Dia memang Ayah yang baik tetapi tidak suami yang baik untuk Ku
~Hasna
***
Pandangan kosong, hal itu yang dialami oleh Hasna untuk sekarang. Dia mengunci diri di dalam kamar Ayra. Siapa yang bilang dia kuat? jujur saja Hasna tidak sekuat itu. Hatinya merasakan rasa sakit yang begitu mengguncang jiwa dan raga.
Untuk sekarang, Hasna belum siap bertemu dengan kedua buah hatinya. Mungkin dia bisa menyembunyikan keadaan hatinya sekarang dari Abian, tetapi beda jika Agra. Anak keduanya itu selalu tahu jika sang ibu sedang tidak baik-baik saja.
Apa yang harus Hasna lakukan sekarang, pengkhianatan itu sudah berada di depan matanya. Memilih mengalah? Hasna tidak sanggup membayangkan anak-anaknya tahu bagaimana sosok Ayah yang menurut mereka sempurna itu.
Hasna tahu jika Surya sangat sempurna menjadi sosok Ayah, selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tidak membiarkan anak-anaknya mendapatkan kehidupan yang tidak baik. Hasna tidak buta, tetapi kenapa Surya tidak bisa menjadi sosok suami yang sempurna juga?
Bolehkan Hasna mengeluhkan segalanya, menumpahkan rasa sakit hanya dengan air mata. Dia tidak bisa berkata-kata, melempar piring pun tangannya tidak mampu. Lemahkan dirinya? Entahlah, Hasna hanya bisa menangis sendiri untuk sekarang ini.
Jika kehadiran anak dalam perutnya saja tidak bisa menghentikan apa yang dilakukan oleh sang suami, lantas cara apa lagi Hasna harus mempertahankan segala. Memberikan keluarga yang rukun dan nyaman untuk kehidupan anak-anaknya adalah tujuan awal yang tidak bisa dikesampingkan atau bahkan disepelekan.
Hasna berdiri kuat dengan kedua kakinya, menjadi seorang perempuan yang tidak pantas untuk menangis di depan orang lain. Terlihat lemas hanya akan membuat kisah hidupnya begitu menyedihkan saja.
"Ibu kemana Nak?" tanya Surya kepada Abian yang berada di dalam kamar dengan wajah yang sulit untuk dideskripsikan. Dia memijit pelipisnya karena tanpa ada intro rasa sakit kepala itu mendadak datang.
"Nggak tahu, dari tadi Abian nggak liat Ibu Yah," jawab Abian yang masih asik duduk di depan laptop sang abang. Ya begitulah tingkah Abian ketika Agra berada di luar rumah. Kamarnya serasa milik sendiri, melakukan apapun yang dia inginkan meskipun masih kelas 3 SD.
Surya tersenyum masam, pikirannya sudah kemana-mana. Pertengkaran yang terjadi beberapa waktu yang lalu tentu saja tidak bisa dijadikan angin lalu saja.
"Nanti kalau Ibu ke sini, bilang Ayah cari ya?" ujar Surya lagi.
Abian mengangguk, "Ayah sama Ibu berantem?"
Dam!! Jantung Surya berdetak dengan cepat. Kenapa mulut anaknya bisa berkata demikian.
"Enggak kok nak, kok malah bilang berantem?"
Surya mengurungkan niatnya untuk keluar kamar. Dia tidak mau anaknya tahu jika memang ada sedikit masalah antara dirinya dengan sang istri. Oke kali ini Surya salah dan yang menganggap masalah itu sepele padahal dari segi Hasna masalah itu sungguh sangat besar sekali. Bahkan memikul dengan kedua pundaknya, Hasna masih terisak-isak dan nafasnya hampir kehabisan.
"Tadi ada suara ribut gitu," cicit Abian pelan.
Surya mengelus pucuk kepala sang anak, "Nggak ada yang ribut lo nak, tadi tu Ibu pengen makanan lain makanya kayak ribut. Padahal enggak kok."
Abian mengangguk, matanya masih tertuju pada film kartun yang berada di layar laptop.
"Ini pakai laptop Abang emang nggak marah ya?"
Meskipun Surya dan Agra terkesan tidak dekat tetapi dia paham betul bagaimana sikap Agra yang tidak suka barangnya di pakai orang lain tanpa izin. Bahkan kepada saudara kandungnya sekalipun. Kedua ujung bibir Surya terangkat ke atas karena membayangkan bagaimana dulu Ayra dan Agra bertengkar hebat hanya karena charger ponsel.
"Shuttt, Ayah jangan kasih tahu Abang ya."
Jari telunjuk Abian berada di depan bibirnya mengisyaratkan agar sang Ayah tidak memberitahu kepada sang Abang.
"Iya iya, tapi nanti Abang marah lo kalau tahu. Ke depannya izin dulu ya nak sama Abang biar nggak marah."
Abian cemberut, "Abian sering izin kok sama Abang, tapi Abang malah pelototin Abian."
Surya tertawa renyah, dasar Agra tidak bisa bersikap friendly sedikit kepada adiknya sendiri.
"Nanti kalau Ayah ada uang kita ganti TV ya biar nyambung ke internet dan Abian bisa lihat kartun di sana."
"Kayak punya Laras Yah?" tanya Abian antusias. Laras adalah salah satu teman Abian di lingkungan kompleks, bahkan Surya pun tahu Laras anak siapa.
"Iya kayak TVnya Laras, doain duit Ayah banyak ya?"
Abian mengangguk. Surya sudah berniat jauh hari ingin mengganti televisi di rumahnya, dia harus menyisakan gaji bulan ini untuk itu.
"Ayah keluar dulu ya," pamit Surya.
"Iya Yah, makasih."
Surya mengecup pucuk kepala anaknya sebelum keluar kamar. Senyumnya perlahan luntur ketika mengingat masalah dengan istrinya belum juga selesai. Jangankan selesai, bertemu saja belum ada lantas bagaimana masalah tersebut selesai.
Surya langsung melihat ke tempat bagasi, melihat motor matic yang biasa dipakai istrinya. Nafasnya bisa sedikit lega, motor masih berada di dalam bagasi dan tidak bergerak sedikitpun sejak beberapa hari karena sang istri tidak ingin menggunakan motor tersebut.
Belum langkah nya memasuki rumah, suara motor sudah terdengar. Surya langsung berjalan ke gerbang rumah dan memberikan akses untuk sang anak masuk ke dalam pekarangan rumah bersama motornya.
Raut wajah terkejut tentu saja tidak bisa Agra sembunyikan. Dia sudah tahu bahwa sang Ayah akan pulang cepat tetapi untuk membukakan gerbang rumah itu terdengar sangat-sangat aneh sekali. Jika di pikir, mungkin baru pertama kalinya. Maka Lazim jika Agra terkejut.
"Dari mana?" tanya Surya langsung. Dia tidak mengerti kenapa saat berbicara dengan Agra sangat berbeda dari kedua anaknya yang lain.
"Dari luar," jawab Agra sudah turun dan motornya.
"Pulang sekolah langsung main?" tanya Surya melihat penampilan anaknya yang sedang membawa tas ransel meski pakaian yang melekat pada tubuhnya bukan pakaian sekolah lagi.
"Enggak," jawab Agra seadanya. Dia sama sekali tidak bohong, jelas saja dia pulang terlebih dahulu sebelum keluar main bersama teman-temannya lagi.
"Kalau Ayah ngomong itu lihat, kamu diajarin sopan santun nggak di sekolah?"
Agra memilih diam, dia mengalihkan pandangan ke arah ayahnya. Surya menghela nafas berat, dia tidak mengerti bagaimana cara mendekati remaja tanggung seperti anak keduanya ini. Dikerasin salah, di manja tidak mau, di lembutkan malah di tolak mentah-mentah.
"Udah makan?" tanya Surya lagi mencoba untuk tidak emosi.
"Hemm," gumam Arga.
"Ayah pengen ngobrol sama Agra, kapan bisa?"
"Mau ngobrol apa?" tanya Agra yang kebingungan karena tumben sekali.
"Tentang pendidikan kamu ke depannya," jawab Surya. Dia tidak mau jika sang anak tidak melanjutkan pendidikannya. Bahkan uang sekolah untuk ketiga anaknya sudah dipersiapkan oleh Surya jauh-jauh hari.
Akhirnya sampai juga di waktu ini, Agra masih bisa menerima segala kecerewetan sang Ibu terkait pendidikan kedepannya tetapi dia tidak jamin jika dengan sang Ayah. Entahlah, Agra merasa enggan untuk membicarakan soal dirinya bersama sang Ayah.
"Ayah nggak usah khawatir, aku udah nentuin apa yang bakal aku lakuin ke depannya. Ibu juga nggak masalah."
"Apapun yang terjadi, kamu harus tetap kuliah. Mau negeri atau swasta Ayah nggak masalah."
"Aku nggak mau kuliah Ayah, aku mau menekuni dunia bisnis bareng teman-teman aku."
Surya sangat kaget mendengar penuturan anaknya. Bukan ini yang ia inginkan, jika sang anak ingin menjadi abdi negara pun Surya tidak masalah tetapi untuk menekuni dunia bisnis jelas saja dia sangat menolak keinginan sang anak.
"Kamu masih kecil Agra, masih butuh pengalaman dan ilmu. Ayah nggak masalah kalau jurusan kuliah kamu tentang ilmu bisnis malah Ayah bakalan dukung," jelas Surya. Mereka masih berada di bagasi rumah tetapi suasana sudah berubah begitu saja.
"Aku capek kuliah Ayah, aku capek belajar."
Surya jelas saja tahu sang Anak belum dewasa sama sekali. Belajar itu tidak ada kata berhenti, setiap orang jika ingin maju maka akan terus belajar dan belajar.
"Pokoknya kamu harus kuliah, seharusnya kamu itu bersyukur hidup udah enak. Kuliah tinggal kuliah, Ayah dulu harus cari duit dulu baru kuliah. Kamu kira hidup kayak gitu enak apa? Di luaran sana banyak anak yang kurang beruntung menginginkan untuk kuliah Agra."
"Seharusnya Ayah senang kalau aku nggak kuliah karena nggak perlu ngabisin duit," ujar Agra.
Sahut-sahut perdebatan ayah dan anak itu terdengar di telinga Hasna yang sudah mulai tenang. Dia bangkit dari ranjang Ayra dan masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan wajah agar terlihat segar kembali.
Bagaimanapun Hasna menyembunyikan apa yang dia rasa pasti ada kalanya akan tahu juga. Begitulah yang namanya kehidupan.
"Ayah kerja buat kamu Agra, Ayah berusaha untuk memberikan kehidupan yang layak untuk kamu agar nggak merasakan bagaimana Ayah dulu berjuang. Sakit nak, nggak enak hidup kayak Ayah dulu. Tolong ngerti apa yang Ayah bilang, Ayah nggak nuntut jurusan dan jalur masa depan kamu. Izinkan Ayah untuk memberikan yang terbaik untuk kamu Gra!"
Agra terdiam, jika beberapa waktu lalu Agra tidak melihat Ayahnya berduaan dengan seorang perempuan di sebuah cafe mungkin hatinya akan luluh dan merasa senang karena rasa sayang sang Ayah yang besar untuknya. Namun sekarang berbeda, semuanya seperti deretan kata dari orang-orang yang hanya bisa membual tanpa didengarkan. Hatinya menjerit ingin mengeluarkan deretan kata membentuk kalimat, "Siapa perempuan itu?" Namun lidah Agra keluh. Dia sudah berjanji kepada sang Ibu untuk tidak memperbesar masalah ini lagi.
Agra bukan anak kecil, dia sudah paham sekarang berada diposisi seperti apa. Karena itu jualah, Agra marah saat sang Ibu tiba-tiba hamil. Agra merasa marah terhadap dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya diam dan diam. Tapi sampai kapan Agra diam? Apakah Sampai semuanya semakin jelas dan memuakkan? Agra akan menunggu momen itu, momen dimana dirinya tidak bisa menahan diri lagi.
"Kalau dulu Agra dengan lantang akan berteriak ingin jadi seperti Ayah maka sekarang enggak lagi, bagaimanapun suksesnya hidup Ayah Agra nggak mau hidup kayak Ayah. Diam-diam tapi nyakitin Ibu."
"Maksud kamu apa?" tanya Surya kebingungan.
"Ayah lebih tahu tanpa harus aku jelasin, aku pamit mau ke kamar dulu Yah!"
Agra masih tahu sopan santun, dia pamit dan meninggalkan sang Ayah berlalu ke dalam kamar. Jangan sampai mulutnya berkata yang menjadi-jadi.
"Ayah masih mau ngobrol Agra!" tegas Surya. Dia tidak suka anaknya pamit pergi begitu saja padahal pembahasan mereka sama sekali belum selesai.
"Kamu udah makan Nak?" tanya Hasna saat melihat Agra yang ingin masuk ke dalam kamar. Raut wajah Agra tidak baik, dan Hasna paham apa yang terjadi antara Ayah dan anak itu.
"Udah Bu, maaf ya Bu kalau Agra nggak jadi anak baik."
Agra juga merasa bahwa tindakannya tidak benar, tetapi dia tidak bisa lebih lama mengobrol dengan sang Ayah.
"Jangan kayak gitu lagi, Ayah mau yang terbaik untuk kamu Nak. Dengarkan Ayah kali ini ya, ikuti maunya Ayah," ujar Hasna. Apa yang dikatakan oleh Surya memang tidak ada salah. Pendidikan memang tidak menjamin kesuksesan tetapi pendidikan sangat penting untuk mencari pengalaman dan bertemu berbagai macam orang sehingga bisa membentuk karakter diri yang lebih baik. Sebenarnya tergantung individunya masing-masing.
"Bu nggak usah bahas ini dulu ya, Kepala Agra pusing," balas Agra berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia tidak bohong, kepalanya memang sangat pusing akhir-akhir ini. Bahkan dia sering sekali mimisan karena terlalu lama belajar.
Agra bukan anak yang pemalas meskipun sering nongkrong bersama teman-temannya. Dia bisa menyesuaikan diri dan membagi waktu walaupun menyita waktu istirahatnya sendiri.
"Kamu akhir ini suka pusing gitu, periksa ke dokter ya?" bujuk sang Ibu. Rasa khawatir itu tentu saja ada.
"Siapa yang pusing?" tanya Surya yang mendengar obrolan ibu dan anak itu.
"Agra Mas, sering pusing. Kemaren juga mimisan," jawab Hasna dengan nada bicara dan ekspresi wajah normal. Surya cukup lega, setidaknya sang istri tidak ketus atau marah-marah lagi. Tunggu! Surya mendadak khawatir setelah mendengar jawaban dari sang istri.
"Periksa ya Nak?" ujar Surya juga.
"Aku nggak apa-apa Yah Bu. Karena sering begadang aja makanya pusing sama mimisan kemarin," balas Agra tidak mau membuat kedua orang tuanya khawatir.
"Kamu jangan terlalu keras belajar gitu, besok pulang kerja Ayah beliin vitamin sama penambah stamina dan darah ya?"
"Iya Mas beliin aja, kalau Agra nggak mau minum nanti aku paksa," sambung Hasna lagi. Agra memang susah jika disuruh hidup sehat. Apalagi minuman berkafein selalu ada di kulkas rumah.
"Aku cuma pusing Yah, istirahat aja bakalan baik lagi." Agra masih kekeh mengatakan dirinya baik-baik saja.
"Iya kamu baik-baik aja, vitamin kan bagus walaupun tubuh nggak sakit."
Agra akhirnya menyetujui apa yang diinginkan kedua orang tuanya. Mengelak pun hanya akan membuang waktu saja. Yang jelas, Agra benar-benar ingin beristirahat sekarang.
"Ibu lapar," ujar Abian yang keluar dari kamar.
Hasna terdiam, dia tidak lupa sudah membuang semua makanan yang dibelikan oleh sang suami.
"Tubuh udah kayak gentong gitu masih lapar aja," sindir Agra kepada sang Adik. Seperti biasa, Abian memberikan tatapan permusuhan. Hasna kadang heran dengan dua kakak beradik itu karena sering bertengkar padahal satu kamar. Hasna tidak khawatir tentang kedua anaknya yang sekamar karena dia tahu Agra cukup dewasa dan sangat menyayangi sang adik meskipun tidak terlihat jelas.