30. Rapuh

1042 Kata
Mala berlari menyusuri koridor untuk mencari kamar tempat putrinya dirawat. Usai mendapatkan telepon, tanpa pikir panjang lagi ia langsung meninggalkan rumahnya. Setelah menemukan ruangan itu, Mala segera masuk ke dalam dan ia melihat Mentari tengah duduk di atas tempat tidur. "Ya ampun, Mentari, kamu bikin Ibu khawatir!" Mala langsung bergegas memeluk putrinya dan mengusap bagian belakang kepala gadis itu. Mentari hanya terdiam di posisinya. Ia belum lama sadar dan mendapati dirinya berada di ruangan asing yang entah di mana, lalu ia dikejutkan juga dengan kedatangan ibunya di sana. "Aku di mana, Bu?" Mentari menatap jarum infus yang masih menancap di tangannya. Bodoh, harusnya ia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya itu. "Tadi Ibu dapat telepon kalo kamu masuk rumah sakit." Mala melepas pelukannya lalu wanita itu menghela napas berat saat melihat adanya luka lebam di salah satu permukaan pipinya, "Siapa yang ngelakuin ini, Tar? Kamu dipukul?" tanyanya seraya menangkup wajah gadis itu. "Aku cuma jatuh—" "Pipi kamu lebam, Mentari! Siapa yang ngelakuin ini?!" tegas Mala dengan nada meninggi. Mentari terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya ia menggelengkan kepala, lalu tersenyum tipis. Kedua bahu Mala merosot setelahnya usai menatap permukaan kulit kedua tangan dan kaki Mentari yang kemerahan. "Kenapa kamu harus ngelakuin ini, Mentari," lirih Mala. Mentari segera membuang pandangannya ke arah lain, "Mentari capek, Bu." "Ibu sudah sering bilang, jangan dengerin omongan mereka." Salah satu tangan Mentari kemudian mengepal, "Tapi Mentari juga manusia, Bu! Aku gak bisa terus-terusan sabar dan diem aja tiap kali aku dihina sama mereka!" Pandangannya semakin berembun dan gadis itu buru-buru mengusap salah satu sudut matanya dengan tangan. Usai mengatakan itu, Mala melihat kedua tangan Mentari kembali bergetar pelan. Ia segera menggenggamnya dan memeluk kembali putrinya dengan erat, hingga tangisan Mentari benar-benar terdengar di sana. * "Bokap gue bilang kalo Mentari kemungkinan terbiasa minum anti depresan jadi dia harus lebih diawasi. Lo tahu kan, pengidap fobia itu kayak gimana." Bahkan Alan tak pernah menyangka kalau gadis itu akan rutin meminum obat penenang atau bahkan anti depresan untuk meredakan serangan panik yang bisa datang kapan saja. Sejujurnya, saat pertama kali melihat gadis itu di sekolahnya, ia menganggap kalau Mentari hanyalah anak manja yang alergi dengan panas matahari namun pandangannya berubah saat mereka berangkat ke sekolah bersama. Saat itu hari masih pagi dan matahari juga belum terlalu terik, malah bagus untuk kondisi kulit. Namun Alan tidak tahu kalau hal itu justru memberikan efek sebaliknya bagi Mentari. Malahan, kondisi gadis itu semakin parah karena serangan panik yang ia alami hingga menimbulkan berbagai sugesti di dalam dirinya sendiri, membuat ruam-ruam di kulitnya bermunculan. Tapi, di balik hal-hal mengerikan itu, bukan berarti Mentari tak bisa sembuh dari fobianya, kan? Pasti ada cara untuk membuat gadis itu sembuh. "Alan?" Kedua mata Alan mengerjap pelan usai mendengar seseorang memanggil namanya. Lelaki itu tersadar dari lamunannya dan menatap lurus ke depan, tepat ke arah seorang pria paruh baya yang kini menatap padanya bahkan teman-teman kelasnya pun melakukan hal yang sama. "Jika kamu tidak ingin mengikuti jam saya, silakan keluar," ujar pria di depan sana seraya membetulkan letak kacamatanya. "Maaf, Pak." Alan membuang napas pelan lalu kembali mencoba memfokuskan terhadap materi yang tengah dijelaskan. Bahkan setelah istirahat kedua hingga jam terakhir benar-benar selesai, tak banyak yang Alan lakukan. Ia hanya pergi ke kantin untuk membeli minum atau mencuci muka ke toilet. "Lan?" Alan mengalihkan perhatiannya pada Eric yang sudah memakai tas. "Hm, kenapa?" Alan menghentikan aktivitasnya dan menatap pemuda itu. "Gue perhatiin kayaknya lo banyak diem sejak tadi. Lo beneran sedeket itu ya, sama Mentari?" tanya Eric. Mentari? Kenapa Eric bisa langsung menyimpulkan kalau ia kehilangan fokus karena gadis itu? "Gue sama anak-anak gak begitu kaget pas liat Pak Chandra yang langsung keluar lapangan sewaktu denger kabar soal Mentari. Tapi pas ngeliat kalo lo juga ikut sepanik itu, gue jadi berasumsi kalo kalian berdua emang deket." "Gue ... panik?" batin Alan. Ia bahkan hampir tak ingat dengan apa saja yang ia lakukan tadi. "Kalian udah kenal lama?" tanya Eric. Alan lalu menggelengkan kepalanya pelan, "Gue cuma pernah gak sengaja ketemu sama dia sebelum pindah ke sekolah ini," ujarnya. Salah satu alis Eric terangkat. Ia hendak kembali membuka mulutnya namun begitu melihat ekspresi Alan, ia segera menelan kembali pertanyaannya. "Kalo gitu gue duluan, ya," ujar Eric seraya menepuk pelan bahu Alan dan pergi dari sana terlebih dulu. Alan masih terdiam selama beberapa saat menatap bukunya yang masih berada di atas meja. Ia memang belum begitu dekat dengan Mentari, namun saat ini ada beberapa hal yang sedikit mengganggu pikirannya. "Si Chandra itu ... sejak kapan dia deket sama Mentari?" Alan segera membereskan semua peralatan menulisnya dan bergegas pergi. Ia bergegas menuju ke ruang guru dan bersamaan dengan iti ia melihat Chandra yang baru saja keluar dari dalam ruangan. Alan segera mempercepat langkah kakinya dan menahan salah satu bahu lelaki itu hingga langkahnya ikut berhenti dan menatapnya. "Ada yang perlu gue omongin sama lo." Chandra menatap Alan selama beberapa saat, sebelum akhirnya lelaki itu melepaskan tangan Alan yang masih berada di bahunya. "Sori, gue punya urusan lain." "Mentari!" Alan menginterupsi, "Ada yang perlu gue omongin soal Mentari!" Chandra yang baru maju selangkah itu pun kembali memutar kembali tubuhnya ke belakang dan menatap Alan. "Saat ini Mentari udah pulang dari rumah sakit." Kening Alan mengerut setelahnya. "Mentari udah pulang? Lo dari sana?" Ia menahan lengan Chandra yang hendak pergi. "Bokap gue yang ngomong." Chandra menatap seseorang yang berada tak jauh dari posisi mereka. Lelaki itu kemudian menyingkirkan tangan Alan darinya dan pergi dari sana. Sementara itu Alan kini kembali dibuat terdiam usai mendengar jawaban Chandra. "Om Erwin? Apa Om Erwin juga ada kaitannya soal ini?" batin Alan. Bersamaan dengan itu ia kemudian menatap Lala yang ada di koridor lain. Gadis itu terlihat membawa tas milik Mentari bersamanya. Lala berjalan mendekati Alan dan gadis itu menatap ke arah Chandra yang sudah pergi. Ia terlihat ingin mengatakan sesuatu namun ditelan kembali saat Alan mendahuluinya. "Itu tas punya Mentari, kan?" ujar lelaki itu. "I-iya." "Boleh gue aja yang bawa? Kebetulan rumah gue deket sama dia, jadi bisa sekalian gue balikin." Lala menatap tas milik Mentari sejenak. Gadis itu mengangguk pelan dan memberikan tas itu kepada Alan. "Kalo gitu gue duluan, ya," pamit Alan setelahnya. Di belakang, Lala masih belum bergerak dari posisinya dan ia masih menatap Alan yang berjalan semakin jauh. —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN