Bab 7. Rencana Lestari

982 Kata
"Selamat pagi, Mas." Lestari tersenyum saat melihat Arman sudah duduk di hadapannya. Tidak ada balasan yang berarti dari suaminya. "Pagi," jawab Arman dan segera meraih koran yang ada di atas meja. Ia terlihat sibuk dengan koran di tangannya, dan hanya sesekali mengangkat roti yang telah dioleskan selai oleh Lestari. Keheningan terus berlanjut. Hanya suara lembut dari gesekan peralatan makan dan desiran angin dari luar jendela yang terdengar. Lestari, yang biasanya ceria, kini mulai merasakan kejanggalan dalam interaksi mereka. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk memperbaiki hubungan mereka yang mulai renggang, namun usahanya seolah tak membuahkan hasil. Arman, di sisi lain, tenggelam dalam pikirannya. Tatapan matanya kosong meski koran terbuka di hadapannya. Ada banyak hal yang dipendamnya, sesuatu yang ia sembunyikan dari Lestari, dan setiap hari perasaan bersalah itu semakin menghantuinya. Hubungan mereka semakin renggang, dan ia tahu alasannya. Tapi Arman tak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan kebenaran pada istrinya. Makan pagi itu menjadi saksi bisu dari jarak yang perlahan-lahan terbentuk di antara mereka, tanpa kata-kata, namun sarat dengan perasaan yang tak terucapkan. "Mas, bagaimana kalau kita mengadopsi seorang anak dari panti asuhan? Aku rasa itu bisa menjadi cara satu-satunya bagi kita untuk bisa memiliki keturunan," ucap Lestari sambil mengunyah roti yang ada di dalam mulutnya. Arman yang sedang menikmati gigitan rotinya mendadak terhenti. Ia menurunkan koran yang tadi menutupi sebagian wajahnya, menatap Lestari dengan alis terangkat, ekspresi dingin mulai menghiasi wajahnya. "Adopsi anak?" tanyanya dengan nada skeptis. Lestari mengangguk pelan, mencoba mempertahankan senyum di wajahnya meski jelas-jelas merasakan ketegangan di udara. "Iya, Mas. Kita sudah lama mencoba, tapi belum juga diberi keturunan. Aku pikir, mungkin ini saatnya kita mempertimbangkan untuk memberi rumah bagi anak yang membutuhkan kasih sayang ...." Ucapan Lestari terputus ketika Arman dengan tegas meletakkan rotinya kembali ke piring, suaranya terdengar kaku. "Aku nggak setuju. Aku nggak mau membesarkan anak yang bukan darah dagingku." Lestari, yang awalnya optimis, mulai merasakan beratnya argumen ini. "Tapi, Mas, ini demi kita ... demi keluarga kita. Lagipula, anak itu bisa membawa kebahagiaan bagi kita berdua. Kenapa kita harus menunggu terus?" Tatapan Arman semakin tajam. "Lestari, aku sudah bilang, aku nggak mau. Kita akan punya anak dari darah daging kita sendiri, dan nggak ada pembicaraan lagi soal adopsi." Nada suara Arman yang mulai meninggi membuat Lestari merasa terpojok, namun ia tak ingin menyerah begitu saja. Ia ingin menyelamatkan pernikahan mereka yang sudah mulai terasa hampa. "Mas, sampai kapan kita akan seperti ini? Kita selalu bertengkar, kamu makin jauh dariku. Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu, aku ingin ada kebahagiaan di rumah ini lagi." Arman berdiri dengan cepat, menyebabkan kursinya bergeser mundur. "Kebahagiaan? Kebahagiaan hanya akan datang kalau kamu bisa memberiku keturunan sendiri, Lestari. Sampai itu terjadi, nggak ada yang berubah." "Mas, banyak orang di luaran sana tetap bahagia walaupun tanpa seorang anak. Dan sekarang apa salahnya kalau aku mengadopsi seorang anak," ucap Lestari dengan nada sedikit lebih tinggi. Arman mendekatkan wajahnya ke arah Lestari. "Jangan samakan aku dengan orang lain. Bagiku anak jauh lebih penting daripada sekedar seorang istri, kamu tahu kenapa? Karena nanti dia adalah pewaris hartaku." Beberapa saat Arman terdiam, ia memperhatikan Lestari dengan tatapan tajam. "Jika kamu nggak bisa memberikan keturunan untukku, jangan harap aku bisa berubah menjadi lebih hangat kepadamu. Ingat itu, Lestari." Kata-kata Arman seperti palu yang menghantam hati Lestari. Ia terdiam, air mata hampir mengalir dari matanya. Namun, sebelum ia bisa membalas, tiba-tiba ponsel Arman berdering. Tanpa memandang Lestari lagi, Arman segera mengangkat panggilan tersebut. "Halo, ada apa?" tanya Arman pada seseorang yang ada di seberang telpon. "Iya, aku akan segera ke sana," jawabnya singkat sebelum menutup telepon dan bergegas meninggalkan meja tanpa sepatah kata pun. Namun, Lestari tidak menyerah begitu saja. Ia segera mengejar Arman yang sudah berjalan meninggalkan meja makan. "Mas, ini demi kita. Kita sudah berusaha selama ini, dan belum juga diberi keturunan. Bukankah lebih baik jika kita mengadopsi anak yang membutuhkan kasih sayang?" Arman menghentikan langkahnya dan langsung menatap Lestari dengan pandangan tajam, nadanya mulai meninggi. "Nggak, Lestari! Aku nggak butuh anak yang bukan darah dagingku. Sampai kapan pun, aku nggak akan setuju dengan ide gilamu ini." Lestari merasakan amarah mulai membara di dalam dadanya. Ia sudah terlalu sering mendengar penolakan dari Arman. Setiap kali ia berusaha memperbaiki hubungan mereka, Arman selalu menolak dengan alasan yang sama. "Kita nggak bisa terus hidup seperti ini, Mas, Kamu semakin dingin dan menjauh dariku. Apa kamu nggak menyadarinya?" "Cukup, Lestari! Sekali aku bilang nggak tetap nggak. Jangan membuatku semakin membencimu," ancam Arman yang terlihat serius dengan ucapannya. "Mas, aku hanya ingin berusaha mempertahankan kebahagiaan rumah tangga kita," jelas Lestari. "Lebih baik lupakan saja ide konyol mu itu," perintah Arman. "Aku harus segera ke kantor, karena ada masalah yang harus aku selesaikan." Arman segera meninggalkan Lestari begitu saja. Lestari hanya bisa memandangi punggung suaminya yang berlalu begitu saja, tanpa sedikit pun memperdulikan perasaannya. Hatinya terluka, namun ia tak lagi punya tenaga untuk melanjutkan pertengkaran itu. Setelah Arman pergi, Lestari hanya bisa duduk di meja makan dengan pikiran yang kacau. Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa sangat lelah, lelah menghadapi sikap Arman yang semakin dingin, lelah dengan pertengkaran yang tak ada ujungnya, dan lelah dengan kehidupan pernikahan yang semakin hampa. Selama ini, ia berusaha keras untuk mempertahankan rumah tangganya, tetapi kini ia merasa seperti berjalan sendirian. "Sampai kapan pertengkaran ini membayangi rumah tangga ku," ucap Lestari sambil meneteskan air matanya. "Semoga saja Mas Arman bisa berubah pikiran." Sementara itu, Arman melaju dengan cepat di jalanan. Pikirannya bercabang, memikirkan Lestari dan pertengkaran yang baru saja terjadi, serta memikirkan panggilan telepon yang baru saja ia terima. Di balik semua itu, Arman menyimpan rahasia besar yang belum diketahui Lestari, dan rahasia itu kini semakin membebani dirinya. "Bagaimana bisa dia bisa berpikir untuk mengadopsi anak dari panti asuhan," ucap Arman dengan tatapan masih tertuju pada jalanan yang ada di hadapannya. "Apa dia nggak berpikir dampak apa yang akan ditimbulkan jika orang lain tahu tentang masalah ini," ucap Arman pada dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN