"Turun!!” bentak Nathan.
“Galak banget kayak beruang lagi kelaparan,” ejek Kanaya. Dia tetap tak mau turun meski Nathan sudah marah-marah, tetapi Kanaya tetap tak mau turun. Dering ponsel terus berbunyi.
Nathan mengangkat ponselnya yang terus berbunyi. Terdengar suara sekretaris Nathan yang menanyakan posisi lelaki itu karena rapat akan dimulai sepuluh menit lagi.
“Oke, sebentar lagi saya sampai,” balas Nathan tenang.
"Saya ikut," cetus Kanaya.
"Ngapain ikut?"
Kanaya sedari tadi menatap lelaki matang yang ada di sampingnya, pandangannya tak berkedip sama sekali saking terpesona oleh ketampanan Nathan yang sangat memikat.
“Tuhan, ciptaanmu begitu tampan,” ucap Kanaya lirih.
Nathan melirik kepada Kanaya dengan sudut matanya. Dia malas untuk berdebat. Akhirnya, Nathan diam membisu, supir taksi melaju sekencang mungkin mengendarai mobil. Tangan Kanaya berpegang erat ke jok saking takutnya.
Tiba di sebuah bangunan pencakar langit. Penampilan Kanaya menjadi pusat perhatian karena harusnya remaja itu duduk manis di kelas ini masih jam sekolah.
Namun, kini justru Kanaya mengekori Nathan dari belakang.
Nathan berjalan seolah-olah gerakannya slow motion, tubuh yang tegap membuat para wanita berdecak kagum saat melihat lelaki itu berjalan dengan gagahnya. Lelaki itu sambil memakai kacamata hitam. Semua terpesona termasuk karyawannya yang mempunyai atasan tampan nan rupawan.
Wanita menggunakan rok mini hitam dengan rambut panjang terurai sudah menunggu di depan sebuah ruangan. “Pagi, Bos. Semua sudah menunggu. Untung tepat waktu, Bos.”
“Terima kasih, Marlina.” Nathan mengulum senyum simpul.
Sebelum masuk Nathan menoleh ke belakang dan ia menatap nyalang kepada Kanaya yang masih berdiri bergeming di belakangnya.
“Kamu jangan ikut masuk. Ini bukan tempatmu. Marlina, tolong beri dia uang supaya cepat pergi. Tadi saya tak bawa uang cash.”
Kanaya menggeleng kasar. “Saya tak minta uang. Saya bukan pengemis.”
“Lantas kamu ngikutin saya mau apa?” Nathan mengatupkan rahangnya.
“Mau jalan-jalan saja. Oke, terima kasih, Bang,” balas Kanaya sambil mengerlingkan sebelah mata kanannya. Lalu berbalik badan dan beranjak pergi meninggalkan Nathan yang masih keheranan.
“Bocah aneh,” rutuk Marlina.
“Kalau kamu lihat wajah anak itu. Jangan biarkan masuk lagi ke kantor,” tandas Nathan sambil memutar kenop pintu, lalu ia masuk ke ruangan yang sudah ada sepuluh orang dari Malaysia yang akan bekerja sama dengan perusahaannya sedari tadi menunggunya.
*
Di sebuah rumah besar berlantai dua. Kanaya masuk dengan raut wajah kesal.
“Kanaya, kamu tak sekolah?” tanya Siska.
“Malas, Mommy,” jawab Kanaya sambil berjalan melewati Siska dan ia menaiki anak tangga.
Baru saja Kanaya sampai ke kamarnya. Tiba-tiba suara bass yang tak lain adalah Bisma berteriak memanggil namanya.
Remaja itu menutup kedua telinganya. Saat mendengar Siska dan Bisma bertengkar berselisih dengan alibi masing-masing. Kanaya terduduk sambil menyandar di pintu dan ia mengantukkan kepala berkali-kali ke daun pintu.
“Anakmu itu nakal sekali. Masa mobilku ia bakar di depan rumah. Mobil dia mana? Kamu sebagai ibunya tak pintar mendidik Kanaya!!” seru Bisma geram.
“Mobil punya Kanaya rusak lagi di bengkel. Mungkin Kanaya melakukan itu karena tahu kamu sebagai ayahnya tak bertanggung jawab. Kamu hanya mengurusi wanita selingkuhanmu itu,” balas Siska tenang tak ada rasa takut lagi pada Bisma.
“Dia adalah istriku.”
“Kamu memilih menjandakan istrimu hanya demi janda,” timpal Siska seraya melipat kedua tangannya di depan d**a dan tatapannya nyalang.
Plak!!
Tangan Bisma melayang ke pipi Siska. Wanita itu memalingkan wajahnya sambil memegang pipi kanan yang tadi ditampar oleh mantan suaminya tersebut. “Aku bukan istrimu lagi. Jadi jaga tanganmu. Aku bukan boneka yang bisa kamu siksa,” ucap Siska bergemetar.
“Diam!! Ajarin anakmu sopan santun dan hargai kalau aku itu adalah papi-nya. Dia harus terima jika Selomita adalah istriku.”
Begitulah perdebatan orang tua Kanaya, hingga membuat gadis itu seperti tak mempunyai siapa-siapa. Orang tuanya cerai dan kehidupan Kanaya benar-benar berubah. Dulu kehangatan keluarga yang ia rasakan, tetapi kini hanya ada ruang kosong kesepian.
Bulir bening menetes dari pelupuk mata Kanaya dan ia pun merengkuh boneka beruang besar sebagai teman tidur dan teman mengobrolnya setiap hari.
Suara Bisma dan Siska sudah tak terdengar lagi. Kanaya menghela napas berat. Lantas ia bangkit berdiri mengambil tas, lalu merogoh ponsel.
Jari lentiknya mulai berselancar membuka aplikasi hijau melingkar dan seperti biasa Kanaya mengajak teman-temannya untuk menghilangkan kesedihannya. Ia menyeringai iblis setelah mengirim pesan di grup Sweet Angel yang beranggota tiga orang termasuk dirinya.
Tok, tok, tok!!
“Kanaya, kamu punya hutang penjelasan pada Mommy. Kenapa kamu bakar mobil papimu? Dan kenapa kamu bolos sekolah? Nanti jelaskan setelah Mommy pulang dari Singapura. Hari ini Mommy berangkat. Kanaya, buka pintunya.”
“Mommy, jangan ganggu aku.”
“Oke, Kanaya. Mommy tahu kamu kecewa dengan pernikahan papimu itu. Tapi, ini sudah terjadi. Kita harus terima keputusan papimu.”
Siska terus saja mengetuk pintu berkali-kali, tetapi Kanaya tak goyah untuk membuka pintu kamar. Lalu wanita berambut pendek sebahu itu berbalik badan dan beranjak pergi.
Siska semenjak bercerai dengan Bisma, wanita itu fokus bekerja menjadi single parents. Menata hidup mengejar karir yang ingin menjadi orang sukses. Hal itu mengakibatkan Kanaya kurang diperhatikan oleh Siska karena pasca bekerja wanita itu lebih suka di luar rumah dan pulang larut malam. Mereka berdua tinggal satu atap hanya bertemu di satu meja makan tanpa ada obrolan hangat lagi, setiap harinya. Siska sibuk dengan dunianya sendiri, jari lentiknya sering memainkan ponsel di depan Kanaya. Kerapkali Kanaya menyindir Siska yang ingin menjadi ponsel.
Tiga remaja sedang mengobrol asyik di kafe yang tempatnya Instagramable banget. Banyak remaja berburu spot foto yang bagus.
“Cariin gue lelaki matang yang krenyes-krenyes kayak tahu crispy dan takjirnya melintir kayak tali BH gue!” ucap Kanaya.
“Serius, lu?!” sahut sahabat karibnya.
Qila terdiam sejenak mencerna ucapan Kanaya.
“Kok, diam, melepem kayak kerupuk keanginan,” dumel Kanaya tertawa renyah sambil melempar bantal kursi kepada Qila.
“Tadi lu bilang mau cowok matang. Noh, nanti kalau ada cowok, dimatengin aja di atas kompor, atau didiemin sampai ngembang," cetus Qila.
“Argh … banyakan makan oncom si Qila, jadi ngomongnya ngawur. Memangnya cowok itu donat yang bisa mengembang,” ejek Sera.
Kanaya mengerucutkan bibirnya dengan tatapan serius melihat Sera dan Qila.
Sera terkekeh kecil dan dia melirik kepada Qila. Mereka itu sudah tak ada rahasia lagi.
Sera dan Qila mempunyai lelaki matang yang bisa mencukupi kebutuhan finansial yang baru digeluti dua tahun semenjak masuk SMA karena memang mereka berdua dari keluarga yang biasa saja.
“Cariin buat gue pacar. Tapi, kalau bisa jangan yang botak. Maunya yang masih muda gitu,” rengek Kanaya mengguncang-guncangkan tubuh Sera.
“Hempt, lu kurang apa? Lu kaya dan cantik. Kenapa gak ada cowok yang mau?"
“Iya betul,” sambung Qila sambil menyangga tangannya di dagu.
Kanaya menyeringai iblis sambil bangkit berdiri. “Mungkin gue harus mandi bunga tujuh rupa. Nanti malam kita jadi ‘kan ke klub?” Dia mengalihkan pembicaraan.
"Yes, waktunya bersenang-senang!" sahut Qila.
“Kamu mau cari pacar di sana?” timpal Sera.
“Semoga saja dapat. Lumayan ada teman main, hehehhe,” balas Kanaya menampilkan barisan gigi putihnya dan bulu mata lentiknya mengerjap-ngerjap.