasih kepuasan. Ini bukan soal cinta, Nathan. Tapi, soal harga diri sebagai lelaki di mana letaknya?” sambung Herman terkekeh kecil.
Nathan hanya menyunggingkan senyum simpul. Apa yang harus dia bela? Memang dasarnya yang dikatakan oleh teman-temannya itu benar. Punya pasangan jauh seperti halnya sama saja seperti hidup bujangan.
Rumah sebesar ini Nathan hidup sendiri ditemani pelayan setianya yang merawat semenjak ia kecil yang kerap kali dipanggil bibi.
“Bagaimana Nathan? Mau coba?!”
“Ayolah, jangan cemen. Buktikan jika kamu bisa. Rasakan sensasinya bersama daun muda.”
“Kita taruhan, yuk! Kalau Nathan punya wanita lain dalam waktu tiga puluh hari. Tapi, harus yang perawan tingting. Ingat masih perawan, jangan bekas orang. Berarti kita bertiga akan digundulin dan lari seratus putaran di lapangan bola. Jika Nathan nggak mendapatkan gadis sesuai karakter yang kita ajukan. Dia yang harus kita gundulin dan lari di lapangan. Bagaimana, Sob?!” cetus Arif.
Begitulah celotehan teman-temannya. Akhirnya menggiring Nathan untuk mengambil keputusan. "Tak usah taruhan. Kalau ada yang cocok boleh saya coba."
Percuma jika taruhan juga teman-temannya memang hanya mencoba keberanian Nathan untuk selingkuh, karena jangan ditanya semuanya mempunyai kedudukan, harta, dan tahta.
Lelaki berhidung bangir itu menghela napas panjang. "Nggak usah taruhan, yah."
“Jadi kamu nggak mau menerima tawaranku? Padahal ada teman yang imut-imut bisa bikin kelepek sampai ketagihan,” timpal Arif.
“Nggak usah, repot-repot." Nathan tegas menjawab.
Keputusan Nathan disambut tepuk tangan dari para sahabatnya itu, mereka bercengkraman hangat.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Mereka pun undur diri pulang karena ada seorang istri yang masih menunggu di kamar. Tak seperti Nathan yang tidur ditemani oleh guling.
Senyap dan sunyi. Nathan masuk ke dalam kamar. Lalu dia merebahkan tubuhnya di kasur king size. Suara dering ponsel berbunyi nyaring di telinga. Nathan melirik nama yang tertera dalam panggilan yaitu Hanyku, dengan gerakan cepat tangannya bergegas menggulir tombol hijau.
Tampak wajah cantik dengan bola mata berwarna biru dengan rambut cokelat keriting gantung memakai riasan natural nyaris sempurna. Lelaki mana yang tak akan jatuh cinta jika melihat kecantikan Sisil yang kerap kali dipanggil Hany oleh Nathan. Sisil melempar senyum kepada Nathan.
“Sayang, selamat ulang tahun. Maaf aku sibuk sekali hari ini. Tadi ada pertunjukan gaun-gaunku.” Begitulah lontaran kata-kata manis dari bibir Sisil.
Nathan menatap sendu wanita yang dicintainya dari layar datar ponsel. Jarak jauh membentang memisahkan mereka.
“Kapan pulang dari London?” tanya Nathan lirih.
“Tak tahu, Sayang. Mungkin lima bulan lagi atau bisa setahun. Nggak apa-apa ‘kan?”
“Apa setahun lagi? Padahal udah ditinggalin satu tahun. Tornedo saya sudah berkarat, jangan lama-lama, Hany. Malam ini aku pengen banget. Kita main, yuk. Buka bajumu sekarang. Nggak apa-apa lewat ponsel yang penting hasratku tersalurkan.”
Sisil justru tertawa renyah mendengar Nathan berkata seperti itu. Mungkin efek mabuk lelaki itu berbicara blak-blakan seperti mas kredit yang sedang menagih hutang. Wanita itu menggeleng kasar dan memeletkan lidah justru meledek Nathan.
“Kenapa?” protes Nathan tampak raut wajahnya kecewa. “Saya suamimu.”
“Sorry, Sayang. Aku capek. Udah dulu, yah. Love you. Aku mau mandi.”
Sisil mematikan teleponnya. Layar ponsel yang tadinya ada wajah Sisil. Kini tak ada. Nathan geram dan ia membanting ponsel ke lantai.
Pernikahan macam apa? Baru menikah tiga bulan. Sisil memutuskan untuk pergi ke luar negeri melanjutkan cita-citanya sebagai desainer terkenal. Kuliah di London, usia wanita itu dua puluh delapan tahun yang haus karir.
Nathan termasuk suami sabar dan setia. Dalam satu tahun dia bertahan dalam kesendirian.
Memang tak munafik Nathan perlu hubungan panas di ranjang. Tapi, bukan hubungan yang sekadar di atas kertas putih tanpa ada hubungan penyatuan layaknya suami istri dan Nathan saat ini berada di titik jenuh dan kecewa atas keputusan yang Sisil ambil.
Lelaki berhidung bangir itu tidur terlentang sambil menarik selimut dan menutupi sekujur tubuhnya yang sebenarnya sudah panas ingin menjamaah tubuh wanita, tetapi ia tahan. Nathan memejamkan mata membiarkan rasa kantuk menyelisik jiwa.
*
Pagi ini. Nathan seperti biasa berangkat kerja. Tiba-tiba di pertengahan jalan. Mobilnya mogok. Ada mobil taksi melintas di depannya. Lekas dia memberhentikannya.
Saat mau masuk. Justru ada seorang remaja memakai baju seragam abu-abu, tampak wajahnya pucat sekali. Terlihat bukit kembarnya menyembul naik turun seolah-olah sudah lari maraton dan rambutnya dikucir satu. Remaja itu masuk tanpa menoleh ke arah Nathan.
Nathan berdengkus kesal karena sudah hampir kesiangan ada rapat. "Hai, saya yang lebih dahulu berhentiin ini taksi. Keluar."
"Tolong, Om. Ini sangkut paut dengan nyawa saya antara hidup dan mati," ujar remaja berambut hitam yang dikucir satu tersebut yang tak mau beranjak dari tempat.
“Tolong,” ucapnya menegaskan sambil mengatupkan kedua tangan di depan dadaa.
Mau tak mau Nathan pun masuk duduk bersebelahan dengan Kanaya dengan raut sebal.
“Pak, ke jalan Thamrin," ucap Nathan.
“Maaf, Om. Eh, Pak. Eh, Mas. Eh, apa yah saya nyebutnya? Terima kasih,” cerocos remaja itu yang kerap disapa Kanaya.
"Jalannya yang cepat, Pak. Saya ada rapat."
Tampak mulut Kanaya masih mengunyah permen karet. Nathan menggeleng kasar dan supir taksi mulai menyetir mobil dengan kecepatan tinggi.
“Om, Pak supir. Eh, Mas. Aduh, jangan kebut bawa mobilnya. Saya belum kawin!" protes Kanaya cerocos seperti petasan. Seakan-akan menyengat tubuh Nathan dan lelaki itu melirik Kanaya sekilas.
"Om, Pak, Mas, tolong bilangin. Saya mau umur panjang." Kanaya menyenggol lengan Nathan.
“Hai, jangan panggil saya Pak karena saya bukan bapakmu. Jangan panggil Mas karena saya bukan mas Jono dan jangan panggil Om. Saya nggak nikah sama tantemu!” bentak Nathan kesal.
Kanaya mengerutkan dahinya. Baru tahu ia melihat lelaki matang, tampan, dan rupawan. Namun, mulutnya pedas level dua belas. “Terus saya harus panggil apa?”
“Ini waktu jam sekolah. Kenapa kamu keliaran di jalan? Turun!” Nathan mengusir Kanaya dengan nada tinggi.
“Aku ikut, Abang saja,” balas Kanaya.
Nathan membelalak. Baru kali ini ada yang memanggilnya dengan sebutan abang.
“Mau protes lagi? Ya udah, saya panggil Abang saja, yah. Asal jangan Bang somay atau bang baso 'kan. Setidaknya ini kedengarannya lebih imut kayak bapaknya kelinci," celetuk Kanaya melempar senyum sembari memainkan permen karet yang dibuat seperti balon dari bibirnya. Dia seperti tahu isi hati Nathan yang saat ini sedang terkejut mendengar Kanaya memanggil Abang.