Bab 8. Keputusan yang Sulit

1047 Kata
Santi terdiam, kepalanya tertunduk, sementara pikirannya berputar-putar dalam kebingungan. Ia tidak bisa menahan gumaman lirih yang keluar dari bibirnya, “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Di dalam hatinya, ia berjuang antara dua pilihan yang sama-sama menghancurkan. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan, berada di ambang harus mengambil keputusan yang akan mengubah hidupnya dan Reza selamanya. Santi mengusap wajahnya, mencoba meredakan kecemasan yang tak kunjung hilang. Di satu sisi, ia tidak mungkin menerima tawaran Arman yang begitu merendahkan harga dirinya. Namun, di sisi lain, ancaman terhadap Reza begitu nyata. Bayangan Reza dipenjara dan mereka kehilangan segalanya membuat hatinya semakin sesak. “Mas ...” gumamnya dengan suara yang hampir tak terdengar, seolah mencari jawaban dari suaminya. Namun, Reza hanya duduk diam di kursi, tampak sama putus asanya. Tidak ada jawaban yang bisa diberikan Reza, hanya keheningan yang semakin menambah berat suasana. Santi merasa seolah seluruh dunianya runtuh, tak tahu harus berbuat apa. Di tengah kebingungannya, air mata perlahan menetes di pipinya. Ia tahu bahwa apapun keputusan yang diambil, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Setelah hening yang terasa begitu lama, akhirnya Santi menghela napas panjang dan berkata dengan suara bergetar, “Baiklah, Mas … aku setuju.” Reza, yang sejak tadi hanya duduk menunduk dalam keputusasaan, tiba-tiba mendongak. Matanya melebar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Apa? Santi, kau … kau benar-benar setuju?” tanyanya, memastikan apakah ia tidak salah dengar. Santi mengangguk perlahan, meskipun ada air mata yang mulai mengalir di wajahnya. Hatinya terasa hancur, tapi ia tahu bahwa ia tidak melihat jalan lain keluar dari situasi ini. “Aku … aku nggak tahu apa lagi yang bisa kulakukan. Jika ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita dari kehancuran, maka aku akan melakukannya.” Reza terpaku, tidak mampu berkata-kata. Perasaan lega bercampur rasa bersalah mulai memenuhi dirinya. Ia tahu betapa berat keputusan ini bagi Santi, dan dalam hatinya, ia merasa rendah karena telah menempatkan istrinya dalam posisi ini. Santi menarik napas dalam-dalam dan mengusap air matanya. “Aku nggak tahu bagaimana aku akan menjalani ini, Mas. Tapi aku nggak mau melihatmu masuk penjara atau kehilangan semuanya. Aku hanya berharap … semua ini cepat berlalu.” Reza menatap Santi dengan rasa bersalah yang dalam. Dia ingin mengucapkan sesuatu, untuk menghibur atau memberi jaminan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi kata-kata tidak datang. Ia tahu, apapun yang dikatakannya tidak akan menghapus rasa sakit yang dirasakan Santi. Ruangan kembali sunyi, hanya terdengar isakan pelan dari Santi yang masih berusaha menenangkan dirinya. Keputusan telah diambil, tapi dengan keputusan itu, hati keduanya hancur lebih dalam. Reza perlahan berdiri dan berjalan mendekati Santi, langkahnya terasa berat, penuh dengan rasa bersalah yang membebani hatinya. Tanpa berkata apa-apa, ia memeluk Santi dengan erat, mencoba memberi kenyamanan di tengah kegelisahan yang melanda mereka berdua. Santi tidak membalas pelukannya, tapi ia juga tidak menolaknya. Tubuhnya terasa kaku, penuh dengan perasaan yang campur aduk—antara luka, kekecewaan, dan keputusasaan. “Santi, aku janji …” suara Reza terdengar lirih, hampir bergetar. “Aku janji, setelah semua ini selesai, kita akan segera keluar dari jeratan Arman. Aku akan mencari cara agar kita bisa lepas dari semua ini. Kita akan mulai hidup baru, jauh dari masalah ini.” Santi terdiam dalam pelukan Reza, air matanya masih mengalir di pipi. Kata-kata Reza terdengar baginya seperti angin yang berhembus, membawa janji yang kosong. Ia tidak tahu apakah janji itu benar-benar akan terwujud atau hanya sekadar harapan yang tak pasti. Namun, untuk saat ini, Santi terlalu lelah untuk melawan atau bahkan memprotes. Reza melepaskan pelukannya sedikit, menatap wajah Santi yang penuh kesedihan. “Aku nggak akan membiarkan ini terus berlanjut, Santi. Setelah semua ini, aku akan melakukan apapun yang bisa kulakukan untuk memperbaiki keadaan.” Santi hanya mengangguk kecil, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia ingin percaya pada Reza, ingin percaya bahwa janji suaminya bisa menjadi kenyataan, tapi luka yang ditinggalkan oleh keputusan ini terlalu dalam untuk dihapus begitu saja. Ia tahu, setelah semua ini, tidak ada yang akan sama lagi. “Aku harap begitu, Mas,” jawab Santi pelan, suaranya nyaris tak terdengar, sebelum ia akhirnya menunduk lagi, tenggelam dalam pikirannya yang semakin penuh dengan ketakutan akan masa depan. *** "Maafkan aku, Santi." Arman yang sudah berdiri di depan ruangan Arman terlihat gugup. Setelah beberapa saat menenangkan diri, ia segera mengetuk ruang kerja Arman. "Masuk, Reza," suara Arman terdengar tenang, namun penuh otoritas. Ia duduk di balik meja kerjanya, matanya menatap Reza dengan ekspresi datar, seolah sudah menebak apa yang akan dibicarakan. Reza membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan dengan hati yang berat. Setelah menutup pintu di belakangnya, ia berjalan menuju meja Arman, berusaha tetap tenang meskipun perasaannya terombang-ambing. "Saya di sini untuk menyampaikan ... berita baik, Pak Arman," kata Reza, suaranya sedikit bergetar. "Santi sudah menyetujui tawaran Anda." Senyum tipis muncul di wajah Arman. "Benarkah?" tanyanya, meskipun nadanya sudah menunjukkan bahwa ia telah menduga hal ini. "Aku tahu kau bisa meyakinkannya, Reza." Reza menunduk, merasa berat dengan kata-kata itu. “Ya, Pak. Tapi tolong ingat, saya harap semua ini bisa selesai secepatnya. Seperti yang Anda janjikan.” Arman berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati Reza. "Tentu, semuanya akan berjalan sesuai rencana. Setelah ini selesai, kau dan Santi akan mendapatkan apa yang sudah aku janjikan—uang, rumah, dan kehidupan yang lebih baik." Reza hanya bisa mengangguk, meskipun rasa bersalah di dalam hatinya semakin dalam. Bagaimanapun, ia tahu ini bukan lagi tentang materi atau kemewahan, melainkan tentang harga diri dan martabat yang telah ia pertaruhkan. "Baiklah," lanjut Arman dengan suara tegas, "Pastikan Santi siap. Aku akan mengatur semuanya malam ini." Reza mengangguk pelan, kemudian berdiri dari kursinya. Tanpa banyak bicara lagi, ia berbalik dan berjalan keluar dari ruangan Arman. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, seolah beban di pundaknya semakin bertambah. Ketika pintu ruangan tertutup di belakangnya, Reza berhenti sejenak di koridor kantor, menarik napas dalam-dalam. Hatinya penuh dengan kecemasan dan rasa bersalah. Meski ia telah memastikan janji Arman akan terpenuhi, ia tahu bahwa semua ini akan menghancurkan sesuatu yang jauh lebih berharga—perasaan Santi, kepercayaan dalam pernikahan mereka, dan kemungkinan masa depan yang mereka impikan bersama. Dengan pikiran yang berkecamuk, Reza melangkah pergi dari kantor Arman, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi malam yang akan datang, meskipun dalam hati kecilnya ia tahu bahwa tidak ada yang bisa mempersiapkannya untuk itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN