Bab 17. Mencari Jalan Keluar

1019 Kata
Arman duduk terpaku di dalam mobilnya di depan rumah Lestari. Matanya terus memandangi rumah itu, tempat di mana ia dan istrinya pernah berbagi kebahagiaan. Namun, kebahagiaan itu kini tampak begitu jauh. Pertengkarannya dengan Lestari beberapa jam yang lalu masih terasa jelas di pikirannya. Suara Lestari yang penuh amarah, air mata yang mengalir di pipinya, dan kata-kata Ningrum yang menamparnya keras, semua itu bergema di kepalanya. Setelah beberapa saat merenung, Arman akhirnya menghela napas panjang. Ia merasa hatinya tercabik-cabik, terombang-ambing antara Lestari, wanita yang telah mendampinginya selama bertahun-tahun, dan Santi, wanita yang sedang mengandung anaknya. Pikiran tentang memiliki keturunan, tentang garis darah, terus menghantui pikirannya. Namun, ia juga tahu betapa dalamnya luka yang ia goreskan di hati Lestari. "Haruskah aku memilih Lestari? Atau Santi?" gumamnya dalam hati. Pertanyaan itu terus berputar di benaknya tanpa ada jawaban yang pasti. Setelah cukup lama, Arman akhirnya menyalakan mesin mobilnya dan melajukan kendaraannya dengan berat hati. Tujuannya jelas: villa tempat Santi tinggal. Ia merasa perlu menemui Santi, wanita yang telah menjadi bagian dari kehidupannya dalam beberapa bulan terakhir. Meskipun pikirannya kacau, ada rasa tanggung jawab yang membebani dirinya. Ia harus memastikan bahwa Santi dan anak yang dikandungnya dalam keadaan baik. Sepanjang perjalanan menuju villa, bayangan pertengkaran dengan Lestari terus menghantui Arman. Ia teringat bagaimana Lestari memarahinya, menuduhnya tidak peduli, dan lebih memilih egoismenya ketimbang cinta mereka. Namun di sisi lain, ia juga teringat dengan janji-janji yang ia buat kepada Santi, terutama tentang tanggung jawabnya sebagai ayah dari anak yang akan lahir. *** "Mas, ada apa?" tanya Santi dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan rasa khawatirnya. Arman tak langsung menjawab. Ia membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam rumah. Tanpa memandang ke arah Santi, ia langsung duduk di sofa, memijit pelipisnya dengan tangan gemetar. Santi mengikutinya dari belakang dengan ragu, sebelum akhirnya duduk di sebelah Arman. "Lestari sudah tahu," ucap Arman akhirnya, suaranya terdengar datar, seolah semua beban dunia telah menimpanya. Santi terdiam. Kata-kata Arman itu menggema di kepalanya, tetapi rasanya seperti mimpi buruk yang tiba-tiba menjadi nyata. Ia sudah tahu bahwa hubungan terlarang mereka tak akan bisa disembunyikan selamanya, tetapi mendengar bahwa Lestari, istri sah Arman, akhirnya mengetahui kebenaran itu membuatnya tak bisa berkata-kata. "Bagaimana bisa?" tanya Santi, suaranya hampir berbisik. Arman menatapnya dengan mata yang kosong. "Reza," jawabnya singkat. Nama Reza membuat jantung Santi berdegup lebih cepat. Reza adalah sosok dari masa lalunya, seseorang yang masih memiliki tempat di hatinya meskipun ia kini bersama Arman. Hubungannya dengan Reza seharusnya sudah berakhir, tetapi Reza tampaknya tidak pernah benar-benar melepaskannya. Bahkan setelah Santi memutuskan untuk menjalani hidup baru dengan Arman, Reza tetap ada di sana, seperti bayang-bayang yang terus mengikuti setiap langkahnya. "Reza bilang apa?" tanya Santi, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya. "Dia memberitahu Lestari tentang kita. Tentang semuanya. Tentang perjanjian kita. Dia ingin kau kembali padanya," kata Arman dengan nada getir. Arman mendengus. "Kau pikir aku akan percaya begitu saja, Santi? Reza tidak mungkin melakukan ini tanpa alasan. Apakah kau masih mencintainya?" Pertanyaan itu membuat hati Santi berdebar lebih kencang. Ia tidak tahu bagaimana menjawabnya. Di satu sisi, ia pernah mencintai Reza, dan di sisi lain, ia juga tahu bahwa ia sudah berjanji pada Arman untuk memulai hidup baru bersama. Tetapi kini, semuanya terasa kacau. Hubungannya dengan Reza, janji-janji yang pernah ia buat pada Arman, dan fakta bahwa Lestari kini tahu semuanya. "Aku… aku tidak tahu, Mas," jawab Santi akhirnya, suaranya bergetar. "Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan baik. Dengan kau dan anak kita." "Apakah kau benar-benar mencintaiku, Santi?" tanya Arman, menatap Santi dengan tatapan penuh kecurigaan. "Atau kau hanya menjalankan peranmu selama ini?" Santi terdiam. Ia ingin menjawab bahwa ia mencintai Arman, bahwa ia benar-benar menginginkannya dalam hidupnya. Tetapi perasaan takut, keraguan, dan kebingungan membuatnya tak bisa berkata-kata. Arman terus menatapnya, menunggu jawaban yang tak kunjung keluar. Waktu seakan berhenti, keheningan yang menggantung di antara mereka semakin menekan. Arman akhirnya bangkit dari sofa, berjalan menuju jendela, memandang keluar dengan tatapan hampa. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Santi. Aku sudah menghancurkan semuanya. Lestari… dia benar. Aku salah karena berselingkuh. Aku salah karena membiarkan diriku jatuh ke dalam hubungan ini. Tapi aku juga mencintaimu. Aku ingin kita memiliki keluarga bersama, tapi aku tak bisa melupakan kenyataan bahwa aku telah menyakiti istri yang sudah bersamaku selama bertahun-tahun." Santi mencoba mendekat, tangannya terulur untuk menyentuh bahu Arman. Tetapi sebelum ia bisa melakukannya, Arman berbalik dan berkata, "Aku butuh waktu untuk berpikir." Mendengar itu, Santi menahan air matanya. Perasaan bersalah yang menumpuk di hatinya semakin berat. Ia tahu bahwa hubungannya dengan Arman tidak bisa berlanjut seperti ini. Ada Lestari yang sudah terluka, ada Reza yang ingin mengambilnya kembali, dan ada bayi di dalam kandungannya yang menjadi pengikat antara dirinya dan Arman. Santi berdiri di sana, menatap punggung Arman yang tampak lebih jauh dari biasanya. Meskipun mereka berada di ruangan yang sama, jarak emosional antara mereka seolah tak terjembatani. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Santi pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan. Arman tidak segera menjawab. Pikirannya terpecah antara tanggung jawab pada Lestari, janji-janji yang pernah ia buat pada Santi, dan kerumitan situasi yang kini ia hadapi. Ia merasa seperti terjebak di antara dua dunia yang tak bisa ia satukan. "Aku… aku tidak tahu, Santi," jawabnya akhirnya, suaranya lemah. "Aku benar-benar tidak tahu." Kata-kata itu menggantung di udara, meninggalkan Santi dalam kekosongan yang semakin dalam. Semua rencana, semua harapan yang pernah ia bangun bersama Arman kini terasa rapuh, seperti akan runtuh kapan saja. Arman melangkah pergi dari jendela, meninggalkan Santi yang berdiri diam. Ia berjalan menuju pintu, dan tanpa berpaling, ia berkata, "Aku akan pergi sebentar. Aku butuh waktu untuk berpikir. Setelah itu, pintu villa tertutup di belakangnya, meninggalkan Santi sendirian dalam kesunyian yang semakin mencekam. Santi terduduk di sofa, tangannya memeluk perutnya yang semakin membesar. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir tanpa henti. Dalam hatinya, ia tahu bahwa segalanya mungkin sudah berakhir. Hubungannya dengan Arman, impian mereka untuk membangun keluarga, semuanya mungkin sudah tak akan pernah sama lagi. Di luar villa, Arman masuk ke dalam mobilnya dan mengendarainya tanpa tujuan. Pikirannya kacau, perasaannya bercampur aduk antara kesedihan, kebingungan, dan penyesalan. Tapi satu hal yang pasti—kehidupannya tak akan pernah kembali seperti semula.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN