Bab 16. Kekhawatiran

1110 Kata
Arman memerintahkan Bi Ijah untuk segera menyiapkan makanan ringan yang mungkin bisa diterima oleh Santi. Tidak berapa lama kemudian, Bi Ijah datang dengan sepiring bubur hangat. Arman mengambil mangkuk tersebut dan duduk di samping Santi. Dengan sabar, Arman mulai menyuapi Santi, satu sendok demi satu sendok, memastikan bahwa ia tetap mendapatkan asupan yang cukup. "Ayo, Santi. Sedikit demi sedikit saja, yang penting kamu makan," ujar Arman lembut, berusaha meyakinkan Santi. Santi, meskipun merasa mual, membuka mulutnya perlahan. Setiap sendok bubur yang masuk terasa berat baginya, tapi ia tahu bahwa ia harus mencobanya, demi dirinya dan bayi yang dikandungnya. Arman menatap Santi dengan penuh perhatian, memastikan bahwa ia tidak terlalu memaksa istrinya untuk makan terlalu banyak sekaligus. "Kita lakukan ini perlahan saja, oke? Yang penting kamu tetap makan sesuatu," katanya sambil mengusap lembut punggung Santi. Santi mengangguk lemah, dan meskipun ia merasa sangat tidak nyaman, ia membiarkan Arman terus menyuapinya. Hubungan di antara mereka mulai terasa lebih dekat, dan perhatian yang Arman tunjukkan membuat Santi merasa sedikit lebih tenang, meski rasa sakit dan mual masih membelenggu tubuhnya. Setelah beberapa sendok, Santi berhenti dan menggeleng pelan, "Aku nggak bisa lagi ... cukup," katanya dengan suara lemah. Arman mengerti dan tidak memaksanya lagi. "Baiklah, istirahat dulu. Nanti kita coba lagi," ucapnya sambil meletakkan mangkuk di meja dekat tempat tidur. Ia kemudian kembali duduk di samping Santi, memegang tangannya dengan lembut, memberikan kehangatan dan dukungan. Tidak berapa lama, Bi Ijah mengetuk pintu dan masuk dengan tergesa-gesa. "Pak Arman, dokter sudah tiba di villa," ujarnya dengan nada lega. Arman mengangguk cepat. "Baik, Bi. Tolong bawa dokter ke sini," jawabnya sambil berdiri dan menatap Santi yang masih tampak lemah di tempat tidur. Tak lama kemudian, dokter masuk ke kamar, membawa tas peralatannya. Arman memberi ruang agar dokter bisa memeriksa Santi dengan lebih leluasa. "Bagaimana keadaan Ibu Santi, Pak Arman?" tanya dokter sambil mulai memeriksa kondisi Santi. Arman menjelaskan semua yang terjadi sejak pagi, termasuk rasa mual yang dialami Santi dan bagaimana ia tidak bisa makan apa pun. "Saya khawatir kondisinya makin parah, Dok. Dia perlu diperiksa lebih lanjut." Dokter memeriksa Santi dengan teliti, memeriksa tekanan darahnya, mendengarkan detak jantung, dan memeriksa perutnya untuk memastikan kondisi janin. Setelah beberapa saat, dokter menatap Arman dengan tenang. "Pak Arman, kondisi Ibu Santi cukup umum pada trimester pertama kehamilan. Rasa mual dan muntah berlebihan ini disebut *hyperemesis gravidarum*, kondisi yang dialami sebagian wanita hamil. Tapi, tidak perlu khawatir. Saya akan memberikan resep vitamin dan obat untuk mualnya agar kondisinya membaik." Arman menghela napas lega. "Terima kasih, Dok. Saya hanya ingin memastikan Santi dan bayi kami baik-baik saja." Setelah selesai memberikan resep dan beberapa arahan, dokter berbicara kepada Santi dengan lembut. "Ibu Santi, pastikan untuk tetap beristirahat dan makan sedikit demi sedikit. Kalau mualnya berlanjut, segera hubungi saya lagi." Santi hanya mengangguk lemah, dan Arman mengantar dokter keluar dari kamar. Sebelum pergi, dokter memberikan beberapa pesan kepada Arman untuk terus memantau kondisi Santi dengan baik dan memastikannya terhidrasi. Setelah dokter pergi, Arman kembali ke kamar, merasa lebih tenang meski tetap khawatir akan kondisi Santi. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Santi," katanya, menatap istrinya dengan penuh perhatian. Arman duduk di tepi tempat tidur, menatap Santi dengan lembut. "Aku sudah memutuskan, Santi. Beberapa hari ini, aku akan tinggal di villa untuk menemanimu. Aku nggak bisa membiarkanmu sendirian dalam keadaan seperti ini," ucapnya tegas namun penuh perhatian. Santi menatap Arman dengan tatapan bingung. "Tapi, bagaimana dengan perusahaanmu, Mas? Apa mereka bisa berjalan tanpa dirimu?" tanyanya dengan nada khawatir. Arman tersenyum kecil, seolah menenangkan Santi. "Jangan khawatir. Aku sudah mengatur semuanya. Perusahaan bisa tetap berjalan tanpa aku selama beberapa hari. Reza dan tim lainnya bisa menangani urusan kantor. Kamu adalah prioritas utamaku sekarang," jawabnya dengan nada meyakinkan. Santi masih tampak ragu, tapi tidak bisa menyangkal rasa lega yang perlahan muncul. "Terima kasih, Mas," gumamnya pelan. Meski ada kekhawatiran soal kondisi dirinya dan kehamilan yang sedang ia jalani, kehadiran Arman membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Arman mengelus rambut Santi dengan lembut. "Yang penting sekarang adalah kesehatanmu dan bayi kita. Aku akan memastikan kalian berdua baik-baik saja." *** Pagi itu, ponsel Arman berdering, menampilkan nama Lestari di layar. Arman, yang sedang duduk di ruang tamu villa sambil mengawasi keadaan Santi dari kejauhan, menghela napas sebelum menjawab panggilan itu. “Ya, Sayang,” sapa Arman dengan suara tenang, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Mas, kamu di mana? Kok dari kemarin belum pulang? Aku telepon nggak diangkat, ada apa?” tanya Lestari, suaranya terdengar sedikit cemas dan curiga. Arman dengan cepat mencari alasan. “Maaf, Sayang. Ada urusan mendadak di kantor yang harus aku selesaikan. Tadi malam juga ada pertemuan penting dengan klien dari luar kota, jadi aku nggak sempat mengabari kamu. Sekarang aku sedang di perjalanan pulang,” jawabnya dengan suara penuh kepalsuan, meski tampak begitu tenang. Lestari terdiam sejenak sebelum merespon. "Mas, ini sudah dua hari. Kenapa nggak ngabarin aku dari awal kalau memang sibuk di luar kota? Ada masalah di kantor? Kenapa terdengar seperti ada yang disembunyikan?" Arman menggigit bibirnya, tahu bahwa ia harus mengelak dengan lebih hati-hati. "Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Sayang. Ini urusan mendadak, aku sendiri nggak menyangka akan selama ini. Aku janji, semua akan selesai dalam beberapa hari ke depan. Kamu jangan khawatir, ya." Lestari menghela napas panjang di ujung telepon. "Baiklah, Mas. Aku percaya sama kamu. Tapi tolong kabari aku lebih sering, jangan buat aku khawatir." Arman tersenyum tipis, merasa lega meskipun rasa bersalah menyelinap dalam dirinya. "Pasti, Sayang. Aku akan segera pulang begitu urusannya selesai." Setelah menutup telepon, Arman merasa dadanya sesak. Berbohong kepada Lestari semakin sulit baginya, terutama karena hubungan mereka yang sudah lama terjalin. Namun, Arman merasa terjebak dalam kebohongan yang ia buat sendiri, terutama dengan kondisi Santi yang kini sedang hamil anak nya. Setelah menutup ponselnya, Arman menghela napas panjang dan menyimpan ponsel itu ke dalam saku jasnya. Dengan langkah berat, ia menuju ke meja makan di mana Bi Ijah sudah menyiapkan sarapan untuknya. Di atas meja, tampak beberapa hidangan sederhana namun terlihat nikmat. Arman duduk, mencoba mengalihkan pikirannya dari percakapan dengan Lestari yang baru saja terjadi. Namun, rasa bersalah masih menggelayuti pikirannya. Ia mengambil sendok dan mulai menyuapkan makanan ke mulutnya perlahan, meskipun selera makannya tak begitu besar. Bi Ijah, yang berdiri di sudut ruangan, memperhatikan gerak-gerik Arman dengan cermat. "Pak Arman, apa makanannya cocok? Kalau ada yang kurang, nanti Bi buatkan yang lain." Arman mengangguk pelan, mencoba tersenyum. "Sudah cukup, Bi. Terima kasih. Makanannya enak seperti biasa." Namun, senyum itu tak bisa menutupi keletihan dan kecemasan yang terpancar dari wajahnya. Sambil menikmati sarapan, pikirannya kembali pada Santi dan kehamilannya, serta bagaimana ia akan menghadapi situasi ini dengan Lestari di masa depan. "Apakah semuanya akan baik-baik saja?" pikir Arman dalam hati, sambil menatap kosong ke luar jendela.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN