Jam dinding sudah menunjukkan pukul 7 pagi, Hasna langsung kembali ke kamar untuk membangunkan sang suami. Bibirnya kian merekah, meskipun usia Hasna dan sang suami yaitu Surya sudah menginjak angka 4 tetapi Hasna tidak pernah merasa demikian. Apalagi wajah Surya terlihat begitu menawan, pantas saja anak-anaknya cantik dan ganteng ternyata memang turunan dari sang suami.
"Mas bangun! "
Hasna mengguncang pelan bahu sang suami. Surya kelihatan lelah karena memang belakangan ini sering sekali lembur. Hasna merasa sedikit khawatir dengan kesehatannya, bahkan hari libur pun Surya tetap tidak berada di rumah. Entah bagaimana pekerjaan Surya, Hasna pun tidak mengetahui dengan pasti. Ia hanya tahu jika Surya menjadi Manager di salah satu perusahaan konstruksi alat berat.
Belum ada pergerakan, Hasna kembali membangunkan sang suami. Kali ini suaranya dinaikkan beberapa oktaf. Sepertinya berhasil karena Surya menggeliat.
"Mas…Sudah jam tujuh!"
“Haaaa? Jam tujuh?” ujar Surya dengan mata yang sepenuhnya telah terbuka. Bahkan ia sudah terduduk di ranjang.
“I-iya,” balas Hasna terbata-bata. Ia cukup kaget dengan teriakan sang suami.
"Akhhh!!! “ Surya mengacak rambutnya frustasi.
“Kenapa baru sekarang kamu bangunkan aku Hasnaaa?” bentak Surya. Lagi dan lagi jantung Hasna berdetak dengan cepat.
“Kamu mau aku dipecat ha?” sambung Surya lagi. Ia buru-buru ke kamar mandi setelah melempar bantal kepada Hasna.
Jujur saja Hasna sampai mundur ke belakang saat bantal itu tepat mengenai wajahnya. Ia memungut bantal yang sudah jatuh ke lantai, lantas meletakkan dengan rapi di atas ranjang. Ia tidak mampu membela diri, padahal Hasna membangunkan seperti biasa. Ia jadi serba salah, kadang jika ia membangunkan Surya terlalu cepat maka ending nya juga tetap sama.
Tanpa ada beban, Hasna mengambil kan setelan kantor untuk sang suami. Setelah itu ia keluar dari kamar untuk mengecek anak-anaknya apakah sudah selesai siap-siap untuk ke sekolah atau belum.
"Ibu!!! Kaos kaki Bian mana?"
Hasna sedikit tertawa mendengar teriakan sang anak, padahal Hasna sudah berada di depan pintu kamar mereka.
"Kalau pagi-pagi panggil Ibu jangan kayak gitu, nanti jadi kebiasaan lo Nak," ujar Hasna pelan. Abian hanya tersenyum dan meminta maaf. Hasna memakluminya, Abian masih anak kecil yang selalu aktif.
"Anak Ibu pintar," balas Hasna sambil mencium ke dua pipi anak ketiganya itu.
"Bian udah besar Bu, jangan dicium-cium lagi," tolak Abian sambil mengusap bekas ciuman sang ibu. Hasna gemas sendiri, ternyata mempunyai banyak anak tidak semenakutkan apa yang orang bicarakan.
"Alahh... besar gimana? mau pipis ke kamar mandi aja kalau malam harus ditemani segala. Huuu," ejak anak kedua Hasna yaitu Agra. Dia juga sudah rapi karena memang mereka masuk jam tujuh lewat tiga puluh pagi.
Abian memajukan bibirnya karena tidak mau ada yang tahu tentang ketakutannya itu. Kamar mandi mereka memang berada di belakang sehingga Abian sering merasa ada yang mengikutinya. Padahal tidak ada, dia sudah menghalu terlebih dahulu.
"Udah... Udah... Sekarang kita makan dulu."
Anak-anak Hasna menurut, mereka segera mengambil perlengkapan sekolah. Sepatu biasanya dipakai saat sudah berada di pintu. Itu kebiasaan yang Hasna ajarkan agar mereka tidak membawa sepatu masuk atau memakai sepatu di dalam rumah.
"Ayra makan dulu sini," ajak Hasna kepada anak pertamanya. Dia ternyata sedang mencuci pakaian.
"Duluan aja Bu, Ayra nanti," balas Ayra. Hasna mengangguk paham. Melihat anak kedua dan ketiganya makan dengan lahap entah kenapa membuat Hasna merasa senang.
Makanan yang ada di meja makan tidaklah mewah, hanya nasi goreng dengan irisan telur yang Hasna buat. Dia juga menyiapkan s**u untuk untuk keduanya.
Setelah selesai makan, Hasna mengantar kedua anaknya sampai pintu depan. Agra ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor yang memang Hasna berikan beberapa waktu yang lalu. Sedangkan Abian ke sekolah dengan menggunakan sepeda.
“Ayah mana Bu?” tanya Abian sambil melihat-lihat ke arah dalam rumah. Abian bisa dikatakan yang paling merasa bahwa Ayahnya sering sekali tidak ada di rumah. Jika pagi saja ketika ingin berangkat ke Sekolah, Abian tidak bisa salam.
Hasna berusaha mencari alasan. “Ayah lagi mandi, nggak usah ditunggu nanti Bian terlambat ke Sekolah.”
Berbeda dengan Agra yang tidak merasa ada yang berbeda dengan paginya. Dia pamit seperti biasa kepada sang ibu dan langsung ke sekolah tanpa bertanya tentang Ayahnya.
“Iya deh Bu, Abian pergi ya!”
Abian semangat mengayuh sepedanya. Jarak sekolah dari rumah tidak terlalu jauh dan masih dalam lingkup kompleks sehingga Hasna tidak terlalu khawatir.
Setelah kedua anak Hasna tidak keliatan lagi, dia segera membereskan bekas sarapan pagi mereka.
"Hasnaaaa!!! " teriakan itu sangat keras. Bahkan hampir saja menjatuhkan piring yang ada ditangan Hasna. Dalam hati Hasna sangat berharap Ayra tidak mendengar teriakan sang ayah.
“Ayah kenapa bu?” tanya Ayra datang terburu-buru. Ternyata harapan tinggal harapan, Arya mendengar teriakan sang Ayah.
“Nggak apa-apa kok, Ibu ke kamar dulu ya!”
Hasna segera masuk ke kamar, dia berharap bahwa Surya masih ingat jika anak pertama mereka masih ada di rumah sehingga bisa menahan sedikit amarahnya.
“Kenapa Mas?” tanya Hasna.
Plak
Hasna kaget karena mendapat lemparan dari bantal lagi. Bahkan dia sampai mundur ke belakang karena lemparan itu lumayan kuat dari yang pertama.
"Aku ada rapat, kenapa kamu siapkan batik?" bentak Surya keras. Hasna kaget, dia juga berusaha menahan sakit akibat lemparan bantal yang baru saja dia dapatkan. Apakah Hasna salah? Surya tidak memberitahu jika dia ada rapat penting hari ini, kalau Hasna tahu ia pasti akan menyiapkan setelan Jas.
“Mas… Ayra ada di rumah,” ucap Hasna mengingatkan. Surya mengepalkan tangannya seperti menahan emosi. Pintu kamar sudah tertutup sehingga suara tidak terlalu kuat terdengar di luar.
"Hasnaaa… “ geram Surya. Ia melempar baju batik itu ke lantai dan mengambil sendiri setelan Jas di dalam lemari.
Lagi-lagi Hasna diam, bibirnya keluh, mengeluarkan kata-katapun Hasna tidak bisa.
Ini bukan pertama kalinya Surya membentak bahkan berbicara kasar. Hasna sudah sering mendapatinya begitu. Hasna bahkan sudah memakluminya.
"Awas aja kalau sampai aku terlambat! Jadi istri nggak ada guna."
Lagi dan lagi Hasna diam.
“Mas!!!” panggil Hasna buru-buru.
“Apa lagi? Aku udah terlambat!” Surya berbalik dengan tidak minat, ternyata ia belum memasang dasi. Surya langsung mengambil dasi dari tangan sang istri dan memilih untuk keluar kamar.
“Ayah kenapa tadi teriak?” tanya Ayra penasaran ketika berpapasan dengan sang ayah di ruang keluarga. Anehnya, raut wajah Surya langsung berubah dari menahan emosi jadi begitu bersahabat.
“Enggak ada kok Kak,” balas Surya langsung. “Tadi Ayah kira airnya habis makanya panggil Ibu,” lanjut Surya lagi sambil tersenyum. Arya kebingungan, bukannya tangki air penuh?
Surya melihat arlojinya, ternyata hampir pukul setengah delapan pagi. “Bian sama Agra udah berangkat ya?” tanya Surya.
“Udah Yah,” jawab Ayra. Surya mengangguk. Seperti biasa jika Ayra ada di rumah maka ia mendapat kecupan di kening dari sang Ayah. Surya langsung saja masuk ke dalam mobil tanpa menyentuh makanan yang Hasna buat sama sekali. Hasna menghela napas panjang, matanya sudah memerah karena menahan segalanya di dalam. Ada rasa cemburu atas perlakukan sang suami, jika di depan anak saja ia mampu menahan emosi kenapa di depan dirinya Surya tidak bisa? Apa salah dirinya?