7. i********:

1099 Kata
"Sunscreen juga bisa bikin kulit alergi sama ruam juga. Emang kamu gak takut?" tanya Pak Chandra. Mentari menghela napas pelan. "Sempet takut sih, dulu sempet gak cocok pake sunscreen akhirnya jadi gatel-gatel bahkan jerawatan juga . Jadi nyari lagi merek sunscreen lain." "Itu kamu tahu." "Tapi kalo gak pake sunscreen-" "Kamu gak akan mati cuma gara-gara gak pake sunscreen. Kamu kan gak keluar kelas sepanjang waktu di sekolah. Kadang kalo jajan juga nitip, 'kan? Padahal jalan ke kantin itu gak ada yang sampe harus panas-panasan, kecuali kamu muter lewat ke lapangan. Upacara gak pernah ikut, materi outdoor juga. Lihat, kulit kamu itu makin hari tambah pucat." Chandra berujar. "Gak heran kalo Galang manggil gue zombi," batin Mentari seraya menatap kedua tangannya. "Gak usah sedih. Semua manusia itu punya kekurangan, 'kan? Tapi mereka juga diberi kelebihan. Cantik, misalnya." Mentari berkedip dua kali. "Hah?" Ia menoleh ke sebelahnya namun guru olahraganya itu sudah beranjak dari posisinya. "Kalian ini ngeliatin apa? Kenapa berhenti?" Pak Candra meniup peluit dan berjalan kembali ke lapangan. "Waktu istirahat masih lama. Squat jump sepuluh kali!" titahnya dan kembali disusul suara peluit. Semua murid langsung mengeluh dan mereka melakukan squat jump di tempat. Sementara itu, Mentari masih berusaha mencerna ucapan guru olahraganya. "Fobia gue sama cantik gak ada hubungannya, 'kan? Dasar guru aneh," ujarnya. BRUKKK Mentari seketika menoleh ke belakangnya saat mendengar sesuatu. Ia melihat tumpukan buku-buku paket berserakan di lantai dan seseorang tampak berusaha membereskannya. Bersamaan dengan itu, ia melihat seseorang yang berlari menyusuri koridor. Akhirnya, Mentari pun beranjak dari bangku dan mendekat ke sana. "Buku paket segini banyaknya kok lo bawa sendiri? Mana temen lo?" tanya Mentari seraya memunguti satu per satu buku paket di lantai. "Lagi ke toilet. Sori ya, lo jadi ikut repot." Mentari tertawa pelan. "Iya, gak apa-apa. Santai aja kali. Yang harusnya minta maaf itu orang yang barusan nabrak lo." Ia memberikan buku di tangannya pada orang itu. "Tunggu! Lo kan-" Mentari mengamati dengan baik wajah lelaki di depannya. "Lo ... Mentari Putri, 'kan?" Sumpah, ini orang gak hilang ingatan lagi kah? Mentari mengamati wajah Alan dengan baik. Jaga-jaga kalau kali ini dia benar-benar salah orang. "Kelas lo bukannya lagi jam olahraga? Kenapa lo gak ganti baju?" Mentari seketika berkedip. "Kenapa lo bisa tahu kalo kelas gue lagi jam olahraga?" "Nebak aja sih. Tapi kenapa baju lo gak diganti?" tanya Alan. "Lo sakit?" "Eh? Hm ... yah, gitu lah." Mentari mengambil sebagian tumpukkan buku paket yang berada di tangan Alan. "Lo di kelas mana? Biar gue bantu bawain." "Gue di kelas XI IPA 6." "Oh, ya udah. Biar gue bawain sampe kelas lo," ujar Mentari seraya membawa buku paket itu bersama Alan. Mereka berdua menaiki satu per satu anak tangga. "Lo di kelas mana?" tanya Alan pada Mentari. "Gue di IPA 2. BTW lo ... gak hilang ingatan lagi nih?" "Hilang ingatan?" Kedua alis Alan saling bertaut. "Maksud lo?" "Eh? Itu ... kemarin lo sempet gak inget sama gue. Jadi gue mikir kalo lo tuh hilang ingatan gara-gara tamparan gue. Bahkan gue pikir lo punya kembara di sini," ungkap Mentari. "Ah, soal itu ya. Yah, kadang ingatan gue emang agak kacau. Hehe." Alan terkikih pelan, membuat Mentari menoleh padanya. "Thanks ya, udah bantuin gue," ucapnya kemudian. "Santai aja lagi." Mentari meletakkan buku yang dibawanya di atas tumpukan buku yang Alan bawa. Gadis itu langsung berpamitan dan pergi dari sana. "Hilang ingatan, ya. Iya, ingatan gue emang kacau. Kadang gue emang sepayah itu," batin Alan seraya menatap Mentari yang berjalan kian menjauh. *** Mentari menempelkan salah satu sisi wajahnya ke atas permukaan meja lalu memjamkan kedua matanya. Kedua telinganya masing-masing disumbat headset dengan musik bervolume rendah hingga ucapan Lala masih bisa terdengar jelas olehnya. Gadis itu mengipasi wajahnya dengan sebuah kipas yang selalu ia bawa ke sekolah. Sesekali ia meminum minuman kemasan botol yang tadi dibelinya di kantin seusai mengganti pakaian di toilet. "Menurut lo Pak Chandra itu gimana orangnya?" tanya Lala. Ia menatap teman sebangkunya yang masih bergeming. "Aneh." "Hah?" Lala dibuat melongo. "Aneh gimana maksudnya?" "Dia baik, terlalu baik sih. Kadang aneh. Gue yakin istrinya pasti orang yang super duper baik juga," sahut Mentari tanpa membuka kedua matanya. Salah satu tangannya lalu menarik tas miliknya dan menjadikan benda itu sebagai bantal. "Tar, Pak Chandra kan belom nikah." "Masa sih?" Mentari menguap. "Iya. Gue sama anak-anak yang lain pernah nanya pas awal-awal dia pindah ke sini. Dia masih dua puluh lima tahun, belom nikah katanya." "Terus? Lo mau macarin Pak Chandra?" Nada bicara Mentari semakin rendah. Lala tiba-tiba berdeham. "Tar, lo dari dulu emang gak berubah, ya. Lo gak nyadar apa kalo sikap Pak Chandra ke elo itu agak beda?" "Karena gue pengidap Heliophobia." "Selain itu maksud gue. Tadi gue sama anak-anak merhatiin kalian berdua. Kalian makin sini makin-" Lala mendadak diam saat mendengar dengkuran halus. Kedua matanya berkedip dua kali. Ia lantas menggelengkan kepalanya. "Padahal lo dari pagi gak ngapa-ngapain tapi bisa tidur kayak orang capek. Harusnya gue yang tidur,bukan elo." Lala membuang napasnya dan meminum minumannya hingga tersisa setengah. "Gue denger, La." Lala terkejut saat kedua mata Mentari mendadak terbuka. "Bukannya lo tidur?" "Hm. Tapi kuping gue mendadak panas barusan. Ternyata lo lagi ngatain gue." Mentari kembali menguap. "Gue laper." "Belom istirahat, ini masih pergantian jam. Lagian tadi gue nyuruh lo beli makanan malah gak mau." "Gue kan tadi belom laper." Mentari melirik jam dinding di depan dan mendengkus pelan. Kemudian dirasakannya ponselnya berbunyi dan layarnya menyala. Sebuah notifikasi muncul di sana. Gadis itu segera melihat notifikasi yang masuk dari salah satu aplikasi. "Chandra Purnama itu ... nama Pak Chandra, 'kan?" tanya Mentari. "Hm. Kenapa?" Lala menoleh seraya menghabiskan minumannya. "Pak Chandra follow gue di i********:," ujar Mentari seraya menunjukkan layar ponselnya. Lala seketika tersedak hingga hidungnya terasa perih. Dengan cepat ia langsung mengambil ponsel Mentari untuk memastikannya sendiri. Mungkin saja itu bukanlah guru olahraga yang tadi dibicarakannya, bisa saja hanya namanya yang sama. "Sumpah ya, Mentari Putri! Gue yang follow dia dari awal dia ke sini belom juga di follback. Lah elo yang kerjaannya ngurusin makalah doang dengan gampangnya dia follow. " Lala menatap ponsel Mentari tak percaya. "Followers Pak Chandra kan banyak banget, La. Sampe ribuan gini. Mungkin aja dia males follback," balas Mentari. "Tapi dia tahu akun gue dari mana?" "Mungkin dari daftar rekomendasi yang muncul di TL." Lala tampak asyik melihat-lihat foto yang ada di akun milik gurunya itu. "Sayang banget fotonya cuma dikit." Ia mengembalikan ponsel milik Mentari. "Enak banget hidup jadi elo, Tar," lanjut Lala. Mentari menatap sahabatnya itu dan tersenyum tipis. "Emang apa yang bisa lo harapin dari pengidap heliophobia kayak gue? Justru gue yang iri sama hidup lo, La," ujarnya. - TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN