“Aku benci keadaan ini. Aku benci diriku sendiri yang lemah dan tak bisa berbuat apa-apa. Aku membenci papi yang tak pernah bisa mengerti perasaan Mommy yang setiap hari menangis diam-diam setiap malam. Mengapa papi harus menikah lagi membuat keadaan ini semakin rumit dan sangat menyesakkan?” ucap remaja berkucir satu itu yang duduk di di lantai di sudut ruangan keluarga. Tubuhnya bergemetar dan bibirnya ia gigit untuk menilimisir keadaan yang sedang kacau di rumahnya saat ini. Remaja tersebut kerap kali dipanggil dengan nama Kanaya.
Praaakkkkkk!!!
“Diammmm!! Jangan banyak bicara. Kamu harus terima keputusan itu,” ucap lelaki yang seharusnya menjadi cinta pertama bagi anak gadisnya, ia justru memberikan kesan kebencian kepada remaja yang sedang duduk memeluk kedua lututnya di sudut ruangan tersebut.
Bisma—ayah Kanaya saat ini marah. Gelagar suara gelas pecah, menghantam tembok. Semua pertengkaran suami istri itu. Semua kejadian di pengadilan memperebutkan harta gono-gini, semuanya terekam baik di kepala Kanaya, menghuni di otak remaja itu, seolah-olah menjadi memori tak akan bisa dihapus.
“Tapi, rumah ini milikku dan untuk Kanaya.”
“Siska, aku yang kerja keras dan membeli rumah ini. Jadi aku berhak menjualnya!!”
“Papi, jahaaaaaatttt!!!” geram Kanaya.
Suara yang memekakan telinga itu kini sayup-sayup berhenti, Kanaya merasakan keheningan yang mencekam. Bukan suaranya yang kelihatan begitu menakutkan bagi kedua orang tuanya yang berdiri saling berhadapan. Akan tetapi, ada getaran-getaran samar yang mengelayut rasa bersalah di dalam hati Bisma dan hal itu meninggalkan bekas-bekas luka yang menyesakkan bagi Siska.
Tanpa disadari oleh Kanaya ia berteriak sekencang mungkin, lalu ia membungkam mulutnya sendiri oleh kedua tangannya. Lalu Bisma beranjak keluar. Seolah-olah hilang bersama sepi yang menurut Kanaya akan lambat-laun membuatnya menjadi gila melihat pertengkaran setiap hari.
“Kanaya,” lirih Siska bergegas menghambur memeluk tubuh Kanaya yang bergemetar di depan matanya remaja tersebut melihat Bisma menampar Siska wanita yang mengandungnya sembilan bulan.
“Mommy, ini tak adil,” protes Kanaya tenggelam dalam rengkuhan hangat mommynya.
Banyak orang yang mengira bahkan teman-teman satu sekolahnya pun menyangka bahwa Kanaya baik-baik saja, jika ia tak terpengaruh oleh adanya kerusakan istana keluarga yang memberikan kenyamanan.
Padahal setiap hari Kanaya menangis ingin mempunyai keluarga yang utuh. Ia merasakan hampa, kosong rumahnya oleh tawa dan canda, dan hanya kesunyian serta kesedihan menghiasi isi rumah yang Kanaya tempati. Namun, remaja itu memakai alter ego. Kepribadian yang lain dari Kanaya yang tak menampakkan sedih.
Semua orang pasti menginginkan kehidupan yang nyaman, harmonis, dan juga mendapat kasih sayang seutuhnya dari kedua orang tua. Namun, nyatanya Kanaya tak bisa memiliki kehidupan itu.
Satu bulan kemudian. Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara Siska yang menangis sedu-sedan dan Kanaya yang baru pulang sekolah tercengang sembari mengerutkan kedua alisnya, setelah dia masuk ke dalam rumah.
Tampak dua lelaki bertubuh besar duduk di ruang tamu dengan wajah garang dan datar tanpa ada ekspresi. Duduk berhadapan dengan Siska.
“Ibu Siska harus segera meninggalkan rumah ini, karena ini sudah dijual oleh pak Bisma!" sentak lelaki tersebut.
“Kenapa dia tak bilang kepada saya? Dia tak boleh ingkar janji seperti itu,” protes Siska yang memohon kepada dua lelaki itu untuk memberikan waktu kelonggaran. Seperti disambar petir di siang hari.
Kanaya yang melihat Siska menangis. Ia tak bisa diam begitu saja. Sudah cukup sang mommy kerja keras dan menjadi tulang punggungnya hingga waktu kebersamaan berkurang karena menjadi single parents.
“Bilang pada pak Bisma yang terhormat. Kami tak akan pergi dari sini.” Kanaya menimpali sambil memeluk tubuh Siska.
“Kalian harus pergi dari sini sekarang juga!!” sentak lelaki itu dengan wajah garang dan pupil mata membesar.
“Tidak, ini rumah kami.” Kanaya dan Siska menjawab bersamaan.
Namun sayangnya, dua lelaki itu tak peduli. Mereka justru menyeret Kanaya dan Siska keluar dari rumah. Sekuat-kuatnya tenaga wanita pasti akan kalah oleh tenaga lelaki.
Siska terjatuh dan dahinya mengenai pot tanaman yang disimpan di teras rumah. Nampak darah keluar dari pelipis wanita bermata sipit itu.
“Aduhh,” lirih Siska.
Remaja itu melirik dan menolong sang mommy untuk berdiri. “Mommy, kita harus pergi ke mana?”
Baru saja Kanaya melontarkan pertanyaan. Tiba-tiba Siska ambruk dan tak sadarkan diri.
“Mommy, banguuuuuunnnn!!” pekik Kanaya berteriak memanggil wanita yang sudah melahirkannya.
Siska membuka matanya perlahan dan tampak ada Kanaya berdiri sembari melempar senyum.
“Mommy, tak apa-apa?” tanya Kanaya.
Wanita berambut panjang ikal itu membalas senyuman dari Kanaya. Ia celingak-celinguk mengitari sekeliling ruangan yang dominan warna putih serta isi ruangan tersebut masih sama saat Siska masih gadis tak ada yang berubah.
“Siska,” sapa wanita bermata teduh itu datang sambil membawa sup ayam.
“Ibu,” ucap Siska mengulas senyum getir.
“Kenapa kamu tak bilang kepada Ibu? Kalian boleh tinggal di sini saja. Lagipula Ibu tinggal sendirian di sini semenjak ayahmu meninggal dan kamu menikah. Ibu kesepian di sini,” urai wanita bermata teduh itu tampak garis menua di wajahnya kini duduk di tepi ranjang dan menaruh mangkuk berisi sup ayam.
“Terima kasih, Bu. Sudah mengizinkan kami tinggal di sini.” Siska memeluk sang ibu.
Kanaya pun ikut memeluk dua wanita yang paling disayanginya. Lalu Siska mengurai pelukannya dan mulai menuturkan untuk bangkit tak akan hanyut dalam kesedihan. Hal ini membuat Kanaya bangga kepada Siska meskipun tersakiti, tetapi tetap tegar dan sabar.
Keesokan harinya. Remaja itu mendongakkan wajahnya menatap nyalang ke arah gedung pencakar langit yang tak lain itu adalah kantor papinya. Lantas Kanaya hendak masuk ke dalam kantor tersebut, tetapi langsung diusir oleh satpam kantor.
“Pergi!! Anak sekolah bukan di sini tempatnya. Tapi, di sekolahan. Jangan kesasar!” bentak satpam itu.
“Mau bertemu dengan pak Bisma,” ucap Kanaya tegas.
“Sedang rapat.”
“Saya tunggu di sini.”
Kanaya bersikukuh.
“Hai Kanaya, pergiiii. Bapak hanya mematuhi perintah dari papimu,” ucap satpam itu.
“Pak, saya tak peduli. Jika papi sedang rapat. Pokoknya akan menunggu di sini. Jika saya tak boleh masuk ke sini.” Kanaya melipat kedua tangannya di depan dadaa. Ia sudah bulat ingin berbicara dengan lelaki yang sudah menyia-nyiakan sang mommy.
Satu jam berlalu.
Dua jam berlalu.
Kanaya masih menunggu memakai baju seragam abu-abu berdiri bergeming tanpa protes lagi kepada satpam. Ia sabar menunggu. Telapak kakinya menginjak lantai lobby sudah bergemetar seperti tak sanggup menopang bobot tubuhnya yang empat puluh delapan kilogram.
“Duduk, Kanaya,” ucap satpam itu.
Lantas tiba-tiba datang Bisma bersama rombongan rapatnya keluar dan melewati begitu saja padahal Kanaya berada di depannya. Sudah berserobok juga Sebelumnya saat pintu lift terbuka. Namun, Bisma berjalan angkuh seperti tak mengenal darah dagingnya sendiri.
“Papi,” sapa Kanaya.
Bisma menoleh ke belakang. “Siapa kamu? Aku tak mengenali remaja nakal sepertimu!!” sentak Bisma memeletkan karena melihat Kanaya ada di kantor dalam waktu yang harusnya remaja itu sekolah duduk manis.
“Papi, aku mau bicara,” sahut Kanaya sambil mendekati Bisma memangkas jarak.
Kini mereka saling berpandangan dalam lima detik hening. Bisma masih bersikap tenang dan sedikit angkuh dengan gaya yang memasukkan sebelah tangannya di saku.
“Jangan panggil saya Papi, jika kamu masih nakal seperti ini,” balas Bisma datar.
“Papi, balikin rumahku.” Kanaya merengek seperti anak kecil yang meminta jajan. “Aku bukan wanita nakal,” lanjutnya.
“Kau pergi?! Saya tak mengenalimu,” urai Bisma sambil berbalik badan dan beranjak pergi. Ia marah karena Kanaya tak berangkat ke sekolah.
Kanaya menghela napas berat dan ia sangat sedih jika lelaki itu tak mau mendengarkannya. Bagian lengan remaja itu dipegang oleh dua satpam.
Sontak Kanaya berteriak. “Kenapa ditangkap? Lepaassin. Aku mau dibawa ke mana?!!” bentaknya dengan nada tinggi.
“Kamu harus kembali ke sekolah. Anak sekolah itu harusnya di sekolah, bukan di kantor,” timpal satpam itu.
Kanaya mencebik dan berontak, tetapi tenaganya tak kuat untuk melawan satpam itu.
Akhirnya, emosi Kanaya mereda dan duduk manis di dalam mobil. Ia menerima sesuai perintah dari papinya yang harus kembali ke sekolah. Meskipun Kanaya tak berhasil untuk membuat hati papinya luluh, tetapi kini dia paham jika Bisma tak menyayangi Kanaya dan Siska.