15. Kutukan II

1129 Kata
Cuaca pagi ini begitu cerah dengan sinar matahari yang dikombinasikan dengan langit biru dan awan-awan putih bersih. Artinya, tak ada tanda-tanda akan datangnya hujan. Mentari membuang napas. Hari yang cerah berarti dia harus mengurung diri, dan itu seperti salah satu kutukan di dalam hidupnya. Di saat yang bersamaan, dia melihat segerombolan murid memasuki lapangan di bawah sana. Entah kelas berapa, namun melihat ada Chandra ada di sana membuat Mentari yakin kalau itu adalah kelas sebelas. "Minggu depan, kamu ikut praktik ke lapangan." Pria itu tersenyum manis, lalu menepuk pelan bahu Mentari beberapa kali sebelum akhirnya pergi. "s**l. Kayaknya minggu depan gue beneran harus siapin mental." Mentari menatap sinis ke arah guru yang tengah mengawasi murid-muridnya yang sedang melakukan pemanasan. "Tar, lo gak masuk?" Lala berjalan menghampiri Mentari yang masih berada di luar padahal bel jam pertama sudah berbunyi. "Males," jawab Mentari seraya mengubah posisinya menjadi menghadap Lala. "Kenapa sih? Cowok bernama Alan itu bikin ulah lagi sama lo?" Mentari menggeleng. "Terus- ah, paham gue sekarang." Lala tiba-tiba menyeringai begitu melihat pemandangan di bawah sana. "Pantesan lo dari tadi gak mau masuk. Gak tahunya lagi lihatin Pak Chandra," godanya. "Menurut lo dia serius gak sih sama ucapannya kemarin? Sumpah ya, baru kali ini gue disuruh ikut praktik ke lapangan." "Jadi lo gugup?" Mentari memutar kedua matanya. "Bukan masalah gugup, tapi lo sendiri tahu kan kondisi gue kayak gimana. Kemarin aja pas berangkat sama Alan gue kayak mau sekarat, apalagi minggu depan di jam kedua. Bisa mati gue!" "Tapi, Tar. Gue rasa Pak Chandra cuma gertak lo aja. Gak mungkin juga dia beneran nyuruh lo masuk lapangan." Lala ikut menyandarkan punggungnya. "Entah dia itu cuma gertak atau serius, yang jelas gue gak suka sama guru yang satu itu." Mentari menghela napasnya. *** Galang menatap kakaknya yang sedari tadi hanya diam di depan laptop yang masih menyala. Bocah itu lalu diam-diam duduk di sebelah kakaknya, menatap apa yang sedang Mentari kerjakan. "Kirain ngerjain makalah olahraga lagi," ujarnya santai dengan mulut yang sibuk mengunyah kue cubit. Mentari mengerjap, lalu tersadar dari lamunannya. "Gak usah ganggu." Galang mencebik. "Oh, iya, Kak. Kenapa Kak Alan berangkat bareng Kakak terus?" "Kenapa emang?" "Gak sih, cuma aneh aja karena gak biasanya. Emangnya Kak Alan udah tahu kalo Kak Mentari itu vampir?" Mentari melirik adiknya tajam, namun bocah di sebelahnya itu hanya memandangnya dengan tampang tanpa dosa. "Udah." "Terus dia gak takut?" Mentari berdecak. "Kenapa juga dia mesti takut? Gue bukan vampir beneran." "Tapi –" "Berisik! Ganggu aja, sana pergi! Kakak banyak PR!" usir Mentari. Ia paling malas jika adiknya itu sudah ikut nimbrung setiap sedang mengerjakan tugas. Galang memeletkan lidahnya, lalu dengan cepat pergi dari kamar Mentari sebelum sebuah bantal melayang ke kepalanya. Ia lalu berjalan menuju halaman rumahnya dan duduk di sebuah bangku yang ada di sana. Di saat yang bersamaan, dia melihat sebuah mobil lewat dan berhenti di depan rumah Alan. "Kak Alan!" panggil Galang. Alan sontak menoleh begitu namanya dipanggil, lalu berjalan menghampiri anak itu. "Kakak dari mana?" "Dari dokter," balas Alan seraya mendudukkan tubuhnya di sebelah Galang. "Kakak sakit?" "Enggak kok, cuma gak enak badan sedikit." Alan tersenyum tipis. Ia lalu melirik ke arah pintu rumah yang menutup. "Mentari lagi apa?" "Bilangnya sih ngerjain tugas, tapi aku perhatiin dari tadi cuma bengong depan laptop. Kirain aku ngerjain makalah olahraga lagi tapi bukan," jawab Galang seadanya. Anak itu begitu jujur, membuat Alan cukup salut. Ia bisa dengan mudah menebak kalau Mentari dan adiknya pasti sering bertengkar layaknya anjing dan kucing karena kejujuran mulut Galang. "Mentari sering banget ya ngerjain makalah gitu?" Galang mengangguk. "Kalo gak ngerjain makalah, ya disuruh ngerjain tugas gitu. Banyak banget demi ngejar nilai praktik, kasihan juga sih Kak Mentari. Dia tuh aslinya pengin banget ikut turun ke lapangan cuma karena kondisinya jadinya dia gak bisa ikut," ujarnya. "Tapi kan Mentari biasa pake sunscreen gitu, kan?" Galang menghela napas. "Sebenarnya bukan soal sunscreen-nya sih, Kak. Tapi ketakutannya Kak Mentari sama sinar matahari itu sendiri. Nama dia Mentari, tapi dia malah takut sama mentari." Alan paham dengan betul maksud Galang. Mentari ketakutan setengah mati saat kulitnya bersentuhan langsung dengan sinar matahari, dan itu membuatnya dilanda rasa bersalah hingga saat ini. Jika saja ia tahu lebih awal, dia pasti tidak akan melakukan hal seperti itu. Namun anehnya kenapa Mentari juga berbuat nekat? "Tapi kakakmu tetep rutin dibawa ke dokter, kan?" Galang menggelengkan kepalanya pelan, membuat Alan mengerutkan dahi. "Kakak udah beberapa minggu terakhir gak mau lagi ke dokter. Kakak juga bilang dia udah gak butuh psikiater, dia capek minum obat. Dia dulu sempet minum obat anti-depresan, terus sama hipnoterapi juga tapi makin sini Kakak makin susah dibawa ke psikiaternya. Kakak bilang fobianya itu kutukan." Bocah itu menghela napas lalu melanjutkan, "aku kasihan sama kakak. Bahkan di saat cerah kayak gini aja kakak gak bisa ke mana-mana. Makanya kakak juga temennya dikit, sekarang aja Kak Lala doang yang deket sama Kak Mentari. Kakak pernah bilang pengin home schooling ke ibu, tapi ibu gak izinin karena katanya biar kakak bisa interaksi juga di luar sana." Alan tertegun mendengar penuturan Galang. Meminum anti-depresan di usia yang masih begitu muda dan juga melakukan hipnoterapi. Gadis itu pasti kesulitan menjalani kegiatan hariannya. "Kakak –jangan jauhin Kak Mentari, ya," pinta Galang seraya menatap Alan. Alan tersenyum, lalu mengusap puncak kepala Galang. Ia kini mengerti, kalau pada dasarnya Mentari ingin melawan fobianya tanpa bantuan seorang psikiater namun berakhir tidak sesuai yang diharapkan. Gadis itu itu masih saja dilanda serangan panik begitu berada di dunia luar. *** "Kenapa, kok kamu ngelamun?" Dewi menatap Alan yang sedari tadi hanya memainkan makanannya. "Eh? Gak kenapa-napa kok." Alan tersenyum tipis dan memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. "Inget kata Dokter Erwin, kamu jangan kebanyakan pikiran." Alan mengangguk. "Oh, iya. Kamu kok gak bilang kalo kamu satu sekolah sama anaknya Dokter Erwin?" Dewi kembali menatap putranya. "Anaknya ... Dokter Erwin?" "Iya. Itu lho, yang dulu suka main sama kamu waktu kecil. Umur kalian itu emang agak jauh, tapi karena dia anak tunggal jadi kamu itu udah dia anggap kayak adiknya sendiri. Terus gak lama setelah itu keluarganya pindah. Gak inget?" Kedua alis milik Alan saling bertaut. Entah karena kejadian itu sudah terlalu lama atau memang ingatannya yang memburuk, ia menjadi tidak ingat sama sekali. "Tadi Mama anaknya juga dateng kok ke rumah sakit, sempet ngobrol juga sama Mama. Kamu gak liat?" "Oh, ya? Aku keburu keluar kayaknya, jadi gak sempet ketemu," ujar Alan. Ia kembali mengingat-ingat setiap kejadian yang dilaluinya di rumah sakit. Seingatnya tidak ada yang spesial. Ah, ia baru ingat sekarang. Satu-satunya orang yang beberapa hari terakhir paling malas ia temui, tidak lain adalah— "Namanya Chandra. Kamu inget?" Alan terdiam. Apa dia baru saja salah dengar? Ada apa ini? Orang menyebalkan yang ditemuinya di rumah sakit adalah ... Chandra. "Katanya dia guru olahraga di sekolah kamu." Dewi tersenyum. — TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN