33. Pengalaman Pahit Sang Vampir

1058 Kata
Alan sudah menghidupkan motornya dan ia menatap ke halaman rumah Mentari selama beberapa saat. Namun ia sama sekali tak melihat adanya tanda-tanda baik Mentari maupun ibunya keluar dari rumah. Hingga tak lama setelahnya ia melihat Galang yang mengayuh sepedanya keluar dari halaman. Melihat itu, Alan segera bergerak menyusul bocah itu. "Gilang!" Mendadak Galang memelankan tempo kayuhannya seraya sesekali menoleh ke arah sebuah sepeda motor yang tak jauh di belakang sebelum akhirnya ia benar-benar berhenti begitu tahu kalau yang barusan berteriak itu Alan. "Kakak manggil aku?" tunjuk Galang pada wajahnya sendiri. Bocah itu agak kebingungan karena nama yang tadi disebut oleh Alan bukanlah namanya. "Kak Mentari berangkat ke sekolah gak?" tanya Alan tanpa mempedulikan pertanyaan Galang tadi. Galang menggelengkan kepalanya pelan. "Hari ini Kak Mentari belom bisa berangkat. Nanti siang juga kayaknya harus periksa lagi ke rumah sakit sekalian minta resep obat lagi karena ibu bilang obat Kak Mentari gak tahu di mana, padahal masih ada dikit lagi." Alan sempat terdiam usai mendengar penuturan Galang, namun meskipun begitu ia tak ingin mengatakan kalau obat milik Mentari ada padanya. "Eh, udah dulu ya, Kak! Hari ini aku bagian piket, takutnya telat!" pamit Galang dan kembali mengayuh sepedanya. "Ternyata bener, kalo Mentari masih minum obat itu," batin Alan. * Sepanjang jam pelajaran, Lala beberapa menatap ke arah bangku milik Mentari yang kosong. Bukannya tak ingin menjenguk sahabatnya, tapi ini karena ia sudah mengerti dengan situasi seperti in. Mentari Putri yang sekarang bukanlah gadis SMA yang banyak bicara di hadapan semua orang, melainkan sosok anti-sosial yang mengurung diri di dalam kamar selama seharian penuh, maka karena itulah ibunya selalu membawa kunci cadangan kamar Mentari, berjaga-jaga jika sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Lala mengecek ponselnya dan tak ada satu pun pesan yang dibalas, persis seperti dugaannya. Gadis itu lantas membuang napasnya kasar dan pergi dari kelas usai materi berakhir. Langkahnya sempat berhenti beberapa langkah dari pintu kelasnya dan menatap kegiatan di bawah sana usai mendengar suara peluit. Semula ia mengira kalau itu adalah Chandra, namun rupanya bukan. Kelas yang sedang berada di lapangan itu tak.lain adalah kelas dua belas. "Apa hari ini Pak Chandra juga gak berangkat?" batin Lala. Rasanya sejak pagi tadi ia tak melihat keberadaan guru olahraganya itu di sana, atau mungkin bisa saja Chandra saat ini sedang tak ada jadwal mengajar jadi lelaki itu memilih untuk tak berangkat. Ngomong-ngomong soal Chandra, ia mendadak teringat dengan kejadian kemarin sewaktu pulang sekolah. Entah itu hanya perasaannya saja, ataukah guru olahraganya itu memang dekat dengan Alan. Atau mereka berdua hanya kebetulan mengobrol biasa? "Dan anehnya, Alan juga keluar dari lapang gak lama setelah Pak Chandra. Mereka bener-bener deket sama Mentari, ya?" Lalu yang jadi pertanyaan Lala saat ini juga, kenapa Alan sampai sekhawatir itu sampai menyusul ke rumah sakit? Apakah lelaki itu dan Mentari memang begitu dekat? Tapi itu aneh, pikir Lala. Apalagi di hari pertama Alan pindah ke sekolahnya, Mentari bilang kalau sehari sebelum mereka bertemu itu ia justru sempat menamparnya. Dan tak hanya sampai di situ, di hari itu juga Alan terlihat kebingungan dan bahkan terkejut saat Mentari mengatakannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Lala mendudukkan tubuhnya di salah satu meja yang masih kosong usai memesan makanan. Gadis itu kembali mengecek ponselnya dan chat yang ia kirimkan pada Mentari belum ada satu pun yang dibaca. "Apa Mentari baik-baik aja, ya?" gumam Lala. Ia mengambil sebungkus keripik talas rasa balado lalu memakannya. "Eh, Laila. Gue duduk di sini gak apa-apa, kan?" Lala seketika terdiam dengan mulut yang masih terbuka. Ia menoleh ke sumber suara dan menemukan Alan yang duduk di depannya. "Lo ngomong sama gue, Lan?" tanya Lala seraya menatap ke samping kanan dan kirinya. Kepala Alan mengangguk. Ia membuka penutup minuman kalengnya lalu meneguknya secara perlahan. "Mohon maaf nama gue Lala, ya. Bukan Laila!" protes Lala yang sukses membuat Alan tersedak. "Kemaren lo manggil gue Lila, terus sekarang Laila. Awas ya lo, Lan. " Gadis itu menatap tajam pemuda di hadapannya. "I-iya, sori. Tadi gue abis ngomong sama temen gue di kelas, namanya Laila." Alan menatap name tag milik Lala beberapa saat lalu membuang pandangannya ke arah lain. Lala mendengkus pelan, kemudian gadis itu kembali memasukan keripik talas ke dalam mulut. "Emm ... Lan, rumah lo beneran deket sama rumahnya Mentari?" tanya Lala. Alan mengangguk usai meneguk minumannya, "Kenapa emang?" "Enggak sih, cuma nanya aja. Gak heran kalo waktu itu lo bisa berangkat bareng sama Mentari. BTW kondisi Mentari sekarang gimana? Lo udah jenguk?" "Gue kemarin ke rumah dia buat balikin tas, tapi kayaknya dia ada di kamarnya. Jadi gue belom sempet liat kondisi dia. Lo sendiri ... gak jenguk Mentari?" Usai mengucapkan terima kasih pada penjaga kantin yang mengantarkan pesanannya, Lala sempat diam menatap makanannya. Dengan perlahan gadis itu menjawab, "gue pengen banget nengokin dia. Tapi, dari kejadian sebelumnya gue belajar kalo gue sebaiknya gak jenguk dia dulu dan lebih baik nunggu kondisi dia agak baikan." Kening Alan mengerut, "Maksud lo?". "Lo tahu, Lan, kadang Mentari gak pengen ketemu sama orang lain kalo kondisinya udah kayak gini. Entahlah, gue rasa gara-gara panic attack itu kondisi mental dia juga ikut terpengaruh, jadi kayak trauma ketemu sama orang lain gitu. Makanya Tante Mala selalu nyiapin kunci cadangan kamar Mentari takutnya ada apa-apa," jelas Lala. "Kalau kayak gitu, kenapa nyokapnya gak pake cara home schooling aja? Intinya buat meminimalisir kasus bullying. Karena bagaimana pun, orang kayak Mentari pasti selalu jadi bahan obrolan dalam waktu yang gak sebentar dan hal itu justru berpengaruh ke mental dia. Meskipun fisiknya gak disakiti, tapi orang-orang nyakitin mental dia." "Gue gak tahu pasti, tapi yang gue denger dari Tante Mala, dia ngelakuin itu karena gak mau Mentari malah jadi jauh sama semua orang. Intinya sih, dia juga pengen anaknya banyak interaksi sama orang-orang di luar meskipun kondisinya sedikit terbatas. Jadi dengan sekolah, Mentari pasti bakalan punya temen. Dan lo gak tahu, Lan, awal masuk ke sekolah ini, orang-orang beneran takut buat deket Mentari karena di mata mereka Mentari itu kayak vampir dan penyakit menular. Dia juga sering bolos ke UKS karena alasan kesehatan, padahal dia cuma nangis di sana." Lala membuang napasnya pelan seraya mulai memakan makanannya. "Dulu Kak Mentari sering nangis tiap pulang sekolah. Aku pernah denger waktu di kamar, Kak Mentari nangis ke ibu, dia bilang kenapa semua orang di sekolah takut sama dia, padahal dia bukan penyakit." Persis seperti yang dikatakan oleh Galang kemarin. Ternyata Mentari juga mengalami hal-hal sulit, bahkan hingga saat ini. —Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN