Bab 10. Penelpon Rahasia

1014 Kata
Arman memerintahkan Bi Ijah untuk segera menyiapkan makanan ringan yang mungkin bisa diterima oleh Santi. Tidak berapa lama kemudian, Bi Ijah datang dengan sepiring bubur hangat. Arman mengambil mangkuk tersebut dan duduk di samping Santi. Dengan sabar, Arman mulai menyuapi Santi, satu sendok demi satu sendok, memastikan bahwa ia tetap mendapatkan asupan yang cukup. "Ayo, Santi. Sedikit demi sedikit saja, yang penting kamu makan," ujar Arman lembut, berusaha meyakinkan Santi. Santi, meskipun merasa mual, membuka mulutnya perlahan. Setiap sendok bubur yang masuk terasa berat baginya, tapi ia tahu bahwa ia harus mencobanya, demi dirinya dan bayi yang dikandungnya. Arman menatap Santi dengan penuh perhatian, memastikan bahwa ia tidak terlalu memaksa istrinya untuk makan terlalu banyak sekaligus. "Kita lakukan ini perlahan saja, oke? Yang penting kamu tetap makan sesuatu," katanya sambil mengusap lembut punggung Santi. Santi mengangguk lemah, dan meskipun ia merasa sangat tidak nyaman, ia membiarkan Arman terus menyuapinya. Hubungan di antara mereka mulai terasa lebih dekat, dan perhatian yang Arman tunjukkan membuat Santi merasa sedikit lebih tenang, meski rasa sakit dan mual masih membelenggu tubuhnya. Setelah beberapa sendok, Santi berhenti dan menggeleng pelan, "Aku nggak bisa lagi ... cukup," katanya dengan suara lemah. Arman mengerti dan tidak memaksanya lagi. "Baiklah, istirahat dulu. Nanti kita coba lagi," ucapnya sambil meletakkan mangkuk di meja dekat tempat tidur. Ia kemudian kembali duduk di samping Santi, memegang tangannya dengan lembut, memberikan kehangatan dan dukungan. Tidak berapa lama, Bi Ijah mengetuk pintu dan masuk dengan tergesa-gesa. "Pak Arman, dokter sudah tiba di villa," ujarnya dengan nada lega. Arman mengangguk cepat. "Baik, Bi. Tolong bawa dokter ke sini," jawabnya sambil berdiri dan menatap Santi yang masih tampak lemah di tempat tidur. Tak lama kemudian, dokter masuk ke kamar, membawa tas peralatannya. Arman memberi ruang agar dokter bisa memeriksa Santi dengan lebih leluasa. "Bagaimana keadaan Ibu Santi, Pak Arman?" tanya dokter sambil mulai memeriksa kondisi Santi. Arman menjelaskan semua yang terjadi sejak pagi, termasuk rasa mual yang dialami Santi dan bagaimana ia tidak bisa makan apa pun. "Saya khawatir kondisinya makin parah, Dok. Dia perlu diperiksa lebih lanjut." Dokter memeriksa Santi dengan teliti, memeriksa tekanan darahnya, mendengarkan detak jantung, dan memeriksa perutnya untuk memastikan kondisi janin. Setelah beberapa saat, dokter menatap Arman dengan tenang. "Pak Arman, kondisi Ibu Santi cukup umum pada trimester pertama kehamilan. Rasa mual dan muntah berlebihan ini disebut *hyperemesis gravidarum*, kondisi yang dialami sebagian wanita hamil. Tapi, tidak perlu khawatir. Saya akan memberikan resep vitamin dan obat untuk mualnya agar kondisinya membaik." Arman menghela napas lega. "Terima kasih, Dok. Saya hanya ingin memastikan Santi dan bayi kami baik-baik saja." Setelah selesai memberikan resep dan beberapa arahan, dokter berbicara kepada Santi dengan lembut. "Ibu Santi, pastikan untuk tetap beristirahat dan makan sedikit demi sedikit. Kalau mualnya berlanjut, segera hubungi saya lagi." Santi hanya mengangguk lemah, dan Arman mengantar dokter keluar dari kamar. Sebelum pergi, dokter memberikan beberapa pesan kepada Arman untuk terus memantau kondisi Santi dengan baik dan memastikannya terhidrasi. Setelah dokter pergi, Arman kembali ke kamar, merasa lebih tenang meski tetap khawatir akan kondisi Santi. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Santi," katanya, menatap istrinya dengan penuh perhatian. Arman duduk di tepi tempat tidur, menatap Santi dengan lembut. "Aku sudah memutuskan, Santi. Beberapa hari ini, aku akan tinggal di villa untuk menemanimu. Aku nggak bisa membiarkanmu sendirian dalam keadaan seperti ini," ucapnya tegas namun penuh perhatian. Santi menatap Arman dengan tatapan bingung. "Tapi, bagaimana dengan perusahaanmu, Mas? Apa mereka bisa berjalan tanpa dirimu?" tanyanya dengan nada khawatir. Arman tersenyum kecil, seolah menenangkan Santi. "Jangan khawatir. Aku sudah mengatur semuanya. Perusahaan bisa tetap berjalan tanpa aku selama beberapa hari. Tim lainnya bisa menangani urusan kantor. Kamu adalah prioritas utamaku sekarang," jawabnya dengan nada meyakinkan. Santi masih tampak ragu, tapi tidak bisa menyangkal rasa lega yang perlahan muncul. "Terima kasih, Mas," gumamnya pelan. Meski ada kekhawatiran soal kondisi dirinya dan kehamilan yang sedang ia jalani, kehadiran Arman membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Arman mengelus rambut Santi dengan lembut. "Yang penting sekarang adalah kesehatanmu dan bayi kita. Aku akan memastikan kalian berdua baik-baik saja." *** "Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Arman yang duduk di samping Santi. Sambil berusaha tersenyum. "Aku merasa jauh lebih baik, Mas." "Aku senang mendengarnya," jawab Arman. "Kalau begitu kamu istirahat saja, aku akan berolahraga sebentar di taman. Nanti akan aku minta Bi Ijah untuk mengantar makanan untukmu." Arman berdiri dari tempat duduknya. Sebelum Arman berjalan menjauh, Santi segera memegang tangan Arman. "Nggak perlu, Mas. Aku bisa makan di meja makan bersamamu." "Kamu yakin?" tanya Arman memastikan. "Iya," ucap Santi sambil tersenyum. "Ya udah kamu olahraga dulu aja, aku mandi sebentar." Santi berusaha turun dari ranjangnya. "Oke, aku akan menunggumu di meja makan." Arman langsung mencium kening Santi dengan lembut. Dan segera berjalan ke arah pintu. Santi yang mendapat perlakuan lembut dari Arman langsung duduk di tempat tidurnya. Ia tidak menyangka jika Arman yang selama ini bersikap dingin, kini begitu hangat padanya. Perasaan asing di hati Santi berangsung-angsur menghilang. Ia merasakan kenyamanan yang tidak pernah ia dapatkan dari Reza-mantan suaminya. Beberapa saat Santi termenung, hingga akhirnya ia tersadar dan segera berjalan ke arah kamar mandi. Tidak berapa lama, Santi yang sudah rapi dan bersih segera berjalan ke arah meja makan. "Selamat pagi, Bi." Santi tersenyum ke arah Bi Ijah yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Dengan wajah bahagia. "Selamat pagi, Nyonya. Anda terlihat lebih segar pagi ini." "Terima kasih," ucap Santi dengan pelan. "Bi, biar ini aku yang merapikan. Sebaiknya Bibi ambil menu yang lain di dapur." Perintah Santi kepada Bi Ijah. "Tapi, Nyonya …." "Sudah kamu ikuti saja perintahku." Santi hanya tersenyum kecil. Setelah Bi Ijah kembali ke dapur, Santi segera melanjutkan pekerjaan Bi Ijah dengan penuh hati-hati. Santi begitu yakin jika apa yang ia lakukan ini adalah salah satu cara untuk membuat Arman bahagia. "Aku yakin, Mas Arman pasti menyukainya," ucap Santi dengan penuh percaya diri, sambil memandangi setiap menu yang ada di atas meja. setelah menyelesaikan pekerjaannya, Santi segera menemui Arman di halaman depan villa. Sesaat Santi berhenti saat Arman terlihat sedang menghubungi seseorang dari ponselnya. "Siapa yang menelpon Mas Arman, kenapa wajahnya begitu terlihat khawatir?" ucap Santi yang terus memperhatikan Arman dari kejauhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN