39. Harapan Tulus Seorang Adik

1041 Kata
"Kamu yakin, Tar?" Mala menatap putrinya yang kini tengah menikmati sarapan. "Aku yakin, Bu. Bukannya Dokter Wira sendiri yang bilang, kalau semuanya bisa dilakukan secara perlahan? Tuhan itu enggak pernah tidur, Bu. Aku yakin selama kita mau berusaha, kesempatan buat sembuh itu pasti akan selalu ada." Mentari mengangkat wajahnya dan menatap ibunya. Gadis itu mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. Walau sempat ragu, akhirnya Mala bisa bernapas lega. Ia bersyukur karena setidaknya Mentari masih bisa kembali menjadi sosok putrinya seperti biasa. Di saat yang bersamaan, Galang yang baru saja datang terlihat terkejut dengan keberadaan kakaknya di meja makan. Ia bahkan sempat mengucek kedua matanya selama beberapa kali, memastikan kalau penglihatannya tidaklah salah, di mana saat ini ia melihat kakaknya kembali memakai seragam sekolah. "Kak Mentari—" Kedua mata Galang mengerjap. Ia perlahan menarik salah satu kursi kosong di sebelah Mentari dan menatap kakaknya selama beberapa saat. "Kenapa kamu? Kayak lagi lihat hantu aja," ujar Mentari dengan nada ketus. Perlahan seulas senyuman tercetak di permukaan bibir Galang dan bocah itu secara tiba-tiba meletakkan tasnya di atas meja, kemudian memeluk erat Mentari. Mentari sempat terkejut dengan apa yang adiknya lakukan namun setelahnya ia tersenyum seraya menatap sang ibu. Ternyata di rumah itu, memang bukan ibunya saja yang mengharapkannya. Bocah berusia sepuluh tahun yang tengah memeluknya kini rupanya juga mengharapkan hal yang sama walau mereka sering menghabiskan waktu dengan bertengkar. "Udah, udah. Cepet habisin makanan kamu, ntar kesiangan." Mentari berujar. Galang mendudukkan tubuhnya di kursi. Hal yang membuat Mentari hampir saja tertawa sekaligus terharu adalah, ia menyadari kalau ada genangan air di masing-masing sudut mata Galang. Salah satu tangannya kemudian bergerak mengusap puncak kepala adiknya sejenak, sebelum akhirnya kembali melanjutkan kegiatan makannya yang sempat tertunda. "Kalo ada yang jahatin Kakak lagi, minta tolong aja sama Kak Alan." Tiba-tiba Galang berujar. "Alan?" Mentari membeo. Ia sempat merasa bingung mengapa adiknya itu secara tiba-tiba menyebutkan nama Alan. "Aku tahu meskipun Kak Mentari belom kenal lama sama Kak Alan, tapi aku percaya kalo Kak Alan itu orang yang baik. Yah, meskipun kadang pelupa sih. Tapi aku yakin Kak Alan itu baik!" tegas Galang sebelum menghabiskan gigitan terakhir roti isi miliknya. "Yeyyyy~ aku menang! Padahal tadi Kakak sendiri yang nyuruh aku buat makan, tapi Kakak malah kalah!" Mentari menatap sisa roti isi miliknya di atas piring. Setelahnya Galang berpamitan berangkat ke sekolah, tak lupa mencium tangan ibu dan juga kakaknya. "Galang ... udah agak berubah ya, Bu. Entah apa aja yang terjadi sama dia selama aku di kamar," ujar Mentari seraya menatap Galang yang semakin bergerak menjauh. "Kamu tahu, Tar. Galang bener-bener khawatir sama kamu. Dia jadi jarang main sama temen-temennya di luar. Apalagi kalo Ibu lagi pergi, dia pasti lebih milih di sini nemenin kamu, walaupun kamu sendiri hanya berdiam diri di kamar." Tidak heran jika kemarin itu Galang memilih langsung menerobos ke dalam kamarnya dan mengajaknya bicara dengan begitu antusias, dengan sekantung kue cubit di tangannya. "Jika bukan karena Galang, kayaknya sekarang aku gak bakalan duduk di sini, Bu." Seulas senyuman kembali tercetak di bibir Mentari setelahnya, kemudian gadis itu menatap sang ibu. "Meskipun Galang masih kecil, tapi dia tetaplah adik kamu, Mentari. Dia pasti sayang banget sama kamu." Mala berujar. "Ibu harap, ke depannya kamu lebih bisa mengendalikan ketakutanmu. Walaupun sulit, tapi kamu harus yakin. Kamu pasti bisa melewati proses yang sulit ini." Mentari yang masih menatap ibunya pun kemudian menganggukkan kepala. Usai sarapan, Mentari bergegas berangkat ke sekolah. Seraya menunggu ibunya memanaskan mobil di garasi, ia menatap ke sekitar, hingga kedua matanya menatap rumah milik Alan. Entah bagaimana kabar lelaki itu sekarang, padahal mereka hanya tak bertemu beberapa hari, namun Mentari justru merasa kalau waktu yang ia lewati kemarin terasa begitu lama. "Mentari?" Mentari mengerjapkan matanya dan menyadari kalau mobil milik ibunya sudah keluar dari garasi. Ia menaikkan topi jaketnya kemudian memasuki mobil. Sementara itu di rumah sebelah, Alan yang baru saja keluar itu tanpa sengaja melihat seseorang yang masuk ke dalam mobil. Lelaki itu sempat terdiam di tempatnya menatap sosok yang terlihat memakai jaket berwarna merah muda. Dia ... "Mentari?" Kedua mata Alan masih memperhatikan mobil yang kini sudah melaju melewati halaman rumah. Alan tiba-tiba tersenyum dan dengan setengah berlari, ia pergi ke garasi. * "Hati-hati, ya. Jangan terlalu khawatir juga. Obat sama sunscreen udah dibawa, kan?" Mentari menganggukkan kepala. Ia kemudian membuka pintu mobil secara perlahan, lalu dengan langkah lebar bergegas menuju lobi. Di belakang, ibunya masih memperhatikan sebelum akhirnya kembali melajukan mobilnya. Sampai. Kedua kaki Mentari berhasil mencapai lobi dan gadis itu membuang napasnya lega seraya menurunkan topi jaket bertelinga kucing yang ia pakai. "Mentari!" Suara derap langkah kaki terdengar setelahnya. Mentari kemudian berbalik dan menatap seseorang yang berlari ke arahnya. "Lo udah baikan?" tanya Alan seraya mengatur napas. Kedua mata lelaki itu terlihat menatap ke arahnya antusias. "H-hm," jawab Mentari. "Gue tadi gak sengaja ngeliat lo naik mobilnya Tante Mila, jadi gue langsung buru-buru nyusul." "Mila?" Mentari membeo. "Sori, tapi nyokap gue—" "Eh, iya. Sori, maksud gue Tante Mala." Alan tertawa pelan seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia dan Mentari kemudian melanjutkan langkah. "Iya, gak masalah. BTW thanks, ya, katanya kemaren lo yang bawain tas gue." "Ah, itu. Santai aja kali, lagian rumah kita kan sebelahan." Alan melirik Mentari yang berjalan di sebelahnya. Ia masih saja tak mengerti, kenapa masih ada orang-orang yang membicarakan tentang kekurangan gadis itu tanpa memikirkan berbagai konsekuensinya. "Lo ... jadi makin kurus, Tar," ujar Alan tanpa sadar usai menatap wajah pucat Mentari. "Oh, ya?" Mentari spontan memegangi kedua pipinya, lalu gadis itu tersenyum simpul. "Kayaknya gue harus naikin berat badan, ya?" candanya. "Pokoknya ke depannya lo jangan kayak kemarin lagi, kalau enggak ntar badan lo bisa-bisa tinggal tulang aja," balas Alan. "Gue gak tahu berapa banyak obat yang lo telan sampai berat badan lo turun dari hari ke hari," batin Alan. Mereka berdua kemudian berpisah sebuah koridor. Alan sesekali menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap punggung Mentari yang semakin bergerak menjauh. Kemudian Alan kembali meluruskan pandangannya ke depan. Terkadang saat ia memikirkan kondisi orang lain membuatnya abai pada kondisinya sendiri. Bahkan setelah Chandra berkata kalau Dokter Erwin menyuruhnya datang ke rumah sakit, bahkan sampai meneleponnya langsung, Alan justru tak datang ke sana. "Kondisi gue mungkin hampir sama seperti Mentari. Tapi gue rasa, lo sedikit lebih beruntung, Tar," batin Alan. —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN