Chandra bergerak menyembunyikan tubuhnya di balik dinding usai Mentari dan ibunya keluar dari ruangan salah satu psikiater yang ada di sana. Lelaki itu menatap Mentari yang berjalan semakin jauh. Gadis itu terlihat berbeda dari biasanya. Kulitnya yang memang sudah pucat itu kini terlihat semakin pucat, serta gadis itu juga terlihat tak banyak berbicara walau sedang bersama dengan ibunya.
Usai kedua wanita itu sudah benar-benar pergi dari sana, Chandra berjalan ke depan pintu ruangan itu lalu mengetuknya beberapa kali dan masuk ke dalam setelah si pemilik ruangan memberinya akses.
"Kamu putranya Erwin, kan? Chandra, ya?" tanya sosok berjubah putih yang duduk di sana. Ia melepas kacamatanya lalu mempersilakan Chandra duduk, "Tumben ke sini. Ada apa?"
"Ah, aku ... mau nanya soal gadis yang barusan ke sini."
Kening dokter itu sempat mengerut, sebelum akhirnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Gadis yang mengidap heliophobia itu? Oh, iya. Kamu bukannya ngajar di sekolahnya?"
Chandra menganggukkan kepalanya, "Hm. Dia salah satu murid aku. Soal psikoterapi yang dijalaninya, apa ada peningkatan lagi?"
"Untuk saat ini belum ada peningkatan secara signifikan karena memang belum dilakukan psikoterapi lagi. Kondisi gadis itu juga sedang menurun dan saya juga tidak bisa begitu saja memaksa agar ibunya mengizinkan saya melakukan psikoterapi. Jadi untuk saat ini, saya hanya memberikan obat untuk mengurangi dampak dari serangan panik yang mungkin akan terjadi lagi karena memang gadis itu tak bisa diajak berbicara jadi saya menunggu perubahan emosinya menjadi sedikit lebih stabil," jelas dokter tersebut. Pria ber-name tag Wira itu lantas kembali melanjutkan, "saya pikir awalnya kamu hanya berfokus pada Alan, tapi ternyata kamu juga menaruh rasa cemas yang sama pada gadis itu."
"Mereka mengalami kesulitan yang hampir sama," ujar Chandra.
"Alan sudah hampir seminggu terakhir nggak datang menemui saya dan juga Erwin. Jadi saya harap kamu, sebagai salah satu orang terdekatnya, bisa membujuknya untuk kembali memeriksakan diri terkait dengan hasil laboratorium kemarin. Kemarin saya sempat melihat dia ke sini tapi tidak sempat mengobrol karena saya sedang memiliki pasien. Kamu bisa kan, ngomong ke dia soal ini? Soalnya saya agak khawatir sama kondisinya."
Kepala Chandra kemudian mengangguk. "Besok aku ada jadwal ke sekolah, aku usahain ngomong ke dia tentang ini."
Wira menarik.kedua sudut bibirnya ke atas hingga membentuk seulas senyuman tipis, "Ngomong-ngomong kamu mau sampai kapan jadi guru? Jujur saya kaget pas tahu kamu milih ngambil jurusan olahraga, padahal saya tahu sekali kalau kamu dari dulu ingin jadi dokter saraf sama seperti Erwin."
"Mungkin tahun depan aku mulai lanjut kuliah lagi dan ngambil kedokteran." Chandra membuang napasnya.
"Sebenarnya dari dulu saya penasaran, sama satu hal. Apa yang membuat kamu bener-bener bertekad kuat meninggalkan impian kamu dan malah memilih menjadi guru olahraga?" Wira menatap lelaki yang duduk di hadapannya, "Apa mungkin ada seseorang yang mengubah motivasi kamu?" tambahnya.
Hening selama beberapa saat. Chandra tampak sibuk dengan pikirannya. Lelaki itu kemudian mengangkat wajahnya dan menatap Wira dengan seulas senyuman tipis, "Aku cuma ngelakuin apa yang pengen aku lakuin, sesuai sama kata hati aku sendiri."
"Tapi entah kenapa saya lebih yakin kalau kamu melakukan itu karena alasan lain." Wira menatap pemuda di hadapannya seraya menopang dagu. "Kamu mungkin mengatakan yang sebenarnya, tapi di samping itu, pasti ada alasan kuat yang lain yang mendorong kamu," tambahnya hingga Chandra benar-benar terdiam setelahnya.
*
Wira merupakan salah satu dokter spesialis kejiwaan atau orang-orang biasa menyebutnya dengan psikiater. Sementara Erwin merupakan dokter neurologi. Keduanya merupakan rekan satu sama lain yang bertugas mengawasi kondisi baik Alan dan juga Mentari. Bedanya, Alan lebih cenderung berkonsultasi dengan dokter spesialis saraf jika terkait dengan alzheimer yang ia derita. Sementara itu Mentari lebih sering kepada psikiater untuk memantau kondisinya hingga mendapatkan beberapa terapi dan juga resep obat.
Namun mengingat Wira dan Erwin yang bekerja di rumah sakit yang sama, keduanya pun juga sudah saling mengenal dalam waktu yang cukup lama sehingga sesekali bertukar informasi kesehatan milik pasien, terutama jika mereka sempat menangani pasien yang sama.
Chandra sendiri sejak masih duduk di bangku sekolah memang sudah memiliki impian menjadi seorang dokter neurolog sama seperti sang ayah. Namun sesaat sebelum mendaftar di perguruan tinggi favoritnya, lelaki itu mengubah jalannya dan secara tak terduga ia mengambil fakultas keolahragaan dan meninggalkan impiannya di kedokteran entah karena alasan apa, membuat sang ayah terkejut begitu mengetahuinya.
Namun meskipun begitu, ia sudah berencana melanjutkan kembali pendidikannya dan meneruskan kembali impiannya di kedokteran, persis seperti tujuan awalnya sejak dulu, walaupun ia harus memulainya dari awal lagi dengan waktu yang juga tak sebentar.
Mobil milik Chandra berhenti tepat di depan pagar rumah milik Mentari. Ia menatap rumah itu selama beberapa saat, sebelum ia akhirnya mengecek beberapa pesan yang sempat ia kirimkan kemarin, namun sepertinya gadis itu benar-benar tak membuka ponselnya sama sekali.
"Berhubung kamu adalah guru olahraga baru di sini, jadi saya akan sedikit memberitahukan sesuatu yang— emm, cukup penting. Di sekolah ini, terdapat satu murid yang sedikit berbeda dari murid lainnya. Dia mungkin gak akan menyusahkan kamu selama pelajaran berlangsung, hanya saja kamu mungkin harus terbiasa sama keadaannya karena anak ini memang tidak terlalu dianjurkan untuk mengikuti kegiatan di luar dan terkena paparan cahaya matahari langsung."
Chandra membuang napasnya pelan lalu menggenggam kuat setir. Jadi benar dugaannya sejak awal. Rumor tentang seorang pelajar dengan julukan vampir di salah satu sekolah memang membicarakan tentang Mentari Putri.
"Pa, cewek yang lagi sama Dokter Wira itu ... siapa?"
"Oh, itu. Katanya pengidap heliophobia. Kasihan, ya. Di usia yang masih sangat muda dia harus mengalami hal seperti itu. Dia beberapa kali dibawa ke sini gara-gara serangan panik. Anak itu pasti kesulitan menghadapi fobia miliknya."
"Heliophobia?"
Tak bertahan lama, Chandra akhirnya kembali melajukan mobilnya dan pergi dari sana.
Di luar, tanpa sepengetahuannya, Alan memperhatikan sebuah mobil yang sempat berhenti di depan pagar rumah Mentari sebelum akhirnya mobil itu pergi dari sana dengan si pemilik yang tampak tak berniat keluar sama sekali dari mobilnya.
"Kak Alan, bolanya!"
Ucapan Galang membuat Alan tersadar dari kegiatannya dan lelaki itu mengerjap pelan. Ia segera mengambil sebuah bola yang tergeletak tak jauh dari posisinya.
Usai pulang sekolah, Alan tak sengaja melihat Galang yang bermain bola sendirian dan Alan pun mengajaknya bermain bersama di halaman rumahnya.
Galang bersorak saat ia berhasil mencetak gol dan Alan langsung berpura-pura tumbang akibat dari tendangan bocah itu.
Pemandangan yang menyenangkan.
Mentari membuat celah kecil lewat gorden yang masih menutup dan mengintip dari balik jendelanya. Ia beberapa kali mendengar Galang bersorak senang. Gadis itu merasa sedikit lebih lega mengingat semalam adiknya itu meraung-raung menangisinya.
—Tbc